NovelToon NovelToon
Maaf Yang Terlambat

Maaf Yang Terlambat

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Anak Kembar / Masalah Pertumbuhan / Keluarga / Persahabatan / Teman lama bertemu kembali
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Rianti Marena

Konon tak ada ibu yang tega 'membuang' anaknya. Tapi untuk wanita seperti Ida, itu sah-sah saja.
Lalu tidak ada yang salah dengan jadi anak adopsi. Hanya, menjadi salah bagi orang tua angkat ketika menyembunyikan kenyataan itu. Masalah merumit ketika anak yang diadopsi tahu rahasia adopsinya dan sulit memaafkan ibu yang telah membuang dan menolaknya. Ketika maaf adalah sesuatu yang hilang dan terlambat didapatkan, yang tersisa hanyalah penyesalan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rianti Marena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bakar Saja

Gunung tampak tidak terkejut saat mendapat laporan dari Budhe Sur terkait kondisi istrinya. Sejak semalam istrinya belum mau keluar kamar, belum makan dan minum apapun, menolak ditemui siapapun, dan mematikan handphone-nya.

Gunung sudah sangat hafal dan mengenal tabiat perempuan yang dinikahinya. Ayu sekalinya marah memang butuh waktu untuk menenangkan diri. Terlebih ini soal Yunus, adik bungsu yang amat disayangi Ayu.

Ayu dan Gunung telah sepakat untuk menjadikan topik-topik berbau keluarga dan masa lalu sebagai hal yang tabu. Dalam keluarga mereka hanya ada Gunung, Ayu, anak-anak, dan Budhe Sur. Acara nyekar setiap tahun hanya dilakukan di makam keluarga Gunung di kampung asalnya. Tidak pernah mereka mengajak anak-anak ke desa nelayan, tempat asal Ayu. Anak-anak hanya diberi tahu bahwa Gunung dan Ayu menikah dalam kondisi telah menjadi yatim piatu dan sebatang kara. Tidak ada kerabat maupun sanak saudara.

Ditemukannya foto-foto lama di gudang ditambah dengan secuil rahasia yang keceplosan dari Budhe Suryani menjadi suatu tragedi yang mengancam kestabilan suasana dalam keluarganya. Terungkapnya sebuah rahasia dapat memancing siapapun dalam rumah mereka untuk mengetahui hal lainnya. Artinya rangkaian rahasia yang dengan apik disembunyikan selama bertahun-tahun, terancam terekspos oleh anak-anak.

Tidak bisa begitu, pikir Gunung. Dirinya merasa harus mengambil langkah yang paling logis dan paling sedikit melukai perasaan seluruh anggota keluarga.

Untuk itulah Gunung bersiap. Hari ini Gunung sengaja pulang lebih awal. Tentu saja demi menenangkan istrinya dan memutuskan tindakan yang diperlukan secara dewasa, bijaksana dan segera. Sebelum keputusan diambil, ia harus mengajak istrinya berunding dengan kepala dingin. Bukan hal yang mudah tapi harus mereka lakukan. Demi kestabilan keluarga ini. Demi anak-anak yang punya kesempatan menata masa depan.

"Bu, sudah, to. Mbok ya lila legawa. Kalau diteruskan begini nanti Ibu jatuh sakit, lo!" Gunung membujuk istrinya. Istrinya masih di tempat tidur, duduk. Separuh badannya ke bawah masih berbalut selimut. Berlembar-lembar foto lama ada dalam genggaman Ayu.

"Gara-gara foto-foto ini keluarga kita terancam hancur! Hiih! Kesal aku, Pak!"

"Hancur gimana? Keluarga kita baik-baik saja, kok," kilah Gunung. Rupanya emosi istrinya masih belum surut benar.

"Iya, tapi kalau sampai anak-anak tahu, ada diantara mereka yang bukan anak kandung kita, bisa hancur keluarga ini, Pak!"

Gunung mengelus bahu istrinya. "Itu ketakutan Ibu saja. Semua bisa dijelaskan, kok."

Bukannya lebih tenang, Ayu malah membalas dengan nada tinggi berapi-api. "Oke, Pak. Oke! Bisa dijelaskan. Tapi setelahnya, apa Bapak bisa menjamin perasaan anak-anak kita akan baik-baik saja? Pernah nggak Bapak berpikir mereka akan terluka setelah mengetahui kebenaran dari peristiwa masa lalu mereka?" Sedetik kemudian nada bicara Ayu berubah sedih. "Ibu nggak bisa, Pak, melihat anak-anak terluka!"

Gunung duduk merapat, makin mendekati istrinya. Lengannya merangkul bahu Ayu. "Bu, kenapa jadi kalut dengan segala ketakutan dan pemikiran Ibu yang negatif? Merasa terluka itu wajar, apalagi setelah tahu ada hal tidak menyenangkan pernah terjadi dalam hidup. Namanya saja manusia. Ndak apa-apa, Bu."

Air mata Ayu menetes. "Nggak bisa, Pak. Ibu belum siap. Ibu takut kehilangan mereka. Susah payah kita melindungi dan membesarkan mereka. Bertahun-tahun kita curahkan seluruh cinta untuk anak-anak, demi kebahagiaan mereka. Perjuangan kita menjadi orang tua sudah sejauh ini, lo, Pak. Apa ya Bapak bisa bertahan kalau salah satu saja dari mereka pergi meninggalkan kita? Hanya karena rahasia busuk yang ... hashhh!"

Melihat istrinya kalut, Gunung memeluknya. "Bu, sudah. Tenang. Ibu tidak perlu panik begini. Ibu ingat, tidak? Dulu sekali, Bapak dan Ibu pernah saling berjanji, akan menceritakan semuanya kepada anak-anak jika dirasa waktunya sudah tepat. Nahh, ingat nggak? Kita memang sudah janji suatu saat akan cerita. Toh mereka juga perlu tahu. Bahkan mereka berhak tahu. Tinggal bagaimana cara kita menyampaikan semuanya."

"Tapi, Pak... bagaimana kalau anak-anak marah atau kecewa dengan kita, lalu pergi dari kita? Ibu nggak mau seperti itu, Pak. Mereka semua sudah jadi anak-anak kita. Ibu nggak mau pisah dari mereka."

Gunung memahami perasaan istrinya. Jauh di lubuk hati, dia pun punya ketakutan yang sama. Namun, daripada lari, ia memilih menghadapinya. Maka, sekali lagi ia coba meyakinkan istrinya. "Percaya sama Bapak, itu tidak akan terjadi. Terluka atau marah dan kecewa itu mungkin. Sangat mungkin. Tapi kalau sampai berbalik dan pergi dari kita, Bapak yakin, tidak mungkin terjadi."

Ayu mulai menangis sesenggukan, menyerah pada sikap sabar suaminya lalu menenangkan dirinya sendiri. Saat itulah Gunung tahu, kemarahan istrinya telah surut. Setelah ini mereka bisa mulai berunding. Masih ada hal-hal yang perlu ditindaklanjuti bersama, wujud tanggung jawab mereka sebagai orang tua.

...*...

Sore baru saja dimulai. Rani yang sempat tertidur pulas meski tak lebih dari setengah jam kini bangun dengan bahagia. Padatnya jadwal sekolah, les, dan kegiatan lain membuat tidur siang adalah kebahagiaan tiada tara untuknya.

Di luar kamar Rani masih juga menggeliat puas. "Uwadehh! Enak banget. Lumayan bisa bobok sebentar. Ahh, gangguin Budhe asyik kali ya? Hahah, cari Budhe, ahh. Tapi... kok... sepi banget? Budhe? Ibu? Mbak Nuri? Halooo? Apa aku ditinggal sendirian pas lagi tidur siang, ya?"

Dari arah ruang tengah Rani melihat Budhe Sur yang berjalan kerepotan dengan kardus besar dan tumpukan tinggi album-album foto.

Langkah Budhe Sur terhuyung maju, mundur, ke kiri dan ke kanan, seperti orang mabuk yang nyaris jatuh. "E-e-eh, berat-berat! Aduh-duh-duh!"

Tanpa diminta, Rani pun bergegas mendekat. "Eehh, Budhe, Budhe! Sini aku bantuin!"

Dari balik tumpukan terdengar Budhe Sur yang kaget. Jawabnya cepat dengan terbata-bata, "Eh, n-ndak usah, Mbak! Ndak usah!"

"Budhe kerepotan begitu, kok. Sini aku bantuin, Budhe," kata Rani. Dengan cekatan ia mengambil beberapa album foto yang ditumpuk di atas kardus yang dibawa Budhe Sur. Menyadari tindakan Rani, Budhe Sur malah berbalik menghindar.

"Ndak usah, Mbak. Ini sampah. Kotor. Budhe aja! Bisa kok, bisa! E-eh!"

"Tuh-tuh, mau jatuh, 'kan? Nggak apa-apa, Budhe. Udah, sini aku bantuin!" Rani semakin sigap mengambil lebih banyak album. Budhe semakin panik dan langkahnya makin tak menentu. Alhasil...

BRAK! Terseraklah isi kardus dan album-album foto di lantai.

"Lah, jatuh beneran, 'kan? Coba tadi Budhe membiarkan Rani membantu. 'Kan nggak jatuh berantakan. Lho? Budhe, ini bukannya album-album foto yang kemarin kita beresin? Ini..., ini foto-foto yang udah dipilihkan untuk dipajang di sepanjang tembok gudang buat galeri mini. Kenapa disatukan dengan sampah?"

Ditanya begitu Budhe semakin nampak takut dan panik. "A-anu, Mbak, kata Ibu debu. Foto-fotonya sudah jelek dan berjamur. Dibuang saja, gitu, kata Ibu. E-oh-e.., biar Budhe bawa semuanya. Sudah ya, Mbak, mau bakar sampah."

Budhe Suryani kembali menumpuk album-album foto itu secara sembarang. Ia membawanya pergi menjauh dari Rani secepat yang ia bisa. Tinggallah Rani, mencoba mencerna kata-kata yang didengarnya.

Rani termenung sesaat. 'Hah, itu juga mau dibakar?' Langsung ia tersadar. "E-ehh Budhe, tunggu! Budhe!"

...*...

1
Sabina Pristisari
yang bikin penasaran datang juga....
Rianti Marena: ya ampun.. makasih lo, udah ngikutin..
total 1 replies
Sabina Pristisari
Bagus... dibalik dinamika cerita yang alurnya maju mundur, kita juga bisa belajar nilai moral dari cerita nya.
Sabina Pristisari: sama-sama... terus menulis cerita yang dapat menjadi tuntunan tidak hanya hiburan ya kak...
Rianti Marena: makasih yaa..
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!