Rea memilih berdamai dengan keadaan setelah pacar dan sahabatnya kedapatan tidur bersama. Rasa cinta yang sejatinya masih bertuan pada Devan membuat Rea akhirnya memaafkan dan menerima lamaran pria itu.
Sepuluh tahun telah berlalu mereka hidup bahagia dikarunia seorang putri yang cantik jelita, ibarat tengah berlayar perahu mereka tiba-tiba diterjang badai besar. Rea tidak pernah menduga seseorang di masa lalu datang kembali memporak-porandakan cintanya bersama Devan.
Rea berjuang sendirian untuk membongkar perselingkuhan Devan, termasuk orang-orang di belakang Devan yang membantunya menyembunyikan semua kebusukan itu.
IG. ikeaariska
Fb. Ike Ariska
Tiktok. ikeariskaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ike Ariska, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perasaan Bersalah
Gegas Devan menggendong Airin dan berlari membawanya masuk ke dalam kamar tamu. Ditepuk-tepuknya pipi gadis kecil itu suasana terasa begitu sangat mencekam ketika tidak ada respons sama sekali dari Airin.
“Ya Tuhan, kenapa Dokternya lama sekali?!” umpat Devan.
Ia melirik Rea, tapi tidak memberi kesempatan pada wanita itu untuk melakukan pertolongan pertama pada anaknya. Devan marah emosinya memuncak dia menganggap kecelakaan ini terjadi gara-gara Rea yang tidak becus menjaga anak.
Semua orang mengelilingi tempat tidur di mana Airin berbaring. Di sana juga ada Anna yang terlihat cemas, bahkan ia belum sempat mengganti gaun putihnya yang basah.
Sementara Rea terus menangis sembari menirukan gerakan setrika. Ia tidak bisa tenang melihat Airin yang belum juga sadarkan diri.
“Ini salah mama, Sayang!” Rea bergumam seraya menggigit kukunya berulang kali.
“Kalau saja tadi mama tidak lengah menjagamu pasti semuanya akan baik-baik saja.”
Akhirnya Anna memberanikan diri mendekati Rea. Dilihatnya Rea sangat terpukul atas kejadian itu.
“Sudahlah, Re. Jangan menyalahkan dirimu ini sebuah kecelakaan! Kita berdoa saja semoga Airin cepat siuman.”
Rea tidak bergeming hanya melirik sentuhan Anna di tangannya. Nada bicara wanita itu terdengar sangat tulus sehingga membuat Rea merasa jauh lebih tenang.
Sementara itu Devan yang panik kembali memompa dada Airin. Setiap pergerakan kecil yang ia lakukan tidak lepas dari perhatian Rea ketika melakukan pertolongan mulai dari teknik hingga kuatnya tekanan saat melakukan CPR.
“Ya Tuhan, Dev! Biar aku yang melakukannya!” gumam Rea.
Sayangnya Rea tidak punya keberanian untuk bicara, terlebih ketika saling pandang dengan Bu Sharla. Tatapan tajam wanita itu berhasil membuat Rea menciut merasa dirinya mengecil sekecil kuman.
Bersyukur Devan memiliki teknik Resusitasi yang baik, sehingga CPR yang ia lakukan akhirnya membuahkan hasil. Airin yang semula tidak sadarkan diri dibuat batuk dan memuntahkan banyak air.
“Airin, Sayang!”
Cepat-cepat Devan membantu Airin untuk duduk. Pria itu mencium puncak kepala anak kesayangannya dengan perasa lega.
“Akhirnya,” batin Devan.
Rea lerai sentuhan lembut dari Anna, lalu berhamburan mendekati Airin dan membawa gadis kecil itu ke dalam pelukannya.
“Sayang maafkan mama, yaa. Ini semua salah mama,” bisik Rea di telinga Airin.
Seulas senyum patah terlukis di sudut bibir Airin. Ia menggeleng mendengar Rea menyalahkan dirinya sendiri.
Tidak lama setelah itu derap langkah mendekat membuat semua orang yang ada di sana mengalihkan perhatian pada pintu yang ternganga. Seorang pria berkacamata menjinjing tas di tangannya, stetoskop juga terkalung di lehernya. Dia Dokter Hilton, dokter langganan keluarga itu.
Benar, sekalipun Rea seorang dokter, tapi sayangnya Nyonya Sharla tidak pernah mau jika Rea yang merawatnya. Wanita itu merasa jauh lebih nyaman dengan Dokter Hilton ketimbang menantunya sendiri yang juga berprofesi sebagai Dokter.
Rea mengulas senyum kecut di sudut bibirnya saat Dokter berperawakan sangar itu mendekati ranjang, lalu cepat-cepat membantu Airin untuk kembali berbaring.
“Sayang, Dokter Hilton akan memeriksamu,” ucap Rea lembut.
“Tapi, Ma....” Airin menyela, lalu terdiam saat dilihatnya Rea menempelkan telunjuk di bibirnya.
Rea bangkit dari ranjang untuk memberi ruang pada Dokter Hilton.
“Permisi, Dokter Rea,” sapa pria itu sambil memahat senyum.
Rea mengangguk mengiyakan.
Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan akhirnya Dokter Hilton mengalihkan pandang pada Devan.
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Tuan Dev. Putri Anda baik-baik saja.”
Dokter itu pun akhirnya mengalungkan kembali stetoskop di lehernya.
“Apa tidak ada resep obatnya, Dok?” tanya Devan dengan mimik khawatir di wajahnya.
Dokter itu pun kembali tersenyum.
“Tidak, tidak Tuan Dev. Istirahat saja itu sudah lebih dari cukup,” timpal Dokter Hilton.
“Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu,” sambung dokter Hilton.
Semua orang di sana mengangguk mengiyakan.
“Oh iya. Dokter Rea, bisa kita bicara sebentar?”
Rea mengalihkan perhatian dari Airin, lalu mengangguk pada Dokter itu.
“Tentu, Dok.”
“Sayang, Mama antar Dokter ke depan dulu, yaa!” ucap Rea tersenyum.
Rea berlalu setelah bocah kecil itu mengangguk padanya. Langkah Rea tergesa mengejar Dokter Hilton yang sudah lebih dulu meninggalkan ruangan itu.
“Ya, Dokter?” sapa Rea dari belakang saat ia berhasil menyamakan langkah.
Dokter Hilton tersenyum.
“Apa ini Dokter? Apa Anda bermaksud merendahkan saya? Anda seorang Dokter, tapi malah memanggil saya untuk datang ke sini?” nada bicara Dokter Hilton terdengar jenaka.
“Hahahahahaha."
"Dokter Rea, seorang Dokter ternama di kota ini meminta saya untuk menangani anaknya?” cetus Dokter Hilton tidak percaya.
Pria itu seolah tidak puas mencerca Rea dengan kata-kata.
Sepasang bola mata indah milik Rea berputar-putar mendengar kalimat demi kalimat yang dilayangkan Dokter Hilton kepadanya.
“Dokter Hilton bisa saja,” pungkas Rea singkat.
“Saya merasa direndahkan sekaligus merasa tersanjung saat Dokter Rea memanggil saya datang ke sini,” timpal Dokter Hilton lagi.
Rea mengangguk-angguk ringan seraya menatap lantai. Andai Dokter Hilton dapat merasakan wajah Rea yang kini menebal.
“Beda cerita kalau saya menangani orang lain Dok, tapi kalau anak sendiri saya seperti kehilangan akal. Saya bingung, panik, dan juga deg-degan. Saya tidak berhenti menangis dari tadi,” terang Rea.
Ia berusaha menjawab rasa penasaran Dokter Hilton dengan cerita karangannya. Rea terpaksa bersandiwara di depan pria itu. Ia tidak ingin Devan kehilangan wibawanya dengan menceritakan yang sebenarnya.
Dokter itu pun tersenyum saat mendengar alasan yang disampaikan Rea.
“Oh begitu rupanya.” Dokter itu pun akhirnya percaya.
“Ya Tuhan, beruntung aku punya alasan yang masuk akal,” batin Rea.
Akhirnya ke duanya pun sampai di halaman rumah megah itu. Sebuah mobil sederhana terparkir di sana.
“Baiklah dokter Rea, saya izin pamit. Sampai jumpa lain waktu,” ucap Dokter Hilton sebelum akhirnya benar-benar berlalu.
Rea pandangi mobil yang ditunggangi Dokter Hilton sampai menghilang. Lama terdiam di tempatnya berdiri meresapi rasa sakit atas sikap Devan tadi.
“Dev, Dev. Baru sekali ini aku melakukan kesalahan tapi sikapmu sudah sangat keterlaluan. Apa kamu tidak pernah berkaca? Bahkan hampir tiap saat aku memaafkan kesalahan demi kesalahan yang kamu lakukan,” gumam Rea.
Walau rasa cintanya pada Devan sangat besar, tapi tetap saja sakit rasanya diperlakukan seperti tadi. Rea bahkan tidak diberi kesempatan untuk menangani Airin yang kondisinya sangat darurat.
Langkah Rea tertatih kembali masuk ke dalam rumah ibu mertuanya. Tujuannya sekarang adalah kamar Airin tadi. Tiba-tiba langkah Rea terhenti saat dilihatnya dari kejauhan Anna dan Sam berjalan beriringan keluar, kemudian mereka mulai menaiki tangga menuju kamar di lantai dua.
Rea tertegun saat kemudian dilihatnya Sam dengan sangat mesra menggendong Anna.
“Baguslah kalau ternyata kalian benar-benar saling cinta,” gumam Rea dalam diam.
Setelah pasangan itu menghilang dari pandangan Rea pun mempercepat langkah. Ia tidak langsung menemui Airin, tapi ke dapur dulu mengambil segelas air hangat untuk disuguhkan nanti pada Airin.
Dengan segelas air di tangannya Rea kembali ke kamar Airin menemui putri kesayangannya itu.
emang. sahabat adalah maut...
mudah2an aja meningkat. trus nggak jadi nikah sama Sam...
Sam kalau tau masa lalu ana pasti mikir dua kali lah .. tu si ana aja masih ingat waktu devan menghujam dirinya... munafik bngt