ELINA seorang guru TK yang tengah terlilit hutang warisan dari kedua orangtuanya terus terlibat oleh orang tua dari murid didiknya ADRIAN LEONHART, pertolongan demi pertolongan terus ia dapatkan dari lelaki itu, hingga akhirnya ia tidak bisa menolak saat Adrian ingin menikah kontrak dengannya.
Akankah pernikahan tanpa cinta itu bisa berakhir bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25: Kehidupan Setelah Menikah
Mobil hitam berhenti perlahan di depan gerbang taman kanak-kanak yang tertata rapi dengan bunga-bunga kecil bermekaran di sepanjang jalur masuk. Adrian turun lebih dulu, lalu memutar ke sisi lain dan membukakan pintu untuk Elina dan Claire. Seperti seorang pelayan pribadi, tapi dengan gerak-gerik yang terlalu lembut untuk sekadar formalitas.
Elina turun lebih dulu, membetulkan sedikit rok dan kerah blusnya. Claire melompat turun kemudian, menggenggam tangan mamanya sambil tersenyum lebar.
Sebelum mereka sempat melangkah, Adrian membungkuk dan mengecup dahi Claire. "Belajar yang baik hari ini, ya."
Gadis kecil itu mengangguk, tapi sebelum sempat Adrian menjauh, ia menengadah dan berkata dengan polos, "Daddy belum cium Mama!"
Elina membeku, matanya membesar sesaat. Adrian yang biasanya tenang tampak sedikit kaku, lalu menatap Elina sejenak, seolah meminta izin dalam diam. Tanpa berkata-kata, ia merunduk dan mengecup pelan pucuk kepala istrinya.
Hangat. Lembut. Sepintas... nyaris seperti cinta.
Wajah Elina memerah, tapi ia tak berkata apa-apa selain mengangguk pelan. Claire tersenyum puas dan langsung menggamit tangan ibunya untuk berjalan masuk.
Begitu mereka melewati pagar sekolah, beberapa guru dan staf yang sedang berdiri di halaman depan memperhatikan dari jauh. Tatapan mereka beragam, ada yang tersenyum tulus, ada yang saling berbisik.
"Suaminya Elina, ya Tuhan... itu Adrian Leonhart, kan?" bisik salah satu guru muda dengan nada kagum.
"Iya, dia pemilik perusahaan teknologi itu. Gila... Elina benar-benar menikahinya?" sahut yang lain dengan nada lebih tajam.
"Aku dengar dia dekat sama Claire sejak lama. Mungkin saja... dia memang sengaja mendekati si anak demi si ayah," gumam seorang staf sambil melirik sinis.
"Jangan begitu. Elina orang baik," sela guru senior yang lebih bijak. "Jangan buru-buru percaya semua yang kau dengar."
Namun seperti kabar di sekolah-sekolah lain, gosip menyebar cepat. Ada yang percaya, ada yang menggeleng tak yakin.
Dan Elina, saat berjalan melewati mereka, tetap menegakkan kepala. Ia tahu tak semua orang akan percaya pada kebenaran. Tapi Claire menggenggam tangannya erat, dan di belakang sana, Adrian sempat menoleh dari balik kemudi, menatapnya sebelum mobil itu menjauh.
Dan untuk saat ini... itu cukup.
...****************...
Ruang kelas pagi itu terasa lebih terang dari biasanya. Jendela-jendela tinggi memantulkan sinar matahari yang lembut ke dinding warna pastel, sementara aroma kertas baru dan lilin mainan menyatu menjadi wangi khas ruang anak-anak. Claire duduk di bangku kecilnya, mengenakan seragam mungil dengan pita di rambut, mengamati mamanya yang sedang menyusun materi belajar di meja depan kelas.
Elina mengenakan blus putih dengan rok selutut berwarna krem. Riasannya tipis, tapi cukup untuk membuat wajahnya tampak segar dan bersinar. Ada kelembutan dalam sorot matanya, namun juga ketegasan yang perlahan tumbuh, ia bukan lagi Elina yang dulu. Kini ia adalah seorang guru, seorang ibu... dan seorang istri.
"Selamat pagi, anak-anak!" sapanya riang saat bel berbunyi.
Anak-anak menyahut dengan tawa dan suara kecil yang bersahutan. Claire melambaikan tangan kepada Elina, kepada mamanya sendiri. Hati Elina menghangat melihat wajah polos itu bersinar karena semangat.
Sementara di ruang guru, suasana sedikit berbeda.
"Aku senang akhirnya Elina menikah juga," ujar Bu Rani, guru musik paruh waktu yang dikenal ramah dan bersuara merdu. "Ia gadis yang baik. Selalu perhatian sama anak-anak. Kalau suaminya seorang CEO pun, kenapa tidak?"
"Kalau memang niatnya tulus, iya," sahut Bu Tania, guru TK kelompok B, sambil menyeruput kopi dengan alis terangkat. "Tapi jangan lupakan... dulu dia dekat banget sama Claire sebelum si ayah muncul. Terlalu dekat, malah."
"Tania, jangan asal menuduh," tukas Bu Lela, guru Bahasa Inggris yang selama ini paling dekat dengan Elina. "Claire memang anak yang butuh perhatian khusus. Dan Elina... dia selalu tulus. Bahkan sebelum mengenal siapa ayah Claire sebenarnya."
Tania hanya mengangkat bahu. "Ya, semoga kamu benar."
Ketika Elina masuk ke ruang guru untuk mengambil beberapa alat bantu ajar, percakapan itu berhenti seketika. Beberapa dari mereka tersenyum, ada yang menyapa hangat, ada pula yang hanya menunduk pura-pura sibuk dengan ponsel atau laporan nilai.
"Pagi," sapa Elina dengan tenang, melempar senyum sopan meski suasana terasa dingin di beberapa sudut.
"Pagi, Elina! Bagaimana rasanya kembali setelah... pernikahan impianmu?" ujar Bu Rani sambil menyodorkan sepotong bolu buatan sendiri.
Elina tersenyum, "Nyaman. Walau... tetap butuh penyesuaian."
"Claire tampak senang. Senyum terus dari pagi," timpal Bu Lela.
"Ya, dia sangat bersemangat."
Namun dari sudut ruangan, Bu Tania menoleh ke guru magang yang duduk di sampingnya dan berbisik, "Kita lihat berapa lama dia bisa bertahan jadi ‘ibu sempurna’. Menikahi bos bukan berarti dia jadi paling benar di sini."
Elina mendengar bisikan itu. Tapi ia hanya menunduk ringan, menarik napas pelan, dan keluar dari ruang guru tanpa sepatah kata. Claire sedang menunggunya di kelas. Ada pelajaran seni hari ini. Dan banyak senyum anak-anak yang lebih penting dari kata-kata tajam yang tak berguna.
...****************...
Pagi itu, suasana di kantor Leonhart Group lebih hiruk dari biasanya. Di antara lalu lalang staf dan deretan suara keyboard yang berdenting cepat, ada bisik-bisik yang tak biasa menyelinap dari balik meja-meja kerja.
"Dia sudah datang?"
"Baru saja turun dari lift."
"Astaga... lihat itu setelannya... sepertinya keluaran terbaru Zegna."
"Dan... senyum? Apakah dia tadi... tersenyum sedikit?"
Sosok yang dimaksud tentu saja Adrian Leonhart. CEO muda itu melangkah tenang menyusuri lorong dengan setelan abu gelap yang membingkai tubuh tingginya dengan sempurna. Wajahnya yang selama ini dikenal dingin dan penuh wibawa tampak sedikit... melunak. Bukan tersenyum lebar, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya, seperti embun tipis yang mengendap di tepi kaca baja.
Karyawan wanita yang semula hanya bisa memujanya dari jauh kini saling melirik dengan antusias.
"Aku yakin dia sedang jatuh cinta."
"Atau... semalam dia bahagia?"
"Jangan-jangan malam pertamanya sukses besar..."
Di ujung lorong, Samuel berdiri santai, bersandar pada tembok dengan map tipis di tangan. Begitu Adrian mendekat, Samuel menyambutnya dengan senyum menggoda.
"Pagi, suami muda," sapa Samuel dengan suara berat yang ditahan agar tak meledak tawa.
Adrian hanya melirik sejenak. "Pagi." Lalu melangkah masuk ke ruang kerjanya.
Namun seperti biasa, Samuel mengekor tanpa malu, menutup pintu ruang kerja dengan santai lalu menjatuhkan tubuh ke sofa kulit mahal di sudut ruangan.
"Jangan pura-pura sibuk dulu, Leonhart. Aku di sini bukan buat meeting," katanya sambil menjentikkan map ke meja kaca.
Adrian membuka laptopnya tanpa melihat sahabatnya. "Kupikir kau sudah terlalu tua untuk drama pagi."
"Jangan ganti topik. Aku sudah sabar menunggu kabar. Jadi, bagaimana kehidupan sebagai pria menikah"” Samuel menyilangkan kaki, menyeringai. "Bulan madu kalian seperti apa? Jangan bilang cuma jalan-jalan dan duduk manis."
Adrian menatap layar beberapa detik sebelum menjawab, suaranya datar, tapi ada senyum samar di ujung bibirnya. "Damai."
Samuel menegakkan tubuhnya. "Damai? Itu saja? Astaga, Leonhart. Kau baru saja menikahi wanita yang membuatmu merombak seluruh jadwal kerja, membelikan vila pribadi, dan..."
"Menginap dua malam di rumah nenekku," sela Adrian sambil akhirnya menoleh. "Kau lupa yang itu."
Samuel mendecak. "Oh, benar. Nenek Elizabeth. Apakah beliau sudah menyusun rencana cucu pertama?"
Adrian tertawa kecil, benar-benar tawa yang tulus, yang sangat jarang terdengar di ruang kerja itu. "Ya, tapi Claire sudah cukup membuat rumah ramai.”
Samuel mengangkat alis. "Claire memanggil Elina ‘mama’ sekarang?"
Adrian mengangguk pelan. "Dengan bangga. Dan Elina... dia membuat sarapan pagi ini. Untuk kami bertiga."
Samuel menatapnya, kali ini tanpa senyum bercanda. "Kau terlihat berbeda, Adrian."
Adrian bersandar di kursinya, tatapannya mengarah ke jendela besar yang menampilkan langit pagi kota. "Aku merasa berbeda."
Samuel tidak bertanya lagi. Ia tahu, apapun yang sedang tumbuh di dalam hati sahabatnya, itu bukan sesuatu yang bisa didefinisikan dengan cepat. Tapi satu hal pasti, Adrian Leonhart, sang CEO dingin, telah menemukan ketenangan dalam kehangatan yang dulu selalu ia jauhi.