Selama empat generasi keluarga Dion mengalami fenomena 'tading maetek' atau ditinggal mati oleh orang tua pada usia dini. Tapi seorang yatim juga sama seperti manusia lainnya, mereka jatuh cinta. Dion menaruh hati pada seorang gadis dari keluarga berada dan berusia lebih tua. Cintanya berbalas tapi perbedaan strata sosial dan ekonomi membuat hubungan mereka mendapat penolakan dari ibu sang gadis. Dengan sedikit yang ia miliki, Dion tak cuma menghadapi stigma tapi juga perubahan zaman yang menuntut adaptasi, determinasi dan tantangan moral.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Seeing is Believing
Hari-hari dilalui Dion dengan penyakit barunya, demam asmara. Meskipun tanpa sepengetahuannya penyakit serupa juga melanda Wina. Keduanya saling merindu tapi tak tahu harus berbuat apa.
Secercah harapan muncul akhirnya muncul. Dion menerima panggilan telepon dari Hendrik yang ingin mendiskusikan tugas akhir.
Hendrik yang sebenarnya lebih tertarik pada topik lain, buru-buru mengalihkan pembicaraan.
“Bro, dicariin Wina. Dia minta pertanggungjawaban,” ujanya, nada suaranya penuh kelakar.
“Ha? Komputernya rusak lagi? Kenapa dia nggak telepon aku langsung?” Dion bertanya, bingung. Sesaat ia memikirkan kemungkinan adanya kesalahan pada perbaikan komputer yang ia lakukan beberapa hari lalu.
“Kalau cuma komputer, pasti dia langsung telepon, lah. Tapi ini beda, Bro,” sahut Hendrik di seberang sana.
Dion mengernyit. “Beda gimana? Aku bahkan nggak tahu harus mempertanggungjawabkan apa.”
Hendrik tertawa usil. “Karena kau sudah mencuri hatinya!”
“Ah, basi!” sahut Dion pendek, membuat Hendrik memperpanjang tawanya.
“Serius, Atik cerita ke aku. Katanya Wina sering nanyain kamu. Dia juga sering tanya kalau kamu sering ke rental atau nggak. Memangnya kau apakan dia?”
“Apanya yang diapakan? Nggak diapain, lah!” Dion menyangkal, meskipun diam-diam rasa penasaran mulai mengusiknya. Ia sangat merindukan gadis itu.
Hendrik tertawa kecil. “Sebenarnya Atik yang minta aku telepon kamu. Dia udah bosan dengar Wina nanya-nanya soal kamu terus. Atik minta Dion datang ke rentalku. Jadi, kapan mau datang?”
Dion tak butuh waktu untuk berpikir, “Besok sebelum makan siang.”
Mereka kemudian kembali mengalihkan obrolan ke urusan kuliah sebelum akhirnya Hendrik menutup telepon karena Dion harus mulai bekerja.
...***...
Keesokan harinya, dengan semangat yang sulit ia sembunyikan, Dion melangkah menuju rental komputer Hendrik. Begitu tiba, ia mendapati Atik tengah duduk berdua dengan sahabatnya di meja petugas. Keduanya terlalu asyik mengobrol hingga tak menyadari kedatangannya.
Dion berdeham cukup keras.
Hendrik menoleh lebih dulu. “Oh, sudah datang, Bro!”
Dion mengabaikan Hendrik. Ia malah menyapa Atik yang tersenyum ke arahnya. “Apa kabar, Ito?”
“Baik-baik,” sahut Atik. Ia lalu meminta Dion menunggu sejenak karena Wina masih ada urusan di kampus.
Dion duduk di kursi yang berhadapan dengan meja Hendrik, menggeser posisinya menyerong, memberi dirinya sudut pandang yang lebih luas ke luar.
Atik menyeringai. “Sabar lah, Ito! Dipandangi terus juga nggak bakal datang lebih cepat.”
Dion tersenyum malu, tetapi tidak kehabisan akal. “Aku cuma bosan lihat kalian bisik-bisik terus kayak pengantin baru.”
Hendrik tertawa, sementara Atik menjauhkan duduknya sedikit dari Hendrik.
Mereka bertiga larut dalam obrolan ringan hingga Atik tiba-tiba berbisik pada Dion, “Dia datang!”
Dion spontan menoleh dan mendapati sudah Wina berdiri di ambang pintu.
Ia mengenakan blus merah bata bermotif bunga-bunga kecil, dipadukan dengan celana jin hitam. Rambutnya tergerai rapi, dan bibirnya dihiasi gincu yang senada dengan blusnya. Ada sesuatu dalam penampilannya yang membuat Dion terpana sejenak.
Wina pun merasakan hal yang sama. Matanya berbinar melihat Dion ada di sana, tetapi entah mengapa, ia malah terpaku di tempat.
Lalu, hampir bersamaan, keduanya saling melempar senyum.
“Hai!” seru mereka serempak.
Hendrik dan Atik saling berpandangan sebelum akhirnya tertawa geli melihat tingkah keduanya. Jelas sekali Dion dan Wina sama-sama merindu.
Di tempat itu, mereka berempat pun larut dalam obrolan tentang kota Medan yang tengah bersiap menyambut pemilu pertama di era reformasi.
Tak lama kemudian, kakak perempuan Hendrik datang untuk menggantikan tugasnya di rental. Hendrik, yang sejak awal menjadi dalang pertemuan ini, mengajak mereka makan siang di restoran joglo yang baru dibuka di sekitar kampus.
Sembari berjalan memasuki halaman restoran, Hendrik berbisik ke Dion, “Bro, backup aku ya kalau uangku nggak cukup!”
Dion hanya mengangguk, tersenyum kecil.
Mereka menikmati makan siang sambil mengobrol ringan. Hendrik dan Atik yang kembali sibuk dengan aksi bisik-bisiknya duduk sedikit menjauh seolah memberi ruang bagi Dion dan Wina untuk berbicara lebih banyak.
Tapi, meskipun sama-sama merindu, Dion dan Wina justru lebih banyak terdiam. Sesekali mereka saling melirik, hanya untuk buru-buru mengalihkan pandangan lagi.
Tak ingin berlama-lama dalam keadaan kikuh, Dion memberanikan diri membuka percakapan. “Komputernya baik-baik saja, Kak?”
Wina mengangguk. “Iya, aku kebetulan lagi ngerjain laporan baru. Sejauh ini nggak ada masalah.”
“Oppung baik-baik saja?”
“Bae-bae noh,” jawab Wina dengan logat Manado yang khas.
Dion kehabisan topik. Ia menggaruk kepalanya, mencari sesuatu untuk dibicarakan.
“Kapan lagi mangga depan rumahmu dipanen?” tiba-tiba Wina bertanya.
Dion berpikir sejenak. “Harusnya lusa. Memangnya mangga kemarin sudah habis?”
“Iya, Oppung kedatangan tamu. Mereka habisin semua.”
Dion tertawa. Ia tak menyalahkan tetamu Oppung. Buah mangga di depan kontrakannya memang enak, manis dan harum belum lagi warnanya yang gemilang. “Nanti kalau panen aku beli lagi, deh.”
Wina tersenyum tipis. “Ajakin aku, ya! Aku pengin lihat panennya.”
Dion mengangkat alis. “Belum pernah lihat pohon mangga kah?”
“Pernah, lah! Maksudku biar bisa pilih sendiri buahnya.”
Wina memperhatikan raut wajah Dion yang hanya terdiam, ia lalu bertanya, “Kenapa?
Dion nggak mau aku datang? Takut aku tahu rumahmu?”
Dion menghela napas. “Bukan begitu, Kak. Rumahku jauh. Jelek pula. Malu nunjukinnya.”
“Memangnya Dion yang bangun rumah itu?”
“Ya, bukan…”
“Lah, kalau bukan kamu yang bangun, kenapa malu? Salahkan yang bangun, dong!” canda Wina.
Dion tergelak. “Kalau ada orang jelek, salahkan yang menciptakan?”
Wina menyipitkan mata. “Nggak gitu juga, kali! Semua ciptaan Tuhan itu indah.”
Wina lalu berargumen, “Lagipula, cantik atau jelek itu cuma persepsi. Standar kecantikan berbeda di setiap budaya dan zaman.”
Dion mengangguk pelan tapi masih meragukan argumen Wina. “Jadi yang salah itu mata yang melihat?”
“Ioh noh! Mungkin ada yang salah sama mata Dion,” ujar Wina sambil tertawa.
Dion menaikkan alis, ia tak sepenuhnya setuju dengan argumen Wina. “Seeing is believing. Aku yakin mataku baik-baik saja. Tak mungkin salah melihat dan menilai.”
Wina yang merasa dibantah mulai mempersiapkan argumen baru.“Yakin?”
Dion mengangguk tapi lalu melancarkan argumen balasan. “Seratus persen. Misalnya nih, tak mungkin mataku salah menilai kalau Kak Wina itu cantik.”
Wina tersipu. Ada rona merah di pipinya. Ada rasa bahagia terselip di hatinya mendengar pengakuan Dion. Dia tak lagi memedulikan argumen yang sudah ia siapkan. Counter argument Dion terlalu sakti untuk dibantah.
“Boleh, ya! Sekalian aku ingin melihat-lihat bagian lain dari Kota Medan,” Wina masih membujuk, kali ini dengan raut memelas.
“Iya deh. Aku cari tahu dulu waktu panennya, nanti aku beritahu,” Dion menyetujui permintaan Wina. “Tapi aku tak tahu nomor telepon Kak Wina, lho.”
Wina lalu memberi nomor telepon rumahnya.
Begitulah acara makan siang keempatnya berlangsung. Atik dan Wina kembali ke kampusnya karena masih harus mengikuti kuliah pada siang itu. Hendrik kembali ke rental sementara Dion pulang ke kontrakan.
...***...
Dua hari kemudian, Dion menelepon Wina untuk memberitahu bahwa panen mangga baru akan dilakukan minggu depan. Meski sedikit kecewa, mereka tetap melanjutkan perbincangan melalui telepon, membahas berbagai hal kecil yang terasa menyenangkan.
Percakapan lewat telepon itu memberikan sensasi tersendiri bagi keduanya. Lambat laun, kebiasaan itu semakin sering mereka lakukan.
Sudah tiga sore berturut-turut Dion menghubungi Wina. Gadis itu senang karena akhirnya Dion berani mengambil inisiatif, meskipun hanya sebatas meneleponnya. Namun, dalam hatinya, Wina berharap Dion berbuat lebih dari itu.
Harapan itu semakin besar ketika pada Jumat sore, Dion kembali menelepon. Ia memberi tahu bahwa besok adalah hari liburnya, dan panen mangga di depan rumah akan segera dilakukan.
"Datang ambe kwa! Kita suka mo iko lia," pinta Wina agar Dion menjemputnya.
"Kujemput sehabis makan siang, ya?" tawar Dion.
"Pagi-pagi!" jawab Wina cepat.
"Kan panennya sore hari, Kak?" tanya Dion, bingung mengapa Wina ingin dijemput lebih awal.
"Iya memang, kan tadi Dion sudah bilang," ujar Wina tenang.
Dion terdiam, masih menunggu penjelasan lebih lanjut. "Soalnya ada yang rindu sama Dion. Oppung sudah tanya kenapa Dion nggak pernah datang lagi," jelas Wina, meski sebenarnya ia hanya mencari alasan.
"Oh!" sahut Dion singkat.
"Selain itu, aku butuh bantuanmu merangkai rak baju yang kemarin itu," tambah Wina akhirnya mengungkapkan alasan sebenarnya.