NovelToon NovelToon
Adharma

Adharma

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Horror Thriller-Horror / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

Di Kota Sentral Raya, kejahatan bukan lagi bayangan yang bersembunyi—ia adalah penguasa. Polisi, aparat, hingga pemerintah berlutut pada satu orang: Wali Kota Sentral Raya, dalang di balik bisnis ilegal, korupsi, dan kekacauan yang membelenggu kota ini.

Namun, ada satu sosok yang tidak tunduk. Adharma—pria yang telah kehilangan segalanya. Orang tua, istri, dan anaknya dibantai tanpa belas kasihan oleh rezim korup demi mempertahankan kekuasaan. Dihantui rasa sakit dan dendam, ia kembali bukan sebagai korban, tetapi sebagai algojo.

Dengan dua cerulit berlumuran darah dan shotgun di punggungnya, Adharma tidak mengenal ampun. Setiap luka yang ia terima hanya membuatnya semakin kuat, mengubahnya menjadi monster yang bahkan kriminal pun takut sebut namanya.

Di balik topeng tengkorak yang menyembunyikan wajahnya, ia memiliki satu tujuan: Menumbangkan Damar Kusuma dan membakar sistem busuk yang telah merenggut segalanya darinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Malam Penyiksaan

Darma berdiri di depan cermin di dalam kamar sempitnya. Pakaian tactical yang dulu peninggalan kakaknya sudah melekat di tubuhnya. Trench coat hitam yang dulu sering dipakai Sinta saat hujan kini menutupi tubuhnya, menyembunyikan senjata yang ia bawa. Dua cerulit tersilang di punggungnya, sementara dua shotgun terselip di pahanya.

Dia meraih liontin yang awalnya ia beli untuk Sinta dan menggenggamnya erat. Matanya menatap refleksi dirinya sendiri. Sosok yang ia lihat kini bukan lagi Guntur Darma, bukan lagi pria pekerja keras yang rajin dan ulet. Yang ada di hadapannya adalah Adharma—seseorang yang telah kehilangan segalanya dan hanya punya satu tujuan: memburu setiap sampah yang telah merusak hidupnya.

Darma mengambil napas dalam, lalu berjalan keluar. Malam ini, dia akan menangkap Pak Jaya.

Di luar, motor hitamnya sudah menunggu. Darma menyalakan mesin, suara knalpotnya bergemuruh pelan di dalam gang sempit. Dia menarik gas dan melesat menuju kediaman Pak Jaya.

Dari informasi yang ia dapatkan, Pak Jaya tidak langsung pulang ke rumah setelah kerja. Biasanya, dia akan mampir ke sebuah tempat hiburan malam di pinggiran kota, tempat para pebisnis kotor dan pejabat korup menghabiskan waktu mereka dengan minuman dan wanita.

Darma sudah merencanakan semuanya. Dia tidak akan membunuh Pak Jaya di tempat umum. Dia butuh informasi—tentang Raden Wijaya, tentang siapa yang lebih berkuasa di atasnya, tentang jaringan kejahatan yang mengendalikan Kota Sentral Raya.

Karena ini bukan sekadar balas dendam. Ini adalah awal dari pembersihan.

Darma mengeratkan genggamannya pada setang motor. Matanya tajam, penuh kebencian yang tak terbendung.

Malam ini, satu babak baru akan dimulai.

Darma mengendarai motornya dengan kecepatan sedang, melewati jalanan yang semakin sepi di bawah lampu jalan yang temaram. Kota Sentral Raya masih berdenyut dalam kesunyian malam, tetapi di sudut-sudut gelapnya, kejahatan terus beraksi tanpa henti.

Saat melewati sebuah gang sempit, Darma mendengar suara bentakan dan suara benda dipukul. Ia memperlambat laju motornya, menoleh ke arah sumber suara.

Di dalam gang itu, seorang pria tua sedang dikelilingi oleh tiga orang preman bertubuh kekar. Bajunya lusuh, wajahnya penuh luka lebam, dan ia terhuyung, tampak kesakitan. Salah satu preman menarik kerah bajunya, sementara yang lain menodongkan pisau ke arahnya.

"Mana duitnya, hah?! Lo pikir bisa kabur gitu aja tanpa bayar utang?" bentak salah satu preman, menonjok perut pria tua itu hingga ia terjatuh ke tanah, mengerang kesakitan.

Darma diam sejenak, menatap pemandangan itu. Dulu, dia mungkin akan langsung menolong tanpa berpikir panjang. Tapi sekarang, dia bukan lagi pria baik yang hanya ingin membantu tanpa sebab.

Dia mematikan mesin motornya, turun perlahan, lalu berjalan ke arah gang dengan langkah santai.

"Ada yang seru di sini?" tanyanya dengan suara tenang, tetapi dingin.

Para preman menoleh. Salah satu dari mereka menyipitkan mata, menatap Darma dari atas ke bawah, menilai sosok misterius yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka.

"Urusan orang lain, jangan ikut campur, Bangsat!" bentak preman yang memegang pisau.

Darma hanya tersenyum tipis di balik topengnya. "Oh, tapi gue gak suka liat tiga orang ngehajar satu orang tua."

Salah satu preman mendengus marah dan berjalan ke arahnya dengan langkah kasar. "Gue kasih lo kesempatan buat pergi, sebelum lo yang gue hajar!"

Darma tidak menjawab. Dalam satu gerakan cepat, dia menghunus satu cerulit dari punggungnya dan menebas perut preman itu dengan gerakan mulus.

Darah menyembur ke udara. Preman itu memekik, matanya membelalak sebelum tubuhnya roboh ke tanah.

Dua preman lainnya terkejut, tetapi tak sempat bereaksi sebelum Darma berputar dan melempar cerulitnya ke salah satu dari mereka. Senjata itu menancap di dada preman itu, menembus jantungnya dalam sekejap.

Tersisa satu orang. Preman terakhir kini berdiri gemetar, tangannya masih memegang pisau, tetapi tubuhnya bergetar ketakutan.

Darma berjalan mendekat dengan langkah perlahan. "Lo masih mau lanjut?" tanyanya dengan suara rendah.

Preman itu langsung menjatuhkan pisaunya dan berlari ketakutan, meninggalkan dua rekannya yang sudah tewas.

Darma tidak mengejarnya. Dia menoleh ke pria tua yang masih terduduk lemas di tanah.

"Bapak gak apa-apa?"

Pria tua itu mengangguk pelan, masih syok dengan apa yang baru saja terjadi. Darma menoleh sekali lagi ke mayat para preman, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia mengambil cerulitnya yang masih berlumuran darah, mengibaskan sedikit, lalu berbalik pergi menuju motornya.

Ia punya urusan yang lebih besar untuk diselesaikan malam ini.

Darma akhirnya tiba di sebuah tempat hiburan malam, sebuah klub eksklusif yang dipenuhi suara dentuman musik dan lampu neon yang berkedip-kedip. Tempat ini adalah salah satu titik kumpul para pejabat kotor, mafia, dan penjahat kelas atas di Kota Sentral Raya. Jika ada informasi soal Pak Jaya, maka tempat ini adalah salah satu sumber terbaik untuk mencarinya.

Ia berjalan melewati lorong masuk, melewati dua penjaga berbadan kekar yang menatapnya curiga. Dengan pakaian hitam, trench coat panjang, dan topeng tengkoraknya, dia jelas bukan pelanggan biasa.

"Hei! Lo siapa?" salah satu penjaga mengulurkan tangan, menghentikannya.

Darma menatap pria itu dalam diam. Tanpa peringatan, dia bergerak cepat—tangannya meraih kepala penjaga itu dan membenturkan ke dinding dengan keras. Darah menetes dari dahinya sebelum tubuhnya ambruk tak sadarkan diri.

Penjaga kedua terkejut dan langsung merogoh pistol di pinggangnya, tetapi sebelum dia sempat menarik pelatuk, Darma sudah menendang perutnya dengan kuat, membuatnya terlempar ke belakang dan membentur pintu.

Dengan satu gerakan, Darma menarik salah satu shotgun dari pahanya dan menembak lutut penjaga itu. Pria itu menjerit kesakitan, jatuh berlutut sambil memegang kakinya yang berdarah.

Darma menunduk, menekan moncong senjatanya ke kepala pria itu. "Pak Jaya... sering ke sini?"

Pria itu menggertakkan giginya, menatap Darma dengan marah. "Gue gak tau—AAARGH!"

Darma menarik pelatuknya, menembak bahu pria itu. "Jawab sebelum gue kirim lo ke neraka."

Pria itu terbatuk, darah mengalir dari bibirnya. "Pak... Pak Jaya sering nongkrong di ruang VIP atas... Tolong, jangan bunuh gue..."

Darma tidak menjawab. Ia hanya menurunkan shotgun-nya dan beranjak pergi, meninggalkan pria yang meringkuk kesakitan di lantai.

Kini, tujuannya jelas—ruang VIP di lantai atas. Dia mulai menaiki tangga dengan langkah pasti. Targetnya semakin dekat.

Darma berjalan perlahan melewati lorong-lorong gelap klub malam itu. Musik berdentum keras, suara tawa dan obrolan menggema di sepanjang ruangan, tetapi pikirannya tetap fokus pada satu hal—Pak Jaya.

Di lantai dua, di balik pintu berlapis emas dengan label "VIP Room," Darma akhirnya menemukan sasarannya. Melalui celah pintu yang sedikit terbuka, dia bisa melihat Pak Jaya duduk di sofa mewah, dikelilingi dua wanita muda yang tertawa genit sambil menuangkan minuman ke gelasnya. Pak Jaya tampak santai, mengenakan kemeja mahal dengan beberapa kancing terbuka, menikmati malam seolah hidupnya tak ada beban.

Darma mengepalkan tangannya. Bajingan ini masih bisa bersenang-senang setelah semua yang terjadi.

Tanpa ragu, dia mendorong pintu dengan keras. Pintu terbanting ke dalam, membuat semua orang di ruangan itu terkejut.

Darma tidak membuang waktu setelah menemukan Pak Jaya. Dengan gerakan cepat, dia mengayunkan cerulitnya, menebas udara dan mengenai lampu ruangan, membuat seisi tempat hiburan itu gelap seketika. Suasana berubah menjadi kacau—wanita-wanita berteriak, pengunjung panik, dan para bodyguard Pak Jaya mencoba meraba-raba dalam kegelapan.

Dalam kekacauan itu, Darma bergerak seperti bayangan. Dia menendang seorang penjaga hingga jatuh pingsan, lalu dengan cekatan mencekik Pak Jaya dari belakang menggunakan lengan kuatnya.

"Ngghh!!" Pak Jaya meronta, tapi Darma lebih kuat.

Dalam hitungan detik, Darma membungkam mulutnya dengan kain, lalu menyeretnya keluar melalui pintu belakang sebelum ada yang sadar apa yang terjadi.

Pak Jaya tersentak saat tersadar. Kepalanya masih berdenyut, tubuhnya terasa kaku karena diikat erat di kursi besi berkarat. Matanya bergerak liar, mencoba memahami di mana dia berada. Gudang tua itu berbau kayu lapuk dan karat, dengan cahaya redup dari satu bohlam gantung yang berkedip lemah.

Di depannya, sosok bertopeng berdiri diam.

Namun, dalam sekejap, sosok itu mengangkat tangannya dan melepas topeng tengkorak yang menutupi wajahnya.

Pak Jaya terkejut. "D-Darma...?"

Wajah yang dulu dikenalnya sebagai karyawan yang rajin kini tampak berbeda. Wajah itu penuh luka. Bekas jahitan, sayatan, dan lebam yang terlihat mengerikan. Mata Darma tidak lagi seperti dulu—kini yang ada hanyalah kehampaan dan kebencian yang membara.

Pak Jaya menelan ludah. "Apa yang terjadi sama lo...?"

Darma tidak menjawab. Dia hanya menatap tajam, lalu berjalan perlahan ke arah meja besi kecil di dekatnya. Di atasnya, ada berbagai alat yang memantulkan cahaya—pisau bedah, tang, palu, bahkan batang besi yang ujungnya tajam.

Pak Jaya mulai berkeringat. "L-lo gak perlu gini, Darma... Gue bisa kasih lo uang! Berapa pun yang lo mau!"

Darma mengambil satu alat dari meja itu—sebuah tang. Dia memainkannya di tangannya, lalu berjongkok di depan Pak Jaya.

"Aku gak butuh uang."

Pak Jaya mencoba bergerak, tapi ikatannya terlalu kuat. "Kalau ini soal Raden Wijaya, gue gak bisa kasih tau apa-apa!"

Darma hanya menghela napas pelan, lalu dengan cepat menjepit tang itu di jari kelingking Pak Jaya.

"AARGHHH!!"

Teriakan Pak Jaya menggema di gudang tua itu. Darma menarik napas dalam-dalam, menikmati ketakutan di mata orang yang dulu pernah memandangnya rendah.

"Tahu gak, Pak Jaya..." Darma berbisik. "Gue dulu juga berteriak kayak gini. Waktu keluarga gue dibantai di depan mata gue... Tapi gak ada yang peduli."

Pak Jaya megap-megap, keringatnya bercucuran. "T-tolong, Darma... Gue cuma bawahan! Gue cuma ngikut perintah!"

Darma menggenggam tang lebih erat. "Siapa yang lebih tinggi dari Raden Wijaya?"

Pak Jaya menggigit bibirnya. Dia menggeleng cepat. "Gue... gue gak bisa bilang!"

Darma menarik napas, lalu dengan kejam, dia menjepit satu jari lagi—kali ini, jari tengah.

"KRAK!"

Pak Jaya menjerit lebih keras. Napasnya tersengal-sengal, matanya mulai berair.

Darma berdiri, berjalan memutar di belakangnya. "Lo tahu, Pak Jaya? Gue bisa bikin ini lebih lama. Gue bisa potong satu per satu, dari jari, telinga, atau mungkin gue bisa coba tusuk bola mata lo?"

Pak Jaya menangis. "TOLONG!! GUE PUNYA ANAK! ISTRI! JANGAN LAKUIN INI!!"

Darma berhenti sejenak.

"Anak?"

Suara Darma kini lebih dingin. Dia kembali berjongkok, menatap mata Pak Jaya yang penuh ketakutan.

"Gue juga punya anak, Pak Jaya. Dwi Handayani namanya. Umurnya enam tahun."

Pak Jaya terisak, kepalanya menggeleng cepat. "S-sumpah, Darma... Gue gak ada hubungannya sama itu! Gue cuma bawahan!"

Darma menghela napas, lalu mengambil pisau kecil dari meja. Dia menyentuh pipi Pak Jaya dengan ujungnya.

"Lo masih belum jawab pertanyaan gue," katanya lembut.

Pak Jaya menggigit bibirnya, tubuhnya gemetar hebat.

"O-oke... OKE!!" teriaknya. "Gue bakal kasih tau! Tapi tolong... tolong jangan sakitin gue lagi!"

Darma menarik pisau itu pelan. "Siapa?"

Pak Jaya menelan ludah. Napasnya tersengal. "Wali Kota... Wali Kota Sentral Raya... Dia dalangnya."

Darma menatapnya lekat-lekat, memastikan kebohongan tidak tercium dalam kata-kata itu.

Pak Jaya menangis. "Tolong, Darma... Gue udah jawab semuanya..."

Darma menggenggam liontin di lehernya—liontin yang seharusnya untuk Sinta. Kemarahannya membuncah lagi.

Dia menatap Pak Jaya.

Keputusan sudah dibuat.

1
NBU NOVEL
jadi baper ya wkwkwkk
Xratala
keluarga Cemara ini mah /Smirk/
NBU NOVEL: wkwkwkwk versi dark ny
NBU NOVEL: wkwkwkwk versi dark ny
total 3 replies
Xratala
waduh ngena banget /Chuckle/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!