HARGA SEBUAH KESETIAAN
100% diambil dari kisah nyata
Dewanga hanya ingin diterima. Setelah ditolak berkali-kali karena miskin, ia menikahi Tini—janda delapan tahun lebih tua—dengan harapan menemukan pelabuhan. Yang ia dapat adalah badai tanpa henti. Enam tahun pernikahan menjadi neraka: bentakan setiap hari, hinaan di meja makan, ancaman diusir dari rumah yang bukan miliknya.
Ia terperangkap. Ingin pergi, tapi Aini—putri kecilnya—adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Ketika cinta berubah menjadi penjara, dan kesetiaan menjadi racun, Dewanga harus memilih: bertahan hingga hancur, atau berani menyelamatkan dirinya dan anaknya.
Sebuah kisah yang memilukan tentang cinta yang salah, kesetiaan yang keliru, dan keberanian untuk memilih hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Restu yang Penuh Luka
Pagi itu, Rini bangun dengan mata bengkak—sisa tangis semalam yang tidak pernah berhenti sampai subuh.
Ia duduk di teras, menatap jalan tanah di depan rumahnya yang sepi. Ayam-ayam tetangga berlari-lari mencari makan. Matahari baru terbit, tapi langit masih kelabu.
Dewanga datang pagi-pagi—membawa pisang dan roti untuk ibunya, seperti biasa setiap minggu.
"Bu, ini buat Ibu." Dewanga meletakkan kantong plastik di samping ibunya, lalu duduk.
Rini menatap anaknya. Wajah Dewanga lelah—matanya sembab, seperti semalam ia juga tidak tidur.
"Dewa... kamu udah makan?" tanya Rini pelan.
"Udah, Bu."
Hening.
Hanya suara ayam berkotek dan angin pagi yang berhembus pelan.
Rini menarik napas panjang. "Dewa... Ibu mau ngomong. Dengerin dulu sampai selesai, ya?"
Dewanga mengangguk.
"Ibu bukan melarang kamu nikah sama Tini. Ibu udah kasih restu. Tapi Ibu mau kamu inget satu hal." Rini menatap anaknya dalam-dalam. "Pernikahan itu bukan kayak pacaran yang bisa putus kalau gak cocok. Pernikahan itu ikatan selamanya. Kalau kamu salah pilih, kamu yang bakal hidup sengsara. Bukan sehari dua hari, Dewa. Tapi bertahun-tahun. Sampai tua."
Dewanga menunduk. Tangannya meremas-remas ujung bajunya.
Rini melanjutkan dengan suara bergetar. "Ibu liat kemarin... caranya ngomong sama kamu. Caranya ngeliat Ibu. Caranya ngatur Eka. Itu bukan cara orang yang sayang, Nak. Itu cara orang yang... menguasai. Dan Ibu takut... Ibu takut suatu hari nanti kamu bangun di pagi hari, terus nyadar... kamu udah terlambat buat keluar."
Air mata Rini jatuh. "Ibu gak mau kamu menyesal, Dewa. Ibu gak mau kamu hidup kayak Ayah kamu dulu—kerja keras tapi gak dihargai. Sakit tapi gak diperhatiin. Ibu gak mau kamu ngalamin itu."
Dewanga menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. "Tapi Bu... aku udah cape ditolak. Aku udah cape sendirian. Tini... Tini mau nerima aku. Dia gak peduli aku miskin. Dia gak peduli aku cuma pedagang gorengan."
"Atau dia cuma butuh kamu buat jadi bapak buat Eka? Buat nutup malu dia jadi janda?" Rini menatap anaknya tajam.
Dewanga terdiam.
Rini menggenggam tangan anaknya erat. "Dewa... cinta yang beneran itu bukan cuma 'mau nerima.' Cinta yang beneran itu ngehargai. Cinta yang beneran itu gak bentak-bentak tanpa alasan. Cinta yang beneran itu gak bikin kamu merasa kecil."
"Tapi Bu—"
"Ibu gak melarang, Nak." Rini memotong lembut. "Ibu cuma mau kamu pikirin lagi. Cuma itu. Kalau kamu udah yakin... Ibu gak akan halangin. Ibu percaya kamu bisa ambil keputusan yang terbaik buat kamu."
Dewanga memeluk ibunya—pelukan erat yang penuh penyesalan dan kebingungan.
"Maafin Dewa, Bu... maafin Dewa udah bentak Ibu semalam..."
Rini mengusap punggung anaknya, menangis dalam diam. "Ibu maafin, Nak. Ibu selalu maafin kamu. Karena Ibu tau... kamu cuma lagi lelah. Lagi sakit. Lagi butuh sesuatu buat dipegang."
Mereka berdua diam dalam pelukan itu—seorang ibu yang tahu ia akan kehilangan anaknya pada keputusan yang keliru, dan seorang anak yang terlalu lelah untuk mendengarkan nasihat yang paling ia butuhkan.
***
Sore itu, setelah Dewanga pulang, Rini masuk ke kamarnya.
Ia mengambil sajadah lusuh, menggelar di lantai kayu yang dingin, lalu sujud panjang.
Air matanya membasahi sajadah.
"Ya Allah... hamba mohon... semoga firasat hamba salah... semoga wanita itu baik... semoga anak hamba bahagia... Ya Allah... kumohon... jangan biarkan anak hamba sengsara..."
Rini menangis—tangis seorang ibu yang sudah melakukan semua yang ia bisa, tapi tahu bahwa anaknya sudah terlalu jauh berjalan di jalan yang salah.
Dan di luar, langit mulai gelap—pertanda hujan akan datang.
**[Bab 22 Selesai - 696 kata]**