Sudah dua bulan sejak pernikahan kami. Dan selama itu, dia—lelaki itu—tak pernah sekalipun menyentuhku. Seolah aku tak pernah benar-benar ada di rumah ini. Aku tak tahu apa yang salah. Dia tak menjawab saat kutanya, tak menyentuh sarapan yang kubuat. Yang kutahu hanya satu—dia kosong dan Kesepian. Seperti gelas yang pecah dan tak pernah bisa utuh lagi. Nadira dijodohkan dengan Dewa Dirgantara, pria tiga puluh tahun, anak tunggal dari keluarga Dirgantara. Pernikahan mereka tak pernah dipaksakan. Tak ada penolakan. Namun diam-diam, Nadira menyadari ada sesuatu yang hilang dari dalam diri Dewa—sesuatu yang tak bisa ia lawan, dan tak bisa Nadira tembus. Sesuatu yang membuatnya tak pernah benar-benar hadir, bahkan ketika berdiri di hadapannya. Dan mungkin… itulah alasan mengapa Dewa tak pernah menyentuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon heyyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32. Hans.
Mobil melaju pelan meninggalkan halaman rumah. Aku duduk di belakang, seperti biasa di antarkan oleh seorang supir. Hari ini aku tidak memiliki tujuan pasti, hanya keingat kuat untuk pergi. Menjauh dari suasana hening yang menyesakkan dan dari meja makan yang selalu di penuhi dengan masakan dingin yang tak tersentuh.
Aku mengambil ponsel dari dalam tas kecil di sebelahku. Menatap layar sesaat sebelum akhirnya menekan sebuah kontak atas nama Hans (Psikolog Konseling). Jari jariku masih ragu, tetapi tidak tau kenapa aku tetap menekan tombol panggil.
Suara nada sambung terdengar beberapa detik. Kemudian, suaranya menyapa.
"Nadira?."
Nada bicaranya terdengar seperti terkejut namun tetap hangat. Bahkan lewat sambungan suara aku tetap bisa menebak senyumannya.
"Iya, ini aku.Maaf kalau aku menganggu waktu kerja mu."
"Tidak sama sekali."Jawabnya cepat. "Ada apa? Ini kali pertama aku menerima telepon dari kamu,Nad..." Sambungnya antusias.
Aku tersenyum kecil, menatap jalanan yang mulai ramai di depanku. "Aku hanya...tidak terbiasa menelepon terlebih dahulu." Senyumku semakin lebar. Mengatakan sebuah kejujuran ternyata bisa terasa sedikit lucu dan memalukan.
"Benarkah? Berarti ini hari keberuntunganku." Ucapnya ringan, ada sedikit gurauan dalam suaranya.
Aku terdiam sejenak, kemudian berbicara, pelan, seolah ragu dengan keputusan aku sendiri.
"Aku ingin keluar makan siang...Sendiri, tadinya.Tapi jika kamu tidak keberatan, maukah kamu menemaniku?"
"Tentu saja aku mau," Jawabnya tanpa berpikir panjang." Tapi aku masih ada satu sesi dengan klien pukul sebelas. Bagaimana jika kamu datang terlebih dahulu, lalu aku menyusul...kirimkan saja lokasinya kepadaku."
"Baik.Aku juga tidak keberatan menunggu sebentar, mungkin aku memang butuh waktu sendiri sejenak."
Hans tidak segera menjawab. Mungkin dia menyadari nada suaraku yang berbeda, lebih berat dari biasanya.
"Kalau begitu, janji padaku, jangan pulang sebelum aku datang." Ucapnya akhirnya,lembut namun terdengar kokoh.
Aku mengangguk pelan, meski tahu ia tidak akan melihatnya. “Aku janji.”
Telepon terputus. Aku meletakkan ponsel di kursi samping dan menarik napas panjang. Suaranya meninggalkan kesan hangat dalam pikiranku. Ia terdengar bahagia. Seolah kehadiranku benar-benar berarti baginya. —Atau ini hanya di pikiranku saja, mungkin karena aku terlalu lelah menghadapi Pernikahan ini.
......................
Aku berada di sebuah kafe, tidak jauh dari tempat Hans bekerja. Entahlah, aku tidak tau harus memilih tempat dimana jadi aku putuskan untuk memilih kafe kecil. Sederhana.
Duduk sendirian di dalam sini benar benar membuatku hanyut dalam setiap momen menyedihkan yang melintas di pikiranku. Masakan yang dingin, rumah yang sepi dan seseorang yang tidak jelas isi hatinya. Aku sedang tidak memikirkan kesedihanku saja,aku juga berpikir, apakah sebenarnya aku juga membuat Dewa sedih, dia terikat di sebuah pernikahan, dengan wanita yang tidak pernah dia temui. Lalu terpaksa bertemu denganku setiap kali dia berada di rumahnya. Mungkin Dewa juga sama sepertiku. Tapi, sampai kapan? Sampai kapan kami bisa mempertahankan ini semua.
Aku baru saja menyeruput tegukan terakhir dari teh yang mulai mendingin ketika suara langkah kaki terdengar mendekat. Aku mendongak pelan. Di antara lalu-lalang orang yang keluar masuk kafe, aku melihat sosok yang sangat kukenal—membawa senyum yang langsung menghangatkan suasana.
“Hai,” ucap Hans seraya menarik kursi di depanku. Ia mengenakan kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku, tampak sedikit tergesa, namun tidak kehilangan ketenangannya.
“Hai,” balasku singkat, namun senyumku tak bisa kusembunyikan.
“Aku tidak terlambat, kan?”
“Tidak. Aku juga baru saja sampai,” jawabku, berbohong kecil. Aku sudah duduk di sini hampir satu jam, namun aku tidak ingin Hans merasa bersalah.
Hans memesan kopi hitam dan seporsi makanan ringan. Ia tidak banyak bertanya, tidak memaksaku untuk bercerita. Dan aku bersyukur untuk itu. Suasana di antara kami tidak canggung, tapi juga tidak terlalu akrab. Seperti dua orang yang saling memahami tanpa harus menjelaskan terlalu banyak.
“Terima kasih karena sudah meneleponku tadi,” katanya tiba-tiba, memecah hening yang menyenangkan. “Itu… kejutan yang menyenangkan.”
Aku mengangguk pelan. “Aku hanya tidak ingin makan sendirian hari ini.”
“Dan aku senang bisa jadi pilihan pertama,” ujarnya, sambil tersenyum kecil.
Aku menatap wajahnya beberapa detik. Ada ketulusan di sana, yang tak pernah kutemukan di wajah Dewa. Hans selalu bersikap hangat, tapi tidak menuntut. Ia hadir bukan karena kewajiban, melainkan karena keinginan.
“Apa kau tidak lelah mendengar cerita orang lain setiap hari?” tanyaku tiba-tiba, tanpa sadar.
Hans mengangkat alisnya sedikit, lalu tertawa pelan. “Terkadang, iya. Tapi tidak hari ini.”
Aku diam. Kata-katanya sederhana, namun menyentuh sesuatu di dalam diriku. Sesuatu yang hampir tidak berani kuakui—bahwa aku merasa nyaman. Dan itu membuatku sedikit takut.
Kami melanjutkan makan siang dengan obrolan ringan. Tentang kafe itu yang ternyata sudah lama ada, tentang musik yang diputar terlalu pelan, dan tentang langit hari ini yang tampak mendung namun tidak hujan.
.hans bayar laki2 tmn SMA itu