Ini kisah tentang sepasang saudara kembar yang terpisah dari keluarga kandung mereka, karena suatu kejadian yang tak diinginkan.
Sepasang saudara kembar yang terpaksa tinggal di Panti Asuhan dari usia mereka dua tahun. Akan tetapi, setelah menginjak usia remaja, mereka memutuskan untuk keluar dari Panti dan tinggal di kontrakan kecil. Tak lupa pula sambil berusaha mencari pekerjaan apa saja yang bisa mereka kerjakan.
Tapi tak berselang lama, nasib baik mereka dapatkan. Karena kejadian tanpa sengaja mereka menolong seseorang membuat hidup mereka bisa berubah 180 derajat dari sebelumnya.
Siapa yang menolong mereka? Dan di mana keluarga kandung mereka berada?
Apa keluarga kandung mereka tidak mencari mereka selama ini?
Ayo, ikuti kehidupan si kembar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penpurple_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HOPEFULLY
Kini ketiganya, Naldo, Nata, dan Tama sudah berada di depan pintu Apartemen mewah itu. Bagaimana mereka bisa tau alamat Apartemen si kembar? Itu dikarenakan Aditya telah memberitahukan ke mereka sebelumnya. Aditya juga tau alamat itu dari keluarga Davidson.
Tama memencet bel tak sabaran dengan sesekali melompat kecil. Nata terkekeh melihatnya. “Girang banget,” katanya.
“Iyalah, setelah sekian lama nggak ketemu dua bayi bantet gue, sekarang udah gede, mana sekarang jadi model lagi.”
Sedangkan di dalam Apartemen itu, Nanda tampak mengernyitkan dahinya. “Siapa yg bertamu siang-siang?” Tak urung juga dia tetap berdiri mendekati pintu. Sebelum membukanya, Nanda mengintip dari balik peephole door, dan saat melihat siapa yang bertamu, dia jadi tersentak.
Ngapain mereka ke sini? pikirnya. Perlahan tangannya bergerak membuka pintu, tidak sepenuhnya, wajahnya menyembul dari balik pintu.
“Eh, Kakak sama Abang-Abang.” Nanda terkekeh kaku. Tama melambaikan tangannya, “Halo, Adek.”
Nanda ikut melambaikan tangannya masih dengan posisi yang sama. “Halo, ada apa, ya?” tanyanya.
Nata membuka suara, “kita niatnya mau main aja ke sini, boleh? Kamu lagi nggak sibuk, kan?”
Nanda lantas membuka lebar pintu itu, mempersilahkan mereka masuk. “Boleh, Kak, masuk aja. Kebetulan aku sama Nando lagi nggak sibuk, kok.”
Nata mengambil alih beberapa totebag di tangan Naldo yang sedari tadi hanya diam. Lalu memberikannya pada Nanda. “Ini ada bingkisan buat kamu sama Nando, Nandonya mana?”
“Ah, makasih, Kak, maaf ngerepotin. Nandonya ada kok di kamarnya, nanti aku panggilin. Kalian duduk aja dulu.” Setelahnya Nanda berjalan memasuki kamar Nando sembari membawa beberapa totebag dengan brand terkenal itu, lalu menaruhnya di atas kasur dekat Nando yang masih terpejam.
“Jo, Jo.” Nanda mengguncangkan bahu Nando. Pemuda itu hanya meringis saja meresponnya. “Bangun, Paijo, ada tamu”
Nando melenguh. “Siapa?” tanyanya pelan dengan suara serak.
“Kak Nata sama Abang-Abang yang kemarin itu, lho,” jelas Nanda membantu Nando untuk duduk dan merapikan rambut kembarannya yang berantakan. Dia tertawa pelan melihatnya, “rambut lo kek sapu ijuk. Cuci muka sana, kalo nggak males langsung mandi.”
Nando mengernyit dengan bibir manyun. “Males, ah, nanti aja. Mereka ngapain ke sini?”
“Mau main aja katanya, udah sana buruan cuci muka, gue mau bikinin minum mereka dulu,” kata Nanda segera berlalu keluar kamar menghampiri mereka. Nando malas sebenernya, tapi karena harus menghargai kehadiran mereka, dia akan keluar kamar.
Saat sudah berada di dekat tamunya, Nanda membuka suara. “Maaf, ya, semuanya, agak lama tadi banguni Nando dulu.” Mereka yang mendengar hanya tersenyum. “It's okey, Adek,” balas Tama mengacungkan jempolnya. Nata mengangguk setuju, “tadi juga cuma bentar kok kamunya.”
Nanda tersenyum. “Kalo gitu aku ke dapur dulu, ya, mau buat minuman.”
“Kak Nata boleh ikut? Kakak bantu,” ujar Nata, tadinya dia sempat memperhatikan beberapa foto si kembar yang terpajang di dinding dan lemari Apartemen itu sekilas.
“Boleh, Kak.” Nanda mengangguk membuat Nata beranjak berdiri dan keduanya berlalu ke dapur.
Tama kini berdiri, memperhatikan secara dekat foto si kembar yang kira-kira masih berusia lima tahun di lemari itu. “Bang, ini kayaknya foto mereka pas masih tinggal di Panti, deh.” Dia menunjukkannya pada Naldo.
Naldo melihat sekilas, “mungkin.” Matanya kembali melihat foto di dinding dekatnya duduk. Tak lama matanya beralih pada Nando yang baru saja keluar dari kamar menghampiri mereka.
“Nando,” sapa Tama ceria, dia menghampiri Nando yang baru saja mendudukkan diri di sofa single bersebelahan dengan Naldo duduk. “Iya, Bang.”
“Apa kabar?” tanya Tama lagi dengan wajahnya yang tetap ceria. “Baik.” Setelah mendengar itu, dia cemberut. “Sama aja kek Bang Naldo,” ujarnya.
***
Di dapur, Nanda dan Nata sedang membuat sirup merah untuk mereka dan ada beberapa cemilan yang juga mereka siapkan. Untungnya si kembar selalu menyiapkan stok cemilan dan minuman. Karena memang biasa si kembar siapkan kalau ada tamu mendadak seperti hari ini.
“Kalian berdua, udah lama ya tinggal di Apartemen ini?” Nata membuka pembicaraan yang lebih dalam.
Nanda terdiam sebentar. “Belum lama kok, Kak.” Wajahnya terlihat berpikir. “Setahun? Iya kayaknya, kurang lebih baru setahun.” Dia mengangguk-anggukan kepala.
Nata ikut mengangguk. “Kalo ketemu tante Rose, udah lama, ya, Dek?” tanyanya lagi. Dia sebenarnya sudah tau karena sudah diceritakan oleh Aditya yang mendapat informasi langsung dari keluarga Davidson, tapi dia ingin bertanya langsung saja pada Nanda.
“Satu tahun lebih, Kak. Mommy juga yang kasih Apartemen ini sama mommy juga yang udah kasih kita kerjaan.” Nanda tersenyum menatap Nata yang membuat Nata juga ikut tersenyum, mengelus rambut Nanda sekilas.
“Maaf, ya, kalo kesannya Kakak banyak tanya.”
“It's okey, Kak Nata. Mau diceritain secara singkat?” Nata mengangguk antusias. “Boleh.”
“Kan dulu, sebelum ketemu mommy, aku sama Nando tinggalnya di Panti, Kak.” Nata tertegun. “Kata ibu Meta, yang ngurus kami dari kecil, ibu nemuin aku sama Nando di dekat Panti. Katanya pas itu umur kami kisaran dua tahun, terus singkatnya pas kami udah umur berapa, ya? Duh, lupa, belasan pokoknya, kami mutusin keluar dari Panti, buat cari kerjaan, Kak.”
Tangan Nata berhenti mengaduk sirup mendengarnya. “Maaf, Nanda, kalian nggak sekolah?” tanya Nata pelan.
“Sekolah, Kak. Tapi pas udah tamat SD, kami lebih milih buat nggak lanjut karena nggak ada biaya. Tapi sekarang kerja sambilan belajar, kok, disuruh mommy ambil homeschooling,” jeda Nanda. “Ketemu mommy juga tanpa sengaja, Kak,” lanjutnya terkekeh dan Nata diam kali ini menyimak kembali. “Pas mau pulang ke kontrakan, kan dulunya tinggal di kontrakan, sebelum tinggal di sini. Ketemu sama mommy di jalan, jalanannya emang suka sepi, posisinya waktu itu mommy lagi dijambret, Kak, lebih tepatnya mah, dibegal.”
Nata terkejut, matanya membulat. “Serem banget, tapi kalian nggakpapa, kan, waktu itu?”
Nanda terkekeh. “Aman, Kak,” jawabnya.
“Satu lagi, Nan, Kakak mau nanya satu lagi, ya. Kalo untuk yang ini maaf kalo kesannya jadi gimana gitu.” Nata meringis tak enak.
“Nggakpapa, Kak, tanyain aja.”
“Kalo masalah nama kalian, yang ngasih namanya ibu Panti, ya?” Nata terdiam setelah melontarkan pertanyaan itu. Dalam hatinya harap-harap cemas, semoga jawaban Nanda sesuai sama apa yang diharapkannya.
“Kalo untuk nama, itu dari kalung yang masih nyantol di leher kami, Kak.”
***
— t b c —