Kata orang, roda itu pasti berputar. Mereka yang dulunya di atas, bisa saja jatuh kebawah. Ataupun sebaliknya.
Akan tetapi, tidak dengan hidupku. Aku merasa kehilangan saat orang-orang disekitar ku memilih berpisah.
Mereka bercerai, dengan alasan aku sendiri tidak pernah tahu.
Dan sejak perceraian itu, aku kesepian. Bukan hanya kasih-sayang, aku juga kehilangan segala-galanya.
Yuk, ikuti dan dukung kisah Alif 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siksaan Untuk Alif
Neli benar-benar menepati janjinya untuk membelikan Alif ikan. Karena uangnya sedikit, Neli pun hanya membeli dua ikan kecil. Cukup, untuk malam dan besok agar bisa dibawakan bekal oleh Alif, ke sekolah.
Sore harinya, kembali Akmal memanggil Alif untuk bermain dirumahnya. Dan kebetulan, Neli tidak ada di rumah, akhirnya, Alif pun mengikuti langkah kaki Akmal, yang rumahnya hanya beberapa meter dari rumahnya.
"Kita main petak umpet aja gimana?" tanya bocah yang umurnya masih sembilan tahun.
"Oke, tapi siapa yang jaga?" tanya Alif.
"Kamu aja, aku yang sembunyi dulu." ujar Akmal.
Alif melakukan seperti apa yang dikatakan oleh Akmal. Dan Akmal sendiri, berlari kedalam rumah untuk tersembunyi.
Setelah mendengar aba-aba dari Akmal, baru lah, Alif membuka matanya dan mencari-cari keberadaan Akmal.
Hampir sepuluh menit Alif mencari ke setiap sudut. Namun, dia tidak menemukan Akmal di manapun. Bahkan, sampai ke belakang tumpukan kayu. Namun, hasilnya tetap nihil.
"Akmal, aku menyerah ..." teriak Alif.
Akmal tertawa senang, kala mendengar teriak Alif. Dia keluar dari dalam rumah, dan kembali bersiap untuk sembunyi.
"Mana aci,,, masak sembunyi nya di dalam." keluh Alif memangku tangannya.
"Terserah, wleehh ..." Akmal menjulurkan lidahnya.
"Ya, sudah aku gak mau main lagi." ujar Alif.
"Ya udah, aku gak sembunyi di dalam rumah lagi." Akmal mengalah.
Kembali, Alif berjaga dan Akmal sembunyi. Namun kali ini, Akmal memilih memanjat pohon jambu yang tumbuh di halaman rumahnya. Dia menaikinya dengan sangat gesit.
Namun, sebelum mencapai tempat yang diinginkan, Akmal terjatuh dan berteriak kesakitan.
Sontak, Nila yang sedang memasak untuk makan malam di dapur, berlari dengan tergopoh-gopoh mendengar tangisan dari anak semata wayangnya.
"Kenapa? Apa yang terjadi?" teriak Nila, mendengar jeritan anaknya.
"D-dia jatuh dari pohon jambu." Alif menyahut dengan terbata-bata.
"Apa yang kamu lakukan? Kamu pasti menyuruhnya untuk naik kesana kan?" Nila melayangkan tangannya ke punggung Alif.
Alif tercekat, dia seperti kehilangan napas dalam beberapa detik. Sakit, itulah yang di rasakannya, dan detak jantungnya semakin berdebar.
"Kenapa? Mau nangis juga? Ini belum apa-apa dibandingkan anakku." bentak Nila, kala melihat Alif menjatuhkan air matanya.
Melihat ibunya sangat marah, Akmal malah semakin menangis karena ketakutan. Dan itu, membuatnya takut mengatakan hal yang sebenarnya.
"Udah berapa kali ibu bilang, jangan main sama anak nakal itu. Dia itu, gak punya orang tua yang mendidiknya." cetus Nila, tanpa memperdulikan luka mental yang di alami oleh Alif.
"Dia, yang ajak aku main bu." bohong Akmal, disela tangisannya.
Alif mendengar itu, hendak mundur dan pulang ke rumah. Namun, baru mengambil ancang-ancang untuk berlari, Nila menarik tangan Alif.
Dia mengambil cabang kayu, dan memukul punggung Alif dengan sekuat tenaga.
Tetangga di sampingnya yang mendengar teriak Alif, langsung keluar. Namun, dia tidak berani macam-macam, karena Nila adalah ibu rt. Dan siapapun yang membantahnya, siap-siap dana bantuan tidak akan masuk ke mereka.
Uang, mengalahkan rasa kemanusiaan. Itulah, yang dirasakan oleh orang-orang. Sampai akhirnya, Neli pulang melewati rumah Nila. Dia berlari sekuat tenaga melindungi cucunya.
"Apa yang kamu lakukan Nila? Kamu bodoh, atau gimana? Lihat dia luka." teriak Neli menarik tubuh gemuk Nila sekuat tenaga. Bahkan, napasnya memburu.
"Apa kamu gak dengar, dia minta ampun? Apa yang membuatmu, menghukumnya? Hah?" beruntun Neli, bahkan matanya seperti hendak keluar akibat emosi.
Neli langsung memeluk Alif yang terlebih dulu, memeluk kakinya. Bahkan, sekarang air matanya melebur bersama tangisan menyayat hati dari Alif.
"Dia, dia sudah berani mengajak Akmal bermain, dan menyuruh Akmal naik pohon, sehingga Akmal jatuh. Memangnya aku salah? Aku hanya ingin dia merasakan, apa yang anakku rasakan. Badan anakku sakit, tahu gak?" Nil berteriak tak kalah besar.
"Benar begitu?" tanya Neli.
Alif hanya menggeleng, bahkan sekedar menjawab pun ia tidak berani.
"Anda lihat, kan?" seru Neli.
"Jadi, menurutmu anakku bohong? Hah? Dia gak mungkin berbohong, karena aku didik dia dengan baik. Tidak seperti dia, bahkan orang tuanya pun tidak mau merawatnya. Dan itu memang pantas, untuk anak-anak nakal seperti mu." berang Nila, sembari menunjuk-nunjuk ke arah Alif.
Karena tahu akan kalah berdebat dengan Nila. Neli pun, melenggang pergi. Dia pun, tidak mau, jika nanti Nila kembali mengeluarkan kata-kata yang membuat Alif semakin terluka.
Sembari memberi obat dari daun-daunan yang di percaya bisa cepat menyembuhkan luka. Neli kembali meneteskan air mata. Apalagi, jerit tangis Alif, semakin membuat hatinya tersayat.
"Benar, kamu tidak mengajak Akmal?" tanya Neli sembari mengipas punggung Alif.
"Akmal, datang kesini dan ajak aku main nek. Aku juga gak menyuruhnya naik ke pohon jambu. Aku hanya melarangnya, jangan ngumpet di dalam rumah. Hanya itu." isak Alif.
"Nenek percaya." lirih Neli, sembari sesekali melap air matanya.
"Mulai besok, kamu jangan main sama Akmal lagi ya? Kamu di rumah saja." pinta Neli.
Malam semakin beranjak, Alif mulai meracau dalam tidurnya. Neli yang tidur di kasur yang berbeda terjaga. Karena tidak biasannya Alif begitu.
Saat tangannya mendekati lengan Alif, Neli terkejut. Karena sang cucu diserang deman. Mungkin saja, iru efek nyeri dari luka di punggungnya.
Dengan telaten, tangan keriput itu mulai mengompres dahi serta ketiak Alif. Namun, hatinya lagi-lagi tercabik, saat mendengar permohonan minta ampun dari Alif.
Mungkin saja, bocah lelaki itu sedang bermimpi, jika Nila kembali menyiksanya.
"Alif, buka mata nak ..." dengan lembut Neli membangunkan Alif. Dia hanya ingin, Alif sadar dari mimpi buruknya.
"Ayah ,,, Ibu ..."
Bukannya terbangun, Alif malah semakin membuat hati Neli terluka.
"Rindu ..."
Satu kata, membuat dada Neli sesak.
Semalaman Neli tidak lagi bisa melanjutkan tidurnya. Dia dengan telaten merawat Alif.
Pagi ini, Neli memasak bubur untuk Alif. Tidak, lebih tepatnya hanya memasak nasi lembek, dengan tambahan sedikit garam. Karena untuk bahan-bahan lain, sudah pasti tidak ada.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Neli, pada Alif yang sedang duduk di depan televisi usang.
Televisi tersebut, merupakan satu-satunya hiburan untuk Alif. Walaupun gambarnya sedikit berwarna merah, namun Alif tidak mempermasalahkannya.
"Kamu gak usah sekolah, biar nanti nenek yang telpon gurumu!" seru Neli.
Alif mengangguk, dia menerima bubur dari tangan neneknya. Dan memakannya sediri. Karena Neli, harus kembali menyelesaikan pekerjaannya dalam menggetok emping.
"Nek Alif, Alif-nya ada?" tanya bocah yang kemarin membuat Alif terluka.
"Akmal, kok kesini? Kenapa gak sekolah?" tanya Neli.
"Gak mau sekolah aja. Alif juga gak sekolah ya? Tadi aku lihat, dia gak lewat depan rumah."
"Iya, Alif sakit. Kamu pulang aja ya. Nanti ibumu marah." usir Neli secara halus.
"Tapi, kata ibu, aku boleh kok main disini." tutur Akmal.
Deg ...
"Apalagi, yang Nila lakukan?" gumam Neli.