Genre : Misteri, Thriller, Psikologis, Supranatural
Sinopsis :
Setelah suaminya meninggal didalam kecelakaan yang tragis. Elysia berusaha menjalani kehidupan nya kembali. Namun, semuanya berubah ketika ia mulai melihat bayangannya bertingkah aneh dan bergerak sendiri, berbisik saat ia sendiri, bahkan menulis pesan di cermin kamar mandinya.
Awalnya Elysia hanya mengira bahwa itu halusinasi nya saja akibat trauma yang mendalam. Tapi ketika bayangan itu mulai mengungkapkan rahasia yang hanya diketahui oleh suaminya, dia mulai mempertanyakan semuanya. Apakah dia kehilangan akal sehatnya ataukah ada sesuatu yang jauh lebih gelap yang sedang berusaha kuat untuk berkomunikasi dengannya.
Saat Elysia menggali hal tersebut lebih dalam dia menunjukkan catatan rahasia yang ditinghalkan oleh mendiang suaminya. Sebuah pesan samar yang mengarah pada sebuah rumah tua dipinggiran kota. Disanalah ia menemukan bahwa suaminya tidak mati dalam kecelakaan biasa. Akan kah Alena mendekati jawabnya???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azka Maftuhah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25 - PINTU YANG TERKUNCI DARI DALAM
Satu minggu setelah pameran “Bayangan yang Menyala”, kehidupan Elysia perlahan mulai terasa lebih stabil. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama.
Pada suatu sore saat galeri tutup, Elysia tengah merapikan lukisan ketika ia menemukan sebuah kunci kecil di balik bingkai lukisan Resa. Kunci itu tua, berwarna tembaga kusam, dan tampak seperti milik sebuah laci rahasia atau kotak tua. Yang aneh, ia tak pernah meletakkannya di sana.
Elysia menatap kunci itu dengan alis berkerut, lalu mengingat lemari kayu tua di gudang bawah galeri—lemari peninggalan pemilik bangunan sebelumnya yang tak pernah bisa dibuka karena tak ada kuncinya. Rasa penasarannya mulai menggelitik pikirannya.
Ia membawa kunci itu ke gudang. Suasana di sana dingin dan berdebu, cahaya hanya berasal dari satu lampu kecil di langit-langit yang berayun pelan. Ia mendekati lemari kayu tua, memasukkan kunci itu perlahan… klik. Pintu terbuka.
Di dalamnya, tidak banyak. Hanya satu buku catatan tua dan beberapa foto hitam-putih yang telah menguning. Tapi apa yang tertulis dalam buku itu mengubah segalanya.
Buku itu adalah jurnal pribadi milik Aretha Winata, pemilik asli galeri yang dulu juga dikenal sebagai pelukis spiritual. Halaman demi halaman berisi tulisan tangan rapi, mencatat pengalaman Aretha dengan fenomena aneh di galeri, suara-suara di malam hari, lukisan yang berubah bentuk, bayangan yang berjalan tanpa pemiliknya.
Salah satu halaman menuliskan:
> “Ada satu ruangan yang tak pernah boleh dibuka. Di balik tembok belakang galeri, terdapat pintu kecil yang dulu kukunci sendiri setelah kejadian itu. Pintu itu menghubungkan dunia kita dengan sesuatu yang lebih gelap—tempat di mana kesedihan bisa hidup dan tumbuh menjadi sosok nyata…”
Elysia menelan ludah. Ia tahu persis tembok yang dimaksud—di balik ruang penyimpanan lukisan lama. Selama ini ia mengira itu hanya dinding biasa.
Malam itu, Elysia kembali ke galeri sendiri. Ditemani senter dan keberanian yang dibangun dari ketakutan, ia menuju tembok itu. Ia mengetuk-ngetuk, dan terdengar suara berongga dari dalamnya.
Dengan palu kecil, ia menghancurkan bagian tengah tembok, dan di sana… benar saja. Sebuah pintu kayu tua, tertutup rapat dengan simbol aneh terukir di permukaannya. Tidak ada gagang, tidak ada kunci.
Namun, saat tangannya menyentuh pintu itu, sebuah ingatan menyeruak ke dalam pikirannya—ingatan yang seharusnya tidak ada.
Ia melihat dirinya, masih remaja, bersama Resa. Mereka masuk ke dalam ruangan gelap itu, tertawa, bermain petak umpet. Tapi tiba-tiba, tawa berubah menjadi tangis. Resa terjatuh, menabrak lukisan, dan sebuah bayangan hitam menyelimuti ruangan.
Elysia tersentak kembali ke dunia nyata, keringat dingin membasahi dahinya.
> “Itu bukan hanya ruangan. Itu adalah tempat awal semuanya…”
Saat Alana menatap pintu itu dalam diam, suara pelan muncul dari balik kayu.
> “Elysia…”
Ia mundur. Itu suara yang sangat familiar. Suara dirinya sendiri.
> “Buka aku… Aku tidak akan menyakitimu…”
Suaranya lembut, menggoda. Tapi di balik kelembutannya ada gema kehampaan. Seolah ada sesuatu dari masa lalu—bagian dari dirinya yang terkunci, menunggu untuk dibebaskan.
Elysia gemetar. Ia menatap pintu itu sekali lagi, lalu berbisik, “Apa yang aku tinggalkan di sana…?”
Suara itu membalas,
" Kebenaran."
Dengan perasaan panik ia berbalik dengan cepat.
Elysia tak bisa tidur malam itu. Suara-suara dari balik pintu itu masih terngiang di telinganya. Bukan hanya suara dirinya sendiri, tapi juga suara anak kecil yang menangis, lalu suara tawa yang dingin, membekukan. Ia duduk di ranjang, menatap buku catatan milik Aretha yang kini menjadi petunjuk satu-satunya.
Ia membuka lembar demi lembar lagi, dan menemukan catatan yang membuat dadanya berdesir:
> “Ruang itu adalah pantulan jiwa siapa pun yang memasukinya. Jika kau menyimpan luka, ia akan menghidupkannya. Jika kau menyimpan cinta, ia akan mengujinya. Dan jika kau menyimpan rasa bersalah... maka bersiaplah bertemu dengan bayanganmu sendiri.”
Elysia tahu, kunci untuk membuka pintu itu bukan terletak pada kunci fisik. Tapi pada jiwanya sendiri.
Ia pun kembali ke galeri saat menjelang subuh, membawa satu benda yang tak pernah ia sentuh sejak kematian Resa : buku sketsa mereka berdua—satu-satunya kenangan yang belum ia lukis kembali.
Ia berdiri di depan pintu rahasia itu, lalu menempelkan buku sketsa itu ke permukaannya.
Detik itu juga, pintu menghangat, dan perlahan, dengan suara derak kayu yang berat, pintu terbuka… dengan sendirinya.
Apa yang elysia temukan di dalam sungguh tak terduga. Ruangan itu tidak gelap dan menyeramkan seperti yang ia bayangkan. Sebaliknya, cahaya kekuningan lembut menyelimuti dinding-dindingnya, yang seluruhnya dipenuhi lukisan.
Namun, ini bukan lukisan sembarang.
Ini adalah lukisan-lukisan yang tak pernah Elysia buat—adegan-adegan dari masa lalu, masa kini, dan bahkan… masa depan.
Ia melihat dirinya kecil, memeluk Resa sambil tertawa. Ia melihat ibunya menangis di dapur. Ia melihat Edric mengusap punggungnya saat ia mengalami keguguran pertama yang tak pernah ia ceritakan pada siapa pun. Dan di tengah-tengah ruangan, ada satu kanvas kosong.
Di bawahnya tertulis: “Maafkan aku.”
Elysia perlahan mendekat. Ia tahu kanvas itu bukan untuk dilihat… tapi untuk diisi.
Tangannya gemetar saat mengambil kuas dari pojok ruangan. Ia duduk di depan kanvas kosong itu, dan mulai melukis. Bukan dengan teknik, tapi dengan air mata. Ia melukis rasa bersalahnya, kesedihannya, cinta yang tak sempat ia ucapkan pada Resa, dan harapan yang ingin ia peluk kembali.
Saat kuas terakhir menyentuh kanvas, ruangan itu mulai bersinar.
Lukisan-lukisan lain perlahan memudar, lalu menghilang, menyisakan hanya satu : lukisan terakhir yang ia buat.
Di dalam lukisan itu, Elysia memeluk Resa. Wajah adiknya penuh senyum. Dan di balik mereka, ada cahaya yang menenangkan.
Pintu di belakang Elysia tertutup perlahan, seakan mengucapkan perpisahan.
Namun Elysia tidak takut.
Ia sudah berdamai.
Saat ruangan itu menyerap semua lukisan dan kenangan, udara menjadi sunyi. Namun, bukan sunyi yang menakutkan—melainkan damai. Elysia duduk diam di lantai kayu yang hangat, dikelilingi sisa-sisa emosi yang telah dilepaskan. Di tangannya masih tergenggam kuas, kini kering tanpa warna.
Kemudian… suara itu datang lagi.
Bukan seperti sebelumnya. Bukan tangisan, bukan tawa dingin. Tapi suara lembut—suara yang hanya bisa didengar seseorang yang benar-benar mau mendengar.
“Terima kasih… karena akhirnya kau menoleh ke arahku.”
Elysia menoleh. Di sisi ruangan, berdiri sosok Resa kecil. Kali ini bukan bayangan, bukan roh muram—melainkan versi murni dari dirinya yang terluka, tapi telah menemukan ketenangan.
Elysia berdiri. “Resa… Kau sudah bebas?”
Gadis kecil itu mengangguk. “Kau sudah membuka pintu yang paling susah—hatimu sendiri.”
Elysia tersenyum sambil menahan air mata. “Maafkan aku…”
Resa menghampirinya dan memeluknya. “Aku selalu mencintaimu, Kak. Bahkan saat aku marah.”
Tubuh Resa mulai bersinar. Perlahan-lahan ia menghilang, namun bukan seperti kehilangan. Lebih seperti… kepulangan.
Ketika pelukan itu sirna, Elysia berdiri sendiri. Tapi kali ini, ia tak merasa sendirian.
Ia berjalan keluar dari ruangan itu. Pintu menutup lembut di belakangnya, dan tak ada lagi suara aneh dari baliknya. Seakan tempat itu telah menyelesaikan tugasnya.
Malam itu, Elysia tengah duduk di balkon rumahnya, melihat bintang-bintang. Di sampingnya, Edric yang memegang tangannya, dan Satrio duduk bersandar di kursi, matanya terpejam dengan tenang.
Tak ada lagi kejar-kejaran dengan bayangan, tak ada lagi suara dari cermin, tak ada lagi lorong-lorong rahasia.
Tapi Elysia tahu… pintu itu akan selalu ada. Di dalam dirinya.
Karena setiap manusia punya ruang luka sendiri. Dan satu-satunya cara keluar, adalah dengan berani masuk dan mendengar.
Bukan untuk mengusir bayangan… tapi untuk memeluknya.