Menikahi Paman Mantan

"Kamu tidak boleh menjual perusahaan ini, Paman. Apalagi pada Kairi, dia adalah saingan Papa!" ujar Kelvin tanpa basa-basi. Dia langsung mengutarakan apa maksudnya sesaat setelah ia dan Riu duduk berhadapan.

"Kenapa tidak bisa?" Tanggapan yang sangat santai. Bahkan, disertai senyuman yang terkesan menjengkelkan.

"Karena Papa dan Mama sudah ikut andil dalam mengembangkan perusahaan ini. Kalaupun sekarang menjadi milik Paman, tapi setidaknya jangan dijual. Dengan begitu, Mama dan Papa masih ikut bangga karena perusahaan ini masih dalam naungan keluarga Brox. Bukan menjadi milik orang lain," jawab Kelvin dengan berapi-api.

"Begitukah?" Riu tersenyum miring seraya bangkit dan memasukkan tangannya ke dalam saku celana. "Bukan karena kamu dan orang tuamu merencanakan sesuatu kah? Kamu ingin mengambil alih perusahaan ini, misalnya," lanjutnya.

Kelvin gelagapan. Pertanyaan Riu sesuai dengan apa yang ia dan orang tuanya rencanakan. Mungkinkan Riu sudah sadar sejak awal akan hal itu?

"Satu lagi, kamu ... jangan pernah mengharapkan Vale. Tidak usah berpikir meminta bantuan siapa-siapa lagi, termasuk Papa, karena apa pun yang terjadi ... aku tidak akan pernah melepaskan Vale. Dia adalah istriku, wanita milikku, selamanya akan tetap seperti itu. Paham?" Riu bicara sambil mendekati Kelvin dan menepuk bahunya dengan pelan.

Kelvin menggeram. Dia masih tak rela kehilangan Vale, apalagi setelah kehilangan aset yang seharusnya tetap menjadi miliknya. Namun, entah apa yang bisa ia lakukan sekarang. Paman yang sebelumnya dianggap lemah, ternyata lebih hebat dari ia bayangkan.

"Dari pada sibuk memikirkan Vale yang tidak mungkin menjadi milikmu lagi, lebih baik cari tahu siapa wanita yang membantumu itu. Jangan sampai kamu kecewa di kemudian hari," bisik Riu, lantas pergi meninggalkan Kelvin yang masih mematung.

Dalam posisi yang tetap berdiri, pikiran menerawang jauh. Saat ini, wanita yang membantunya adalah Juliet, seseorang yang dari awal sudah mencuri kecurigaannya. Lalu barusan, Riu mengungkit wanita itu. Apakah dia tahu sesuatu?

"Sebenarnya siapa Juliet, apa hubungannya dengan Papa?" batin Kelvin dengan perasaan yang tak karuan.

Beban demi beban tumpang tindih dalam hidupnya. Satu belum pergi, satu lagi telah datang dan ikut menekannya. Sialnya lagi, hampir tak ada yang benar-benar mendukungnya. Jason saja ... entahlah. Tidak tahu dia sungguh tak bisa menghentikan Riu atau memang tak mau.

Sebuah kilas balik masa lalu pun melintas begitu saja, ketika dirinya masih bersama dengan Vale.

'Kelak aku akan menjadi orang pertama yang selalu mendukungmu. Apa pun kesulitan yang akan kamu hadapi nanti, percayalah, aku tidak akan pergi. Selama cinta masih ada di hatimu, aku tak mungkin berpaling.'

Sebuah kalimat yang Vale ungkapkan ketika keduanya menghabiskan waktu bersama, menikmati cinta yang merekah. Masih terbayang jelas, senyum tulus dan tatapan lembut Vale ketika menjadi kekasihnya. Sebuah tatapan yang kini tidak ada lagi.

"Vale," gumam Kelvin dengan pikiran yang makin berantakan.

_______

Riu memang tak pernah main-main dengan ucapannya. Usai dikhianati oleh kedua kakaknya, ia memberikan balasan yang setimpal. Bukan hanya aset milik Annisa yang ia jual, melainkan juga milik Camelia.

Sesuai dengan setengah janjinya, Riu membebaskan kedua kakaknya, berikut dengan kedua iparnya. Namun, mereka tetap saja memandang Riu dengan tatapan benci. Malah kini lebih besar lagi kebencian mereka karena harus memulai bisnis dari awal lagi.

Akan tetapi, Riu tak peduli. Pantang baginya mengiba atau menjilat hanya karena kasih sayang yang palsu. Biarlah mereka tetap menunjukkan kebencian, setidaknya itu bukan kepura-puraan.

"Besok kakak dan iparmu akan kembali ke luar negeri. Tadi juga Papa menyuruh kita untuk makan malam bersama. Apa kamu tidak berniat pergi?" tanya Vale ketika melihat Riu bersantai di atas sofa. Tidak ada tanda-tanda untuk pergi.

Riu menggeleng, "Tidak perlu. Papa juga tahu hubungan kami tidak sebaik itu. Harusnya tidak usah berpura-pura terus, kan?"

"Iya sih. Tapi___"

"Sudahlah, jangan dipikirkan lagi." Riu menjawab sambil menarik tangan Vale dan membimbingnya duduk di pangkuan. "Sekalian aku menegaskan pada Papa kalau aku tidak akan luluh dengan bujuk rayunya. Masa tua Papa, aku siap menanggung. Tapi, hidup Kak Annisa dan Kak Camelia, sama sekali tidak ada hubungannya denganku," sambungnya.

Vale hanya mengangguk-angguk. Meski terkesan kejam, tetapi Riu tidak sepenuhnya salah. Ia yang lebih dulu dikecewakan. Apalagi mengingat sikap Jason yang berat sebelah, pastilah sakit hati tidak bisa dihindari lagi.

"Tunggu dua atau tiga hari lagi, aku akan mengurus akuisisi dulu. Setelah itu ... kita publikasikan hubungan kita. Biar semua orang tahu kamu adalah wanitaku," lanjut Riu dengan tegas.

"Aku sudah menunggu hari itu." Vale tersenyum manis.

Begitu indah dalam bayangan, mana kala Riu mengakui dirinya sebagai istri di depan publik. Ahh ... pasti bukan hanya dia saja yang bahagia, melainkan juga orang tuanya. Kemarin saja waktu diberi tahu kalau Riu sudah normal, mereka sangat bahagia. Bahkan, setitik air mata haru sampai terlihat di sudut mata keduanya.

Tak berselang lama, senyuman manis Vale mengundang sesuatu dalam diri Riu. Sebuah rasa candu yang perlahan bangkit dan mendorong niatnya untuk menghabiskan waktu dengan memadu cinta.

Keinginan itu pun mendapat sambutan baik. Tanpa ada paksaan, Vale lagi-lagi menyerahkan dirinya pada sang suami. Mempercayakan lelaki itu untuk membawanya menikmati alunan kasih di antara derit ranjang dan napas yang memburu.

Sekitar tiga jam, keduanya terhanyut dalam kemesraan itu.

"Aku bantu kamu ke kamar mandi," ujar Riu. Hampir menjadi kebiasaan, ia menggendong Vale ke kamar mandi usai 'bersama'. Meski begitu, dia membiarkan Vale membersihkan diri sendirian. Ya ... dari pada terulang lagi apa yang harus disudahi.

Tak ubahnya malam ini, Riu juga keluar dan menunggu dengan duduk di tepi ranjang. Baru beberapa detik ia duduk, ponselnya sudah berdering. Ada telepon dari seseorang.

Sembari mendengar suara sang penelepon, Riu menatap sejenak ke arah pintu kamar mandi. Lantas, menarik napas panjang dan bangkit meninggalkan ranjang.

"Aku akan segera kembali, Vale," batin Riu sambil mengulas senyum penuh arti.

Bersambung...