NovelToon NovelToon
ANAK RAHASIA

ANAK RAHASIA

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Lari Saat Hamil / One Night Stand / Single Mom / Hamil di luar nikah
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: WikiPix

Rahasia kelam membayangi hidup Kamala dan Reyna. Tanpa mereka sadari, masa lalu yang penuh konspirasi telah menuntun mereka pada kehidupan yang tak seharusnya mereka jalanin.

Saat kepingan kebenaran mulai terungkap, Kamala dan Reyna harus menghadapi kenyataan pahit yang melibatkan keluarga, kebencian, dan dendam masa lalu. Akankah mereka menemukan kembali tempat yang seharusnya? Atau justru terseret lebih dalam dalam pusaran takdir yang mengikat mereka?

Sebuah kisah tentang pengkhianatan, dendam, dan pencarian jati diri yang akan mengubah segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

NARASI Episode 10

Di sisi lain kota, Kamala masih berjalan cepat dengan Reyna di sampingnya. Pikirannya kacau setelah bertemu dengan Jack. Ia tidak menyangka akan melihat pria itu lagi, seseorang dari masa lalunya yang kelam, bagian dari hidup yang sudah ia kubur dalam-dalam.

Reyna menggenggam tangan Kamala lebih erat. "Mama, kenapa sih kita buru-buru?" tanyanya polos.

Kamala tersadar dari lamunannya. Ia menghela napas, mencoba tersenyum untuk menenangkan putrinya. "Tidak apa-apa, sayang. Kita hanya harus segera pulang."

Namun, perasaannya tetap tidak tenang. Bukan hanya karena Jack, tapi juga karena wanita bergaun elegan tadi, Indira. Ada sesuatu dalam sorot mata wanita itu yang terasa aneh, seolah sedang berusaha mengingat sesuatu.

Apa mungkin dia mengenalku? pikir Kamala. Tapi itu tidak masuk akal. Seingatnya, ia tidak pernah bertemu dengan wanita itu sebelumnya.

Langkah mereka semakin melambat ketika matahari mulai tenggelam, menyisakan cahaya oranye keemasan yang menerpa wajah mereka. Angin sore berembus lembut, namun itu tidak cukup untuk mengusir kegelisahan di hati Kamala.

Mereka berjalan tanpa tujuan yang jelas, tetapi satu hal yang pasti, mereka tidak bisa kembali ke kontrakan lama. Kamala tahu bahwa cepat atau lambat, wanita penagih utang itu akan datang lagi.

Ia tidak ingin Reyna melihat ibunya dipermalukan di depan umum hanya karena kesalahan masa lalu.

"Mama, kita mau ke mana?" Reyna bertanya lagi, suaranya terdengar sedikit lelah.

Kamala berhenti sejenak dan mengusap kepala putrinya dengan lembut. "Kita mencari rumah baru, sayang. Supaya kita bisa tinggal lebih nyaman."

Matanya menelusuri deretan rumah kontrakan sederhana di area yang lebih padat. Ia pernah mendengar ada beberapa tempat kosong di daerah ini, dan ia berharap bisa menemukan yang sesuai dengan kemampuannya.

Namun, dalam hati kecilnya, ia tahu bahwa ini hanya solusi sementara. Jika ia tidak segera mendapatkan pekerjaan yang lebih stabil, mereka akan terus hidup berpindah-pindah seperti ini.

Kamala menarik napas panjang, mencoba menguatkan hatinya. Untuk sekarang, yang terpenting adalah memberikan tempat berteduh untuk Reyna. Segala kekhawatiran lainnya bisa ia pikirkan nanti.

Langit semakin gelap, awan kelabu menggantung rendah seolah bersiap menumpahkan hujan. Kamala terus menggandeng tangan Reyna, matanya menyapu deretan rumah kontrakan di sepanjang jalan sempit itu. Beberapa sudah penuh, sementara yang lainnya memiliki harga yang jauh di luar kemampuannya.

Ia mulai merasa putus asa. Setiap langkah yang mereka ambil terasa semakin berat, dan dinginnya udara sore menambah kelelahan yang ia rasakan.

"Mama, Reyna capek," ucap gadis kecil itu lirih, suaranya hampir tenggelam dalam hembusan angin yang semakin kencang.

Kamala berhenti sejenak, menatap wajah putrinya yang mulai lesu. Ia menggigit bibir, merasa bersalah karena harus menyeret Reyna ke dalam situasi seperti ini.

"Sebentar lagi, sayang. Kita cari tempat berteduh dulu, ya?" Kamala berusaha terdengar setenang mungkin, meski dalam hatinya ia mulai panik.

Tiba-tiba, angin bertiup lebih kencang, menerbangkan beberapa daun kering di sepanjang jalan. Udara yang semula hanya dingin kini mulai terasa lembap. Hujan akan segera turun.

Kamala menengadah, melihat langit yang semakin pekat. Ia tahu mereka harus segera menemukan tempat berlindung, atau mereka akan basah kuyup di tengah jalan.

Namun, sejauh mata memandang, tidak ada satu pun tempat yang bisa mereka singgahi. Semua warung sudah tutup, dan rumah-rumah di sekitar tidak menunjukkan tanda-tanda bisa menerima mereka.

Jantung Kamala berdebar keras. Haruskah aku mengetuk salah satu pintu rumah dan meminta izin berteduh? pikirnya. Tapi siapa yang akan percaya dan membiarkan orang asing masuk begitu saja?

Setetes air dingin jatuh ke pipinya. Lalu, disusul dengan tetesan lainnya. Dalam hitungan detik, gerimis mulai turun.

Kamala segera melepaskan jaketnya dan menutupi kepala Reyna. "Ayo kita cari tempat berteduh!" ujarnya sambil menggandeng putrinya lebih erat.

Mereka berlari kecil menuju emperan toko terdekat, satu-satunya tempat yang cukup luas untuk berlindung dari hujan yang mulai deras. Kamala menghela napas lega ketika mereka sampai, meskipun itu hanya solusi sementara.

Reyna mendekap tubuh ibunya, mencari kehangatan di tengah udara yang semakin dingin. "Mama, kita tidur di mana nanti?" tanyanya pelan, suaranya penuh kepolosan tapi juga kekhawatiran.

Kamala tidak langsung menjawab. Ia hanya merangkul putrinya lebih erat, menatap hujan yang semakin deras, menabuh atap seng di atas mereka dengan irama yang mencekam.

Angin dingin berhembus menusuk kulit, membuat tubuh Kamala menggigil. Ia melirik ke arah Reyna yang meringkuk dalam dekapannya, tubuh mungilnya bergetar kedinginan.

"Reyna, kamu kedinginan?" tanya Kamala lembut, meskipun ia sudah tahu jawabannya.

Gadis kecil itu mengangguk pelan. Bibirnya sedikit membiru, matanya mulai sayu karena kelelahan.

Kamala merapatkan jaket yang tadi ia gunakan untuk melindungi Reyna, mencoba memberikan sedikit kehangatan, meskipun itu terasa sia-sia. Pakaiannya sendiri sudah setengah basah karena hujan yang terbawa angin, membuatnya semakin sulit menahan dingin.

Ia menggigit bibirnya, menatap ke jalanan yang mulai sepi. Sesekali ada mobil yang melintas, tapi tak ada satu pun yang berhenti. Warung dan toko-toko di sekitar mereka juga tertutup rapat. Tidak ada tempat lain yang bisa mereka tuju.

"Mama, aku ngantuk…" suara Reyna semakin lirih, hampir tenggelam dalam suara hujan yang menghantam aspal.

Kamala mengusap kepala putrinya, menahan air mata yang hampir jatuh. "Tahan sebentar ya, sayang. Mama akan cari tempat untuk kita berteduh."

Tapi ke mana?

Mereka sudah berjalan hampir sepanjang sore, dan semua kontrakan yang ia temui tidak bisa mereka tempati. Kini, dengan hujan yang semakin deras dan malam yang sebentar lagi datang, harapannya mulai menipis.

Hujan semakin menggila, menciptakan kabut tipis yang memburamkan pandangan. Kamala masih memeluk Reyna erat, tubuhnya bergetar, entah karena dingin atau ketakutan akan malam yang semakin pekat.

Di kejauhan, suara langkah kaki tergesa-gesa terdengar mendekat, bersamaan dengan suara deru mobil yang melambat. Kamala menegang. Ia mengangkat kepalanya, mencoba menembus tirai hujan untuk melihat siapa yang datang.

Lalu, dua sosok muncul hampir bersamaan.

Satu pria berjalan cepat, mengenakan jaket hitam yang basah kuyup, rambutnya juga lepek tertimpa hujan. Ekspresinya tampak waspada, matanya menyapu area sekitar hingga akhirnya berhenti pada Kamala dan Reyna.

Affan.

Kamala menahan napas. Ia tidak menyangka akan bertemu dengannya di saat seperti ini.

Sementara itu, di sisi lain, sebuah mobil sedan hitam berhenti di pinggir jalan. Pintu terbuka, dan seorang pria melangkah keluar dengan payung di tangannya. Matanya menatap tajam ke arah Kamala, bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang entah kenapa membuat nyali Kamala menciut.

Jack.

Jantung Kamala berdentum keras. Apa yang sedang terjadi? Kenapa dua orang ini muncul di hadapannya secara bersamaan?

Affan yang lebih dulu bereaksi. Ia melangkah cepat menghampiri Kamala, matanya langsung tertuju pada Reyna yang masih dalam dekapan ibunya. "Kamu nggak bisa tetap di sini. Ini terlalu dingin untuk Reyna," ucapnya dengan nada cemas.

Kamala membuka mulutnya, ingin menjawab, tetapi sebelum ia sempat berbicara, suara Jack memecah kebisuan.

"Kau masih sama seperti dulu, Kamala. Selalu berada di tempat yang salah di waktu yang salah."

Kamala langsung menegang. Tatapan Jack mengunci dirinya, penuh arti. Pria itu melangkah mendekat dengan santai, seolah hujan tidak berpengaruh padanya.

Affan menoleh ke arah Jack, matanya menyipit. "Siapa kamu?" tanyanya tajam.

Jack hanya tertawa kecil. "Harusnya aku yang bertanya. Siapa kamu? Kenapa kau terlihat terlalu peduli dengan mereka?"

Affan mengabaikan pertanyaan itu. Ia berbalik ke arah Kamala. "Ayo ikut aku. Aku bisa membawa kalian ke tempat yang lebih hangat."

Kamala tidak tahu harus bagaimana. Ia berdiri di antara dua pria dengan dua dunia yang berbeda. Satu adalah Affan, seseorang yang baru saja hadir dalam hidupnya, menawarkan bantuan tanpa pamrih. Yang satunya lagi adalah Jack, sosok dari masa lalu yang tidak pernah ia harapkan untuk bertemu kembali.

Jack menatap Kamala tajam. "Jangan bilang kau akan pergi dengannya?" suaranya terdengar penuh tantangan.

Hati Kamala semakin kacau. Keputusan apa yang harus ia ambil?

Kamala menelan ludah, pikirannya berputar cepat. Ia menatap Jack yang masih berdiri dengan payung di tangannya, wajahnya menyiratkan ketenangan yang justru membuatnya merasa terjebak. Di sisi lain, Affan masih menatapnya dengan khawatir, menunggu keputusannya.

Reyna menggeliat dalam dekapannya, bibir mungilnya bergetar karena dingin. Itu cukup untuk membuat Kamala mengambil keputusan. Anakku butuh tempat berteduh, itu yang utama.

Ia menggenggam tangan Reyna lebih erat, lalu mengangkat wajahnya menatap Affan. "Tolong bawa kami pergi dari sini."

Ekspresi Jack berubah, senyumnya memudar sedikit. "Kau yakin, Kamala?" tanyanya, suaranya terdengar lebih rendah, nyaris seperti ancaman.

Kamala menghindari tatapan Jack. "Terima kasih, Jack. Tapi aku harus pergi."

Tanpa menunggu lebih lama, Affan segera melepas jaketnya dan menyelimuti Reyna. Ia lalu menuntun Kamala dan anaknya menjauh, membiarkan Jack berdiri di sana, menatap punggung mereka yang perlahan menghilang dalam derasnya hujan.

Namun, sebelum benar-benar pergi, Kamala sempat menoleh sekilas ke arah Jack. Mata mereka bertemu sekejap. Ada sesuatu di mata pria itu. Bukan kemarahan, bukan kekecewaan, tapi sesuatu yang lebih dalam dan sulit diartikan.

Jack tersenyum miring, lalu melangkah mundur menuju mobilnya.

Sementara itu, Affan membawa Kamala dan Reyna menuju sebuah tempat yang lebih hangat, dengan membuka pintu rumahnya, membiarkan Kamala dan Reyna masuk lebih dulu. Udara hangat langsung menyambut mereka, kontras dengan dinginnya hujan di luar.

"Silakan masuk. Maaf kalau rumahku agak berantakan," kata Affan sambil menutup pintu dan mengibaskan rambutnya yang basah.

Kamala melirik sekeliling. Rumah Affan tidak terlalu besar, tapi terlihat rapi dan nyaman. Dindingnya dihiasi beberapa lukisan sederhana, dan ada rak buku di sudut ruangan. Sofa di ruang tamu tampak empuk, dengan selimut tebal terlipat rapi di atasnya.

Reyna masih menggigil dalam pelukan Kamala. Affan menyadari itu dan segera bergegas ke dalam, kembali dengan handuk kering dan pakaian bersih.

"Ini, ganti dulu bajunya. Maaf kalau ukurannya agak kebesaran," katanya, menyerahkan pakaian itu.

Kamala menerima dengan ragu, tapi akhirnya mengangguk. "Terima kasih, Affan. Aku benar-benar merepotkanmu."

Affan tersenyum kecil. "Kau tidak merepotkan. Lagipula, kau butuh tempat berteduh."

Kamala membawa Reyna ke kamar mandi untuk mengganti pakaian mereka. Saat ia kembali ke ruang tamu, Affan sudah menyiapkan dua cangkir teh hangat di meja.

"Minumlah. Ini bisa membantu menghangatkan tubuh," ujarnya.

Kamala duduk di sofa, menarik Reyna ke pangkuannya, lalu mengambil cangkir itu. Kehangatan teh menyebar ke seluruh tubuhnya, sedikit mengurangi rasa dingin yang tadi menusuk.

Affan duduk di seberang mereka, menatap Kamala dengan sorot mata penuh pertanyaan, tetapi tidak langsung bertanya.

Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya berkata, "Kamala… apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau ada di luar saat hujan seperti tadi?"

Kamala menggenggam cangkirnya lebih erat. Ia tahu cepat atau lambat pertanyaan itu akan muncul. Namun, apakah ia siap untuk menjawabnya?

Ia menghela napas panjang, lalu menatap Affan. "Aku… aku sedang mencari tempat tinggal baru."

Affan mengerutkan kening. "Maksudmu, kau tidak punya tempat tinggal sekarang?"

Kamala menggigit bibirnya, lalu mengangguk pelan.

Affan menatapnya beberapa detik, lalu menarik napas dalam. Ia tampak berpikir, sebelum akhirnya berkata dengan suara tenang, "Kalau begitu, tinggal saja di sini dulu."

Kamala terkejut, menatap Affan dengan mata membesar. "Apa?"

"Kalian bisa tinggal di sini sementara, sampai kau menemukan tempat baru," kata Affan mantap. "Aku tidak bisa membiarkan kalian tidur di luar, apalagi dengan Reyna."

Kamala membuka mulutnya untuk menolak, tapi sebelum ia sempat berbicara, Reyna lebih dulu berseru, "Mama, kita boleh tinggal di sini?"

Kamala menatap wajah polos putrinya yang penuh harapan. Hatinya mencelos.

Affan tersenyum kecil. "Anggap saja ini tempat singgah sementara. Kau tidak perlu merasa terbebani."

Kamala menggenggam tangan Reyna, lalu menatap Affan dengan penuh rasa terima kasih.

"Terima kasih, Affan. Aku tidak tahu bagaimana harus membalas kebaikanmu."

Affan menggeleng. "Tidak perlu membalas apa pun. Yang penting kalian aman."

Kini Kamala merasa sedikit lebih tenang. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini hanyalah permulaan. Dengan kehadiran Jack yang tiba-tiba, ia tidak tahu masalah apa yang akan menunggunya di hari-hari mendatang.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!