Kata orang, roda itu pasti berputar. Mereka yang dulunya di atas, bisa saja jatuh kebawah. Ataupun sebaliknya.
Akan tetapi, tidak dengan hidupku. Aku merasa kehilangan saat orang-orang disekitar ku memilih berpisah.
Mereka bercerai, dengan alasan aku sendiri tidak pernah tahu.
Dan sejak perceraian itu, aku kesepian. Bukan hanya kasih-sayang, aku juga kehilangan segala-galanya.
Yuk, ikuti dan dukung kisah Alif 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akting Yang Menyakinkan
Alif mengambil pakain dengan tangan yang gemetar. Sekarang sudah hampir jam sebelas siang. Namun, perutnya belum diisi sejak pagi tadi.
Itu semua, karena Faisal masuk sift pagi, dan dia harus ada disana saat jam enam tepat.
Alhasil, Alif tak diizinkan makan bersama oleh Misna. Dia berdalih, Alif harus membantunya terlebih dahulu, bukan hanya numpang, tapi tak tahu terima kasih.
"Makan lah ..." Misna menyodorkan sepiring nasi sisa semalam untuk Alif, tak lupa ikan asin sebagai lauknya.
"Kamu disini tuh harus sadar diri. Yang cari duit itu bukan aku, tapi suamiku, ayahnya Raffa. Jadi, selain kamu harus patuh sama ibu, kamu juga harus menghormati Raffa, dia rajanya di rumah ini." terang Misna dengan suara yang agak tinggi.
Alif menatap piring yang berisi nasi itu. Bahkan, ibu kandungnya memperlakukannya melebihi anak tiri.
"Aku mau pulang ke rumah nenek." ungkap Alif, tanpa berniat menyentuh nasi pemberian ibunya.
"Kamu pikir, kamu bisa hidup tanpa ayah Faisal? Di udah baik hati membawamu kesini," cibir Misna.
"Aku mau pulang." suara Alif, naik beberapa oktaf.
Plak ... Pipi Alif memerah, mendapatkan tamparan dari tangan ibunya.
"Ini yang diajari nenekmu selama ini? Berani-beraninya kamu bicara dengan nada tinggi." hardik Misna.
"Jangan ungkit-ungkit nenekku. Dia wanita paling mulia, yang aku kenal!" Alif menujuk tangannya ke wajah Misna.
Misna berdecih, namun sedetik kemudian, dia meraih tekuk Alif dan menghantamnya ke tembok.
Alif menjerit kesakitan, walaupun tak berdarah, hantaman yang dilakukan oleh Misna, berhasil membuat benjol di kepala Alif.
"Makanya, kalo ngomong sama orang tua yang sopan." tekan Misna, kemudian berlalu.
Begitu melewati Raffa, tangan Misna langsung terulur, untuk mengelus kepalanya.
Melihat itu, Alif mengepal tangannya. Dia tidak membenci Raffa, akan tetapi ia juga ingin posisi seperti Raffa. Padahal, yang anak kandung ialah dirinya, bukan Raffa. Namun, kenapa dia yang harus di perlakukan berbeda.
Baru saja Alif, menginjak ruang tamu. Sebuah mobil berwarna putih berhenti di depan rumah ibunya. Karena penasaran, Alif celingukan, untuk melihat siapa yang turun dari sana.
"Siapa dia Fa? Kok, melihat ke rumah ini?" tanya Alif, pada Raffa yang juga sudah ada disampingnya.
Raffa hanya angkat bahu, karena dia memang tidak mengenal Nanda, yang kebetulan pertama kali turun dari mobil.
Detik kemudian, keluarlah, Haris dari bangku kemudi. Alif yang melihat itu, napasnya langsung tercekat.
Padahal, sudah lama sejak kejadian dia di labuhkan cabai, akan tetapi, saat melihat wajah ayahnya, kejadian itu seperti baru terjadi kemarin.
Begitu melihat Alif, Haris langsung berlari. Dia memeluk Alif, seolah-olah ingin menyalurkan rindu yang selama ini tertahan.
Di belakang Haris, Nanda tersenyum kecut. Pasalnya, baik Nanda dan Haris sudah sepakat akan membawa Alif pulang. Itu semua, selain agar bisa membuka pintu rumah, mereka juga ingin Alif menunjukkan dimana surat rumah berada. Karena Haris sempat cerita, ia tidak menemukan surat itu di kamar, lebih tepatnya di lemari mendiang ibunya.
"Kamu, kenapa kesini?" hardik Misna, begitu melihat Haris dan istrinya.
Sebelumnya Misna berada di kamar, akan tetapi di panggil oleh Raffa, dengan mengatakan jika ada orang yang memeluk Alif.
Sesaat mata Haris terpaku, dia menatap ke arah Misna, yang jauh berbeda saat bersamanya dulu. Sekarang, Misna terlihat lebih terawat dibandingkan dulu.
"Misna ,,, aku ingin menjemput Alif ..." ungkap Haris dengan tatapan memohon.
"Bagus lah, bawa aja anakmu. Karena selama disini, dia sangat menyusahkan ku." cetus Misna menghembuskan napas kasar.
Alif menggeleng kepalanya, berharap jika ibunya melarang ayah untuk membawanya pergi.
"Tunggu disini, biar aku bereskan semua barang-barangnya." sambung Misna berlalu.
"Nak, jangan takut ... Aku juga ibumu, dan kedepannya, kamu akan hidup bahagia bersama ibu dan ayahmu," ujar Nanda mengelus pipi Alif.
"Nanti, kita obati kening mu ya." lanjut Misna.
Beberapa menit kemudian, Misna kembali dengan dua tas yang berisi baju serta peralatan sekolah milik Alif. Dia meleparnya ke teras.
"Ambil, dan segera pergi." usir Misna, menutup pintu depan dengan keras.
"Jangan pedulikan ibumu, dia memang sudah begitu sejak lama. Kalo tidak, mana mungkin, dia menitipkan mu tanpa berkunjung sekalipun." ujar Haris mengutip barang-barang Alif. Karena ada beberapa buka, yang berhamburan.
Nanda sendiri, membawa Alif menuju mobilnya. Dia membuka pintu penumpang agar Alif bisa duduk disana. Tak lupa, ia juga memberikan Alif jajanan dari alfam*rt, yang sebelumnya dibeli dalam perjalanan ke rumah Misna.
"Makan lah, sepuasnya ..." ujar Nanda mengelus kepala Alif.
Alif tercengang, sentuhan dari Nanda membuat pertahanannya runtuh. Dia mulai berharap, jika kehadiran Nanda bisa membuat hidupnya sedikit berwarna. Tak melulu di salahkan atas kesalahan yang tak pernah di lakukannya.
Haris tiba membawakan semua barang milik Alif, dia membuka bagasi guna memasukkan semuanya.
"Bagaimana, kunci rumah ada?" tanya Nanda dengan berbisik.
"Aku lupa." Haris menepuk jidatnya.
Nanda kembali membuka pintu mobil dimana Alif berada, "Kita pulang ke rumah nenek ya," ujar Nanda dengan suara yang lembut.
Alif langsung mengangguk setuju, karena sejauh mana pun dia pergi, tetap rumah nenek yang membuatnya rindu.
"Kunci rumah, dimana?" lanjut Nanda.
"Sama ibu, ibu yang simpan." sahut Alif.
"Kamu tunggu disini ya, kuenya dimakan, bukan untuk dilihat." kekeh Nanda, karena melihat Alif yang masih memangku plastik yang sebelumnya di serahkan untuknya.
Nanda dan Haris, kembali ke rumah Misna. Setelah menunggu beberapa saat, baru lah, Misna keluar. Tak lupa, dia memasang wajah yang garang.
"Kenapa lagi?" tanya Misna dengan suara yang keras.
"Kenapa mantan istrimu, suka sekali berteriak sih bang?" tanya Nanda bergelayut manja.
Misna memutar mata malas, rasanya ingin muntah melihat sikap istri baru Haris.
"Itulah, salah satu alasan aku bercerai dengannya. Dia tidak pandai merayu suami, selain itu, dia juga selingkuh." bisik Haris, beruntung Misna tidak mendengarkannya. Kalau tidak, bisa-bisa Misna membongkar segalanya.
"Kunci rumah ibu, Alif kata kamu menyimpannya." ujar Haris.
"Tunggu disini." Misna kembali memasuki rumahnya, tak lupa pintu depan di tutup rapat, jaga-jaga agar pasangan itu, tidak masuk ke rumahnya.
"Menyusahkan, gak anak, gak bapak sama aja. Lah, sekarang malah nambah satu lagi, si betina." gerutu Misna.
Setelah mendapatkan kunci rumah, mereka bertiga langsung bertolak untuk kembali ke rumah Neli. Di perjalan, tak lupa Nanda menyuruh Haris untuk membelikan salep, agar benjol di kening Alif cepat menghilang.
"Kamu jangan khawatir, ibu akan menyayangimu seperti anak kandung ibu." ungkap Nanda tulus.