Pesona Cinta CEO Tampan

Pesona Cinta CEO Tampan

bab 1

Seorang gadis manis dengan mata berbinar dan senyum yang tak pernah lelah, turun dari bus terakhir sore itu. Di tangannya hanya ada satu koper tua dan satu map berisi berkas penting. Namanya Maura Antika, dua puluh tahun, ceria, lugu, dan penuh mimpi besar.

Kota baginya adalah dunia yang asing, bising, tapi juga menjanjikan. Ia datang bukan dengan harta, bukan dengan kenalan berpengaruh—melainkan dengan beasiswa dari kampus ternama yang membuat matanya berkaca-kaca saat surat pengumuman itu tiba di rumah kecilnya di desa.

Maura meninggalkan kampung halamannya, orangtua yang sederhana, dan adik-adik yang memeluknya erat saat perpisahan. Semua demi satu tujuan: mengubah hidup, meraih mimpi, dan membuktikan bahwa gadis desa pun bisa bersinar di kota besar.

Ia menginap malam itu di rumah kos yang sudah dipesan jauh-jauh hari. Kos kecil di pinggir kota, tapi cukup nyaman untuk menjadi tempat berpijak pertama dalam petualangan panjangnya.

Pagi ini menjadi hari pertama Maura masuk kuliah. Seragam almamaternya masih tampak baru, wajahnya cerah walau sempat kurang tidur karena gugup. Ia duduk di halte bus, menunggu transportasi yang akan membawanya ke kampus barunya. Tangannya memeluk map berisi jadwal kuliah, sementara matanya memperhatikan orang-orang berlalu-lalang.

Suasana kota terasa asing, tapi Maura tak merasa takut. Ini kota impiannya. Tempat di mana ia ingin mengukir masa depan.

Namun ketenangan pagi itu mendadak pecah.

Seorang wanita tua di seberang halte tiba-tiba berteriak, “jambret! Tas saya!”

Maura reflek menoleh. Seorang pria bertudung dan bermasker tengah berlari cepat sambil membawa tas milik wanita tua itu. Orang-orang hanya menatap, beberapa terpaku, beberapa menghindar. Tapi tidak Maura.

Tanpa berpikir panjang, ia langsung berdiri dan berlari sekencang-kencangnya mengejar si penjambret.

“Berhenti! Jangan lari!” teriak Maura lantang, napasnya memburu namun langkahnya mantap. Tubuhnya yang gesit dan ringan membawanya semakin dekat dengan pelaku.

Saat jarak mereka hanya beberapa langkah, Maura meloncat dan menarik ujung baju pria itu dengan sekuat tenaga, hingga penjambret itu terhuyung dan hampir jatuh.

Orang-orang mulai menyadari apa yang terjadi dan ikut mendekat. Pria itu panik, melempar tas dan berusaha kabur, tapi ada  pemuda di dekat sama berhasil meringkusnya dari sisi lain.

Maura terdiam sesaat, napasnya tersengal, jantungnya berdetak cepat.dan berhasil mendapatkan tas yang dirampas tadi . Ia bahkan tak sadar kakinya sedikit tergores akibat gesekan di trotoar.

Maura masih terengah ketika sang penjambret akhirnya berhasil diamankan oleh warga dan seorang pemuda yang tak dikenalnya. Nenek yang menjadi korban mendekat, wajahnya penuh haru.

 Setelah mendapatkan tas ia menghampiri sang nenek. Wanita tua berdiri dengan mata berkaca-kaca. Ia khawatir dengan gadis yang menolongnya itu.

“Terima kasih, Nak… kamu sangat pemberani,” ucap sang nenek dengan suara bergetar.

Maura tersenyum canggung, masih menyeka keringat di dahinya. “Saya cuma nggak tahan lihat orang jahat kabur begitu saja, nek …”

Sang nenek menggenggam tangan Maura erat. “Namaku Margaret. Nenek Margaret. Nenek nggak akan lupa wajahmu, Nak…”

Sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya, Nenek Margaret menyelipkan sebuah kartu nama kecil ke telapak tangan Maura.

“Kalau kamu butuh bantuan… atau sekadar ingin minum teh bersama orang tua di kota ini, hubungi nenek, ya.”

Maura mengangguk sambil memandangi kartu itu—kertas putih elegan dengan tulisan nama Margaret S. Darmawan dan alamat rumah di sebuah kawasan elit kota.

Namun sebelum sempat berkata lebih banyak, Maura melirik jam tangannya.

“Ya ampun! Bus-nya!” serunya panik.

Ia segera membungkuk sopan. “Maaf, Nek! Saya harus pergi sekarang. Terima kasih, ya!”

“Pergilah, Nak. Hati-hati di jalan!” seru Nenek Margaret sambil melambaikan tangan.

Dengan langkah cepat, Maura berlari kecil mengejar bus yang hampir meninggalkan halte. Ia berhasil naik di detik terakhir, lalu duduk sambil terengah, menggenggam kartu nama itu erat-erat.

Bus yang ditumpangi Maura perlahan melaju meninggalkan halte. Dari kejauhan, Nenek Margaret masih berdiri, matanya mengarah pada bayangan bus yang makin mengecil di kejauhan. Wajahnya penuh rasa kagum dan senyum tulus yang sulit disembunyikan.

Tak lama, seorang pria berseragam hitam rapi berlari kecil menghampirinya. Wajahnya terlihat panik.

“Nyonya Margaret! Maaf saya terlambat… Apakah nyonya baik-baik saja? Apakah terluka?”

Nenek Margaret menggeleng pelan. “Aku baik-baik saja, Johan. Hanya sedikit terkejut.”

Ia lalu menunjuk ke arah bus yang telah pergi. “Tadi ada gadis muda yang luar biasa. Dia yang mengejar dan menghadang penjambret itu. Cantik… dan sangat pemberani.”

Johan menatap kosong ke arah jalan yang sudah kosong. “Gadis …?”

Margaret mengangguk sambil tersenyum lembut. “Kalau semua orang seperti dia  aku percaya akan banyak hal baik yang akan datang.”

Sopir itu membungkuk ringan. “Kalau begitu, izinkan saya mengantar nyonya pulang sekarang.”

Margaret melirik sebentar ke sekeliling, lalu melangkah masuk ke dalam mobil hitam mewah yang terparkir tak jauh dari halte.

Mobil itu perlahan melaju, meninggalkan tempat kejadian. Di dalam, Nenek Margaret masih memandangi kartu nama cadangan yang ada di dompetnya, lalu tersenyum kecil.

“Gadis itu… aku harap kita bertemu lagi.”

Bus berhenti tepat di depan gerbang utama kampus. Maura turun dengan nafas memburu, matanya langsung mencari gedung utama yang disebutkan dalam surat pengumuman kampus.

“Syukurlah belum terlalu terlambat…” gumamnya lega sambil berjalan cepat melewati trotoar bersih dan pepohonan rindang.

Saat memasuki kawasan kampus, Maura terdiam sejenak. Matanya membelalak melihat bangunan megah yang berdiri kokoh di hadapannya. Dinding marmer, taman tertata rapi, dan lalu-lalang mahasiswa dengan pakaian modern dan penuh percaya diri.

“Ini… kampus impianku,” bisiknya, senyum mengembang di wajahnya.

Namun kekaguman itu tak berlangsung lama. Ia segera bergabung dengan sekelompok mahasiswa baru yang tampak sedang mengumpulkan berkas. Dengan map lusuh di tangan, ia maju dan menyerahkan dokumen beasiswanya ke panitia.

“Nama?” tanya seorang panitia berseragam.

“Maura Antika, jalur beasiswa.”

Petugas mengecek berkasnya lalu mengangguk. “Kamu hampir terlambat, tapi hari ini ada pengecualian untuk mahasiswa baru. Ayo masuk ke aula orientasi, kami akan mulai sebentar lagi.”

Maura mengangguk, lalu mencari tempat duduk di antara kerumunan mahasiswa baru. Di sana, ia bertemu dengan beberapa teman seangkatannya. Ada yang ramah, menyapa lebih dulu, ada juga yang hanya menatap tanpa senyum.

Namun tak semua bersikap hangat.

Beberapa siswi berdandan modis, duduk tak jauh dari tempat Maura, mulai berbisik-bisik dan tertawa kecil sambil melirik ke arah Maura.

“Lihat tuh bajunya… kayak dari kampung banget…”

“Haha, sepatu lusuh begitu dipakai ke hari pertama kuliah?”

Namun Maura pura-pura tak mendengar. Ia menegakkan punggungnya dan tetap menatap ke depan dengan mata berbinar.

Ia tak datang ke sini untuk pamer penampilan. Ia datang untuk mengubah nasib.

Setelah acara orientasi selesai , Maura memilih duduk sendiri di sebuah taman kecil di sudut kampus. Tempat itu cukup tenang, jauh dari keramaian dan bisik-bisik tak menyenangkan yang sempat menyapanya tadi.

Ia membuka bekal kecil yang dibawanya dari kosan: roti isi dan sebotol air mineral. Sederhana, tapi cukup mengisi perut yang belum sempat sarapan.

Tiba-tiba, suara lembut terdengar di sampingnya.

“Boleh duduk di sini?”

Maura menoleh. Seorang gadis berkacamata tebal berdiri di hadapannya. Rambutnya lurus dengan poni yang nyaris menutupi alis, penampilannya sederhana namun rapi.

“Tentu, silahkan.”

Gadis itu duduk dan tersenyum kecil. “Aku Laila. Laila Prameswari.”

“Maura. Maura Antika,” jawab Maura sambil membalas senyum.

“Aku lihat kamu sendirian tadi. Jadi… kupikir, kenapa nggak kenalan aja. Aku juga enggak punya banyak teman di sini,” kata Laila sambil mengangkat bahu.

Maura tertawa kecil. “Sama. Aku juga baru di kota ini.”

Laila mengangguk cepat. “Aku asli sini sih, tapi tetap aja susah akrab sama mereka. Aku nggak terlalu suka nongkrong atau ikut-ikutan gaya. Kadang aku kayak alien di kampus ini.”

“Gitu juga ya?” Maura menatapnya penuh pengertian. “Aku tadi juga sempat digosipin karena penampilan. Tapi aku nggak peduli.”

“Bagus! Kamu keren banget,” Laila tersenyum lebar. “Aku suka kamu!”

Maura tertawa. “Aku juga suka kamu, Laila.”

Dari sanalah, awal pertemanan mereka dimulai—dua gadis berbeda latar belakang, tapi saling menguatkan di tengah dunia kampus yang keras dan penuh persaingan. 

Maura dan Laila memutuskan berjalan-jalan menyusuri lorong kampus. Gedung-gedung tinggi dan rindangnya pepohonan membuat kampus itu terasa seperti dunia baru bagi Maura.

“Aku penasaran sama perpustakaan kampus, katanya megah banget,” ucap Maura.

“Aku antar,” jawab Laila sambil tersenyum. Mereka pun berjalan bersama menuju arah gedung perpustakaan.

Saat melewati tikungan lorong, tiba-tiba seseorang dari arah berlawanan melangkah cepat sambil menenteng beberapa berkas. Mereka tidak sempat saling menghindar.

Bruk!

Berkas-berkas itu terjatuh, dan tubuh Maura sedikit terdorong ke belakang. Untungnya, ia masih bisa menjaga keseimbangannya.

“Maaf, aku nggak lihat ada orang di depan.” ucap pria itu dengan suara tegas namun sopan.

Maura buru-buru membantu memunguti berkas yang jatuh. Saat mendongak, matanya bertemu dengan pria tinggi berkulit bersih, mengenakan kemeja putih rapi dan celana gelap. Sorot matanya tajam, penuh wibawa. Sekilas, senyumnya terlihat dingin namun berkelas.

“Enggak apa-apa,” jawab Maura gugup.

“Kamu mahasiswa baru?” tanya pria itu.

Maura mengangguk. “Iya…”

“Sambutan hangat dari ketua BM, nih,” katanya Laila sambil mengedipkan mata ,menggoda Maura.

 “Aku Alex. Ketua Badan Mahasiswa di kampus ini.”

Maura menjabat tangannya perlahan, terkesan dengan pembawaannya yang dewasa dan tenang.

Laila yang sedari tadi berdiri di samping Maura segera berbisik pelan, “Itu Alex Mahesa… populer banget di kampus ini. Tapi… katanya sih, dia belum punya pacar tapi banyak yang naksir.”

Maura hanya tersenyum kecil, 

Setelah pertemuan tak terduga di lorong kampus, Alex mengajak Maura dan Laila berjalan ke perpustakaan. Maura dengan sigap menawarkan bantuan untuk membawa sebagian buku yang sedang dibawa Alex.

“Boleh aku bantu?” tawarnya.

Alex menoleh dan tersenyum tipis. “Boleh. Terima kasih, Maura.”

Perjalanan ke perpustakaan mereka isi dengan obrolan ringan. Alex terlihat tenang dan sopan, sangat berbeda dengan kesan dingin yang sempat Maura tangkap di awal.

“Aku dengar kamu mahasiswa beasiswa?” tanya Alex.

Maura mengangguk. “Iya, aku dari desa. Dapat beasiswa full, makanya berani merantau.”

“Hebat,” ucap Alex singkat sambil menyusun buku-buku di meja peminjaman. “Berarti kamu nggak cuma pintar, tapi juga pemberani.”

Setelah urusan di perpustakaan selesai, mereka berjalan menuju arah parkiran. Maura bersiap pulang, sementara Laila pamit lebih dulu karena dijemput sopir keluarganya.

“Eh, ngomong-ngomong…” Alex menoleh ke arah Maura , penasaran.

 “Tadi pagi, aku lihat ada seorang cewek  bantu nenek yang hampir dijambret. Itu...kamu kan?”

Maira  menatapnya, lalu mengangguk. “kok kamu tau Alex ?”

alex mengangguk semangat. “kamu ngak sadar nya aku juga ada di sana . Membantu meringkus penjambret itu,bersama warga.”

Maur  tertawa kecil. “Berarti kita satu tim, dong?”

alex tersenyum geli. “Mungkin saja. Tapi aku nggak nyangka kamu mahasiswi di kampus ini.”

Maur menaikkan satu alis, “ kebetulan saja aku dapat beasiswa Alex, kalau mandiri akubngak bakalan sanggup kuliah sini alex?”

“Ya... Tidak masalah yang penting prestasinya Maura ,jangan merasa kecil karena jalur beasiwa.” jawab Alex  jujur.

Mereka sama-sama tertawa. Namun kehangatan itu tak berlangsung lama. Beberapa siswi yang sedang lewat di sekitar parkiran melirik mereka sambil berbisik-bisik.

“Siapa sih tuh cewek baru?”

“Sok deket banget sama Alex.”

Maura pura-pura tak mendengar. Ia sudah terbiasa dianggap sebelah mata karena penampilannya yang sederhana. Tapi satu hal yang membuatnya bimbang , seperti yang ia dengar dari beberapa rumor sebelumnya.  Kalau Alex adalah play boy kampus  atau Itu hanya gosip kampus belaka. Maura tak mau memikirkan hal itu ,itu bukan urusan dia .

Alex menoleh padanya sebelum mereka berpisah di gerbang.

“Maura, jangan terlalu ambil hati omongan orang. Jalanmu masih panjang. Fokus aja sama tujuanmu.”

Maura mengangguk pelan. “Terima kasih, Alex.”

Dan hari itu, ia pulang dengan perasaan aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Hangat. Membingungkan. Tapi juga menyenangkan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!