Setiap kali Yuto melihat bebek, ia akan teringat pada Fara, bocah gendut yang dulunya pernah memakai pakaian renang bergambar bebek, memperlihatkan perut buncitnya yang menggemaskan.
Setelah hampir 5 tahun merantau di Kyoto, Yuto kembali ke kampung halaman dan takdir mempertemukannya lagi dengan Bebek Gendut itu. Tanpa ragu, Yuto melamar Fara, kurang dari sebulan setelah mereka bertemu kembali.
Ia pikir Fara akan menolak, tapi Fara justru menerimanya.
Sejak saat itu hidup Fara berubah. Meski anak bungsu, Fara selalu memeluk lukanya sendiri. Tapi Yuto? Ia datang dan memeluk Fara, tanpa perlu diminta.
••• Follow IG aku, @hi_hyull
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hyull, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 | Disepelekan
Temannya tertawa, begitu juga dengan istri temannya. Fara pun tertawa juga, tapi lebih ke tahan malu. Tidak, ia tidak merasa terhina. Ia tidak merasakan itu dari kata-kata Yuto. Ia hanya malu, karena ia sadar memang dirinya gendut. Yuto menyebutnya ‘agak berisi’ yang malah membuatnya malu, karena menurutnya, sebut ‘gendut’ pun tidak masalah.
“Kalau gitu kami pergi dulu, ya,” pamit temannya akhirnya.
Yuto berjabatan lagi dengan temannya, bahkan saling menepuk bahu yang kemudian teman dan sang istri pergi dari sana bersama motor mereka.
Yuto kembali duduk, begitu juga dengan Fara.
“Itu teman dari SD, lanjut SMP, sampai SMA pun muka-muka dia aja yang ada di kelas abang. Anaknya bandel kali, tukang cabut sekolah. Eh ternyata udah nikah aja.”
Fara tersenyum mendengarnya, tapi tampak canggung, karena masih mengingat satu kata yang disebut teman Yuto tadi.
“Bang…” tegurnya, sedang memaksakan diri untuk berani bertanya, tapi tak berani menatap langsung dan memilih menunduk sambil memainkan sumpit pada kwetiaw.
“Hm?” Yuto meraih sepotong bakwan, lalu ia gigit setengah. Pandangannya masih tertuju ke wajah Fara.
“Tadi, abang kenapa nggak ngomong apa-apa waktu teman abang bilang ‘istri’?”
Yuto langsung berhenti mengunyah. Gerak matanya terhenti, tapi alih-alih tampak panik atau ingin membantah, Yuto justru tersenyum.
“Anggap aja doa,” katanya enteng.
Fara langsung mengangkat wajahnya, menatap Yuto dengan tatapan bingung.
“Doa?” gumamnya.
Yuto mengangguk pelan. “Iya. Perkataan kan bisa jadi doa.”
Fara semakin bingung. Ia menunduk lagi ke mie balapnya, pura-pura fokus ke sana agar tidak perlu membalas langsung tatapan Yuto yang membuat jantungnya pecah semarak.
Tapi Yuto tak berhenti di situ. Ia meletakkan bakwan yang tadi digigit setengah ke piring, lalu duduk mencondong ke depan, hendak berbisik.
“Kalau nanti Fara udah terima abang, ya abang bakal nikahi Fara.”
Fara mematung. Jantungnya berdetak terlalu cepat untuk dihitung. Bibirnya terbuka sedikit, tapi tidak ada kata yang keluar. Yang terdengar hanya suara bising kendaraan yang lewat di jalan, aroma minyak bawang dari mie balap, dan suara obrolan samar yang terdengar beradu.
“Udah, lanjut makannya. Katanya udah kepengen kali mie balap di sini. Tapi betul enak, kok. Abang suka. Bakwannya juga enak.”
Sementara Yuto masih sangat santai, tidak dengan Fara.
Di sepanjang kunyahannya, detak jantungnya terus berdengung di kepalanya, cukup terguncang usai mendengar kata-kata Yuto tadi, tetapi terlalu malu untuk menanggapi.
“Besok mau ke kantor sama-sama lagi?” tanya Yuto lagi, tak peduli Fara masih frustasi karena kata-katanya.
Fara kembali menatapnya. “Abang nggak sama Om Yuki aja?” Fara menanyakan itu dengan lesu, seakan ingin terbebas dari Yuto walau hanya sesaat.
“Kenapa? Fara nggak suka ke kantor sama abang?”
Semakin frustasi si Fara. “Bukan gitu…”
Yuto menyela cepat. “Kalau bukan, besok jemput abang, ya.”
Terlihat ragu, Fara memaksakan diri untuk lanjut berkata, “Bang… boleh nggak, besok Fara berangkat sendiri aja?”
Yuto menghela napas berat. Ia tahu tak boleh memaksa, ia juga berniat tidak tergesa-gesa, tapi rasanya ingin selalu bersama Fara.
“Yasudah, abang sama Om Yuki aja. Tapi…” Yuto menatapnya dengan senyum lembut. “Abang mau ayam kukusnya, ya. Biar besok abang semangat kerjanya setelah sarapan dengan masakan Fara.”
Napas Fara tertahan, lagi-lagi Yuto membuatnya kikuk dengan sangat mudah.
Mereka kembali berada di motor. Filano kuning itu melaju pelan di jalanan Kota Langsa yang mulai tampak ramai, dan jauh lebih ramai saat mereka melintas di lapangan merdeka yang letaknya di sisi kiri jalan, karena biasanya di minggu pagi, orang-orang sering ke lapangan merdeka. Ada yang untuk olahraga, sarapan, atau sekadar nongkrong.
Fara memang gugup. Sejak semalam, hingga kini, Yuto terus membuat jantungnya berdebar. Tapi selain itu, ia juga senang. Ia tak tak tahu mengapa. Meski terus gugup, tapi hatinya senang. Rasanya seperti bisa mengepakkan sayap setelah lama patah.
Memasuki jalanan komplek, Fara mendadak mengkhawatirkan kondisi di kedai, karena biasanya di minggu pagi seperti ini, kedai akan sangat ramai dengan ibu-ibu yang berburu telur, tempe dan tahu, yang baru saja dibeli Sukri langsung di pajak.
Dan benar saja. Saat mereka memasuki jalanan komplek, masih dari jarak jauh pun—dari balik bahu lebar Yuto, ia dapat melihat beberapa ibu-ibu yang sedang ngerumpi di depan kedai, termasuk ada mamanya di sana.
Fara menjadi panik, sementara Yuto happy kali.
Dia sudah menyiapkan senyumnya untuk menghampiri calon mertuanya itu.
Begitu motor yang Yuto kendarai di depan rumah Fara, sekumpulan ibu-ibu di depan kedai langsung menoleh ke arah mereka.
“Eh… Yuto Fara… abis dari mana pagi-pagi kayak gini?”
Tuh kan… langsung disapa sama salah satu ibu-ibu di sana.
Fara yang malu, memilih diam dan hanya turun dari motor, sementara Yuto yang memang sudah menyiapkan diri, langsung menunjukkan senyumannya sambil menjawab dan turun dari motor.
“Belanja ke pajak, Bu…”
Dapat Fara lihat, sorot mata mamanya terlihat kebingungan, entah kaget atau senang—melirik ke arahnya dan Yuto bergantian tanpa henti.
“Wih… dekat kali ternyata kalian, ya. Betul pacaran lah ini… kek mana, Bu Eka? Lihat tuh, yang dekatin Fara Yuto loh... Dibolehin, nggak? Bolehin aja, cucunya Pak Haru, loh… siapa sih yang nggak mau masuk ke keluarga itu. Iya kan ibu-ibu?”
Bu Eka tertawa pelan, berusaha mempertahankan wibawanya. “Kalau saya sih terserah Fara aja…” bohongnya, padahal di dalam hatinya ia bersorak senang, menyadari anak bontotnya didekati oleh Yuto yang ia ketahui berasal dari keluarga terpandang, yang sudah pasti banyak uangnya.
Dan Fara tahu itu, mengenai isi hati mamanya.
Masih dengan senyumnya, Yuto menikmati obrolan ibu-ibu di sana, sedangkan dirinya mulai membuka jok untuk mengambil belanjaan milik Fara.
“Yang mana aja?” tanya Yuto. Dia pun bingung mana saja milik Fara dan miliknya.
“Bang, joknya jadi kotor…” Fara malah mengkhawatirkan hal lain, karena memang joknya jadi terkena darah ayam dan ikan yang menembus kresek.
“Nggak apa-apa. Bisa dibersihkan. Cepat ambil punya Fara. Abang pun bingung yang mana punya abang. Kikilnya jangan lupa diambil.”
Fara memeriksa beberapa kresek sebelum akhirnya semua miliknya sudah berada di tangannya. “Makasih banyak ya, Bang… nggak enak kali abang bayarin.”
“Seharusnya pun waktu beli ayam abang juga yang bayarin, tapi tadi abang lupa.”
“Fara nggak enak kali lah bang, dibayarin kayak gini.”
“Dibiasakan aja.” Dengan santainya, tangan Yuto mendarat di pipi tembam Fara, mengelusnya pelan—tak peduli ibu-ibu di sana—termasuk Bu Eka, masih melirik ke arah mereka.
“Nanti Fara buatkan ayam kukus yang enak, deh,” ucapnya menahan malu dan panas di pipi. Setidaknya, ayam kukus buatannya bisa menggantikan kebaikan Yuto pagi ini.
Yuto tersenyum lebar. “Abang jadi nggak sabar nunggu besok.” Melihat Fara yang semakin kikuk, Yuto pun memutuskan pergi dari sana. “Yasudah, abang pulang dulu ya,” pamitnya lembut.
Fara mengangguk cepat.
Sambil kembali duduk di motor, Yuto juga pamit dengan ibu-ibu di sana yang sedang tersenyum padanya. “Pulang dulu, Bu…”
“Iya, iya… hati-hati…”
Takut dipanggil ibu-ibu di sana, Fara buru-buru melangkah masuk ke dalam rumah. Ia membawa semua belanjaannya ke dapur, tapu sedetik kemudian ia mendengar suara pintu rumah terbuka lalu tertutup lagi.
Sudah pasti itu mamanya, karena pintunya dibanting keras.
“Kok bisa sama si Yuto tadi? Fara ajak dia?” tanya mamanya, kembali ketus seperti biasa.
“Enggak loh, Ma…” jawabnya, membuka plastik ayam di wastafel, hendak ia bersihkan.
“Jadi tadi kok sama-sama kalian?”
“Bang Yuto mau ke pajak juga, dia bilang sekalian aja.”
“Loh, kok banyak kali belanjanya? Katanya nggak punya uang.”
“Tadi jumpa uang di kantong celana,” bohongnya, memilih tidak mengatakan bahwa hampir semua belanjaan itu Yuto yang belikan.
“Terus, si Yuto kok baik kali sama Fara? Apa dia suka sama Fara? Ah, nggak mungkin sih. Dia pasti cari yang cantik. Di keluarganya pun mana ada yang jelek. Fara gendut pula. Di keluarga mereka nggak ada yang gendut. Makanya, kurusin badannya. Mana tahu kalau kurus, si Yuto mau. Kalau badan Fara kurus, mungkin mukanya bisa agak cantik dikit.”
Fara menghembuskan napas yang panjang.
Ia tak bisa bayangkan, apa jadinya kalau mamanya tahu semalam Yuto sudah menyatakan cinta padanya.
Ia tahu bagaimana mamanya. Satu info saja ia sampaikan, maka akan mamanya banggakan ke banyak ibu-ibu di luar sana.
.
.
.
.
.
Continued...
Untung Yuto baru blgnya ke papanya Fara aja bkn ke mama nya,bisa heboh 1 komplek ntar sblm akad nikah,dasar ibu2 rumpi /Smug/
sama kita fara, banyak yg ngira lagi hamil gara2 gendut, 🤣🤣🤣🤣