Rasa trauma karena mahkotanya direnggut paksa oleh sahabat sendiri membuat Khanza nekat bunuh diri. Namun, percobaannya digagalkan oleh seorang pria bernama Dipta. Pria itu jugalah yang memperkenalkannya kepada Vania, seorang dokter kandungan.
Khanza dan Vania jadi berteman baik. Vania menjadi tempat curhat bagi Khanza yang membuatnya sembuh dari rasa trauma.
Siapa sangka, pertemanan baik mereka tidak bertahan lama disebabkan oleh perasaan yang terbelenggu dalam memilih untuk pergi atau bertahan karena keduanya memiliki perasaan yang sama kepada Dipta. Akhirnya, Vania yang memilih mundur dari medan percintaan karena merasa tidak dicintai. Namun, Khanza merasa bersalah dan tidak sanggup menyakiti hati Vania yang telah baik padanya.
Khanza pun memilih pergi. Dalam pelariannya dia bertemu Ryan, lelaki durjana yang merenggut kesuciannya. Ryan ingin bertanggung jawab atas perbuatannya dahulu. Antara cinta dan tanggung jawab, siapakah yang akan Khanza pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Belas
Waktu telah menunjukan pukul setengah satu siang. Vania baru saja selesai melakukan solat zuhur. Dia lalu mendekati Dipta yang juga baru selesai menunaikan kewajibannya.
"Dipta, aku mau ke kamar Khanza dulu. Kenapa dia tak keluar dari kamar juga. Apa dia masih tidur?" tanya Vania.
"Oh, iya, Nia. Keasyikan ngobrol jadi lupa jika ada Khanza yang masih butuh support dari kita. Aku ikut ke kamar," jawab Dipta.
Mereka berdua berjalan menuju kamar yang biasa di tempati Khanza. Pintu tak terkunci sehingga mereka langsung masuk saja.
"Kemana Khanza-nya?" tanya Dipta saat melihat kamar kosong.
"Sepertinya ada di kamar mandi. Kamu dengar suara air dari arah dalam sana," ucap Vania.
Dipta merasakan sesuatu yang berbeda. Jantungnya berdetak lebih cepat.
"Kenapa perasaanku tak enak gini, Nia? Coba kamu ketuk pintu kamar mandi itu!" seru Dipta.
Tanpa menjawab ucapan Dipta, Vania langsung berjalan menuju kamar mandi. Dia lalu mengetuk pintunya. Beberapa kali di ketuk tak ada jawaban. Dipta lalu mendekat.
"Khanza ... kamu lagi apa?" tanya Dipta dengan suara yang lumayan besar.
Setelah menunggu beberapa saat tak ada jawaban, dia kembali mengetuk pintunya.
"Khanza ... buka pintunya. Kenapa kamu lama sekali mandinya?" tanya Dipta lagi.
"Mungkin dia tak mendengar, Dipta," ucap Vania.
"Aku mengetuk pintu ini dengan sangat keras. Tak mungkin dia tak mendengarnya. Aku takut dia nekat bu'nuh diri lagi," ucap Dipta.
Vania jadi berpikir apa yang Dipta ucapkan. Tak biasanya Khanza mandi siang-siang begini. Dan tak pernah juga selama ini.
Dipta lalu berjongkok dan menundukkan kepalanya, mengintip dari bawah pintu yang ada celahnya. Dia melihat air sedikit berwarna merah mengalir di lantai, sehingga Dipta langsung kembali berdiri. Tanpa permisi dengan Vania sebagai tuan rumah, dia menendang dengan keras pintu kamar mandi tersebut.
Vania yang melihat itu menjadi terkejut. Dia masih belum paham kenapa Dipta langsung menendang pintu dengan keras.
"Dipta, ada apa? Kenapa kamu menendang pintu kamar mandinya?" tanya Vania dengan wajah penuh tanda tanya.
Dipta tak menjawab. Dia menendang dan mendobrak pintu itu dengan keras. Hingga pintu akhirnya terbuka.
Vania mengikuti langkah Dipta yang masuk ke kamar mandi. Pria itu langsung berteriak saat melihat tubuh Khanza yang basah dan lantai yang penuh darah.
"Khanza!" teriak Dipta, tubuhnya melemas melihat teman mereka tergeletak di lantai. Lantai kamar mandi dipenuhi dengan air bercampur da'rah membuat Dipta begitu cemas.
"Dipta, bawa ke ruang perawatanku. Aku akan mencoba menghentikan darah yang keluar d
Dipta langsung menggendong tubuh Khanza dan berlari menuju ruang perawatan Vania. Gadis itu lalu secepatnya mencoba menghentikan darah yang keluar dari tangan Khanza.
"Sebaiknya kita bawa ke rumah sakit secepatnya. Sepertinya dia telah banyak mengeluarkan da'rah!" ucap Vania.
Dipta mengangguk setuju, wajahnya pucat karena kecemasan. "Aku akan membawanya ke mobil, kita harus segera ke rumah sakit," katanya, suaranya penuh dengan ketegangan.
Vania cepat-cepat menyiapkan peralatan yang dibutuhkan, lalu mereka berdua bergegas membawa Khanza ke mobil. Di perjalanan, Vania terus memeriksa kondisi Khanza, mencoba menenangkan dirinya yang mulai panik.
Saat tiba di rumah sakit, Dipta langsung membawa Khanza ke ruang gawat darurat. Vania mengikuti di belakangnya, memberikan informasi kepada perawat tentang kondisi Khanza.
Dokter yang menangani Khanza langsung memeriksa kondisinya, lalu memberikan instruksi kepada perawat untuk melakukan tindakan darurat. Dipta dan Vania menunggu dengan cemas di luar ruangan, menunggu kabar tentang kondisi Khanza.
"Kenapa dia mencoba mengakhiri hidupnya lagi?" tanya Dipta kepada Vania, suaranya penuh dengan kekhawatiran.
Vania menggelengkan kepala, "Aku juga tak menyangka jika Khanza akan nekat melakukan hal ini lagi. Aku pikir dia telah ikhlas menerima semua takdir ini."
Dipta menundukkan kepala, merasa sedih dan bersalah karena tidak bisa mencegah kejadian ini. Dia berharap Khanza bisa segera pulih dan kembali sehat.
Dipta memandang Vania dengan mata yang berkaca-kaca. "Kita harus selalu menjaganya, Nia. Sepertinya dia masih belum bisa menerima kenyataan ini," kata Dipta dengan suaranya yang sedikit terguncang.
Vania mengangguk, memandang Dipta dengan penuh pengertian. "Aku juga tidak ingin kehilangan dia, Dipta. Kita akan selalu ada di sampingnya, tidak akan meninggalkan dia sendirian," balas Vania.
Dipta mengangguk, merasa sedikit lebih tenang dengan kata-kata Vania. Dia tahu bahwa Vania akan selalu ada di samping Khanza dan bersama-sama mereka akan membantu wanita tersebut melewati masa-masa sulit ini. Entah mengapa dia begitu takut kehilangannya.
Setelah beberapa saat menunggu, dokter akhirnya keluar dari ruang operasi. "Bagaimana kondisinya, Dokter?" tanya Dipta dan Vania hampir bersamaan.
Dokter memandang mereka dengan serius. "Kondisinya stabil, tapi kita harus terus memantaunya. Beruntung sekali tadi Anda sempat memberikan pertolongan pertama untuknya. Yang terpenting sekarang adalah memberikan dukungan emosional yang cukup untuknya," jawab Dokter.
Dipta dan Vania menghela napas lega, merasa sedikit lebih tenang setelah mendengar kabar baik dari dokter. "Terima kasih, Dokter," kata Dipta dengan suara yang penuh rasa syukur.
Vania mengangguk setuju. "Kami akan selalu ada di sampingnya, Dokter. Kami akan memberikan dukungan yang dia butuhkan," balas Vania.
Dokter mengangguk sambil tersenyum sedikit. "Bagus, dukungan dari keluarga dan teman-teman sangat penting bagi kesembuhannya. Sekarang, Anda bisa menjenguknya di ruang observasi sebelum dipindahkan ke ruang inap, tapi jangan terlalu lama, dia masih dalam masa pemulihan," katanya.
Dipta dan Vania mengangguk, lalu mereka berdua memasuki ruang rawat inap Khanza. Khanza terbaring di tempat tidur, matanya tertutup. Dipta dan Vania duduk di sampingnya, memandang wajah Khanza dengan penuh kasih sayang.
"Dip, sebaiknya kamu urus administrasi untuk rawat inap Khanza. Biar aku di sini yang menemani," ucap Vania.
"Baiklah. Aku urus dulu. Terima kasih," ucap Dipta. Dia lalu mengacak rambut Vania.
Vania menjawab dengan anggukan dan senyuman. Dipta lalu keluar dari ruangan itu menuju meja administrasi. Dia ingin Khanza mendapatkan perawatan terbaik, sehingga memilih ruangan VVIP.
Semoga kalean selalu dalam lindungan Alloh SWT dan selalu di jaga oleh mama Reni 🤗🤗😍😍
tapi kali ini dia berada di tempat yang tepat.
tanpa ada konflik dalam hubungan orang...
semoga kamu betah ya Khanza...
hadapi rintangan dengan senyuman...