Dara

Dara baru saja sampai dirumah. Hari ini ia cukup lelah dengan semua pekerjaannya.

"Baru pulang?" tanya Papa Axel yang sedang duduk di ruang tamu

"Iya, Pa. Papa belum tidur? Menungguku?" tebak Dara

Papa Axel mengangguk, "Mandilah dan bersihkan dirimu dulu. Papa buatkan mie instan plus telur dan sayuran mau?"

Dara mengangguk antusias, "Papa memang terbaik! Tunggu aku di gazebo belakang. Aku tidak akan lama"

Papa Axel tersenyum melihat putri semata wayangnya. Tidak terasa, usia Dara sudah hampir dua puluh empat tahun. Rasanya, baru kemarin putrinya itu lahir.

"Papa hanya bisa berdoa untuk kebahagian kamu, Sayang. Sisanya Papa serahkan sama Allah. Karena sebaik - baiknya rencana manusia, rencana-Nya lah yang paling baik"

Papa Axel menuju dapur, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Mama Raya sudah tidur karena mengeluh lelah usai datang arisan.

Dengan telaten, pria paruh baya itu membuat dua mangkok mie kuah instan lengkap dengan telur, sosis dan sayuran. Memang jarang, namun sesekali mereka menikmatinya saat waktu senggang.

Usai matang, Papa Axel membawa dua mangkuk plus dua gelas air putih ke gazebo belakang. Malam ini cuaca begitu cerah, bintang - bintang terlihat benderang dilangit

"Papa sudah menunggu lama?" Dara baru saja datang. Gadis itu memakai piama tidur dengan wajah yang terlihat jauh lebih segar dibanding tadi

"Baru saja. Ayo makan dulu, keburu mie nya ngembang"

Dara duduk dengan antusias, karena memang lapar, ia segera menyantap mie buatan Papanya.

"Masakan Papa memang top"

Papa Axel terkekeh, "Semua orang di dunia kalau cuma masak mie instan pasti bisa"

"Tapi kalau Papa yang masak, rasanya beda"

Keduanya tertawa kecil sembari menikmati malam ditemani semangkuk mie hangat. Tak sampai setengah jam, keduanya sama - sama selesai menyantap makan malam mereka. Tidak sehat sebenarnya makan di jam segini, apalagi makan mie instan. Namun momen seperti ini sudah jarang terjadi antara keduanya.

"Bagaimana pekerjaanmu?"

"Semuanya lancar"

Papa Axel tersenyum, "Ibra menemui Papa tadi siang"

"Benarkah?" tanya Dara biasa saja. Jika dulu saat masih menjadi kekasih, Dara pasti terlihat sangat antusias. Tapi sekarang tidak lagi

"Iya" Papa Axel menatap Dara lembut, "Papa tidak menutupi apapun darinya. Papa rasa, sudah saatnya melepaskan Seruni. Mau di pertahankan seperti apapun, pada kenyataannya perusahaan itu memang sudah bobrok dari dalam. Ibra bahkan baru tahu belakangan jika karyawannya melakukan korupsi. Sungguh miris"

Dara terkekeh, "Mungkin banyak yang dia pikirkan"

"Apapun itu, kenyataannya Seruni Grub sudah tidak bisa bertahan lagi. Mereka sudah bangkrut dan itu tidak bisa ditutupi lebih lama lagi"

Dara terdiam sejenak

Papa Axel menatap putrinya, "Kamu ... Masih memiliki perasaan padanya?" tanyanya hati - hati

Dara menggeleng, "Tidak, Pa. Tidak ada lagi perasaan itu. Sejak Ibra mencampakkan aku, semuanya hilang begitu saja"

"Papa tidak bisa melarang jika seandainya perasaan itu masih tertinggal walau sedikit saja. Tapi, jika boleh Papa meminta, cobalah membuka hati untuk pria lain. Tidak semua pria seperti Ibra"

Dara tersenyum, dia bersandar di bahu sang Papa, "Aku ingin. Tapi entah kenapa rasa takut masih sering menghantui"

"Itu karena kamu belum sepenuhnya ikhlas. Memang tidak mudah, tapi percayalah kamu akan mendapatkan pria lain yang jauh lebih baik jika kamu mau mencoba"

"Menurut Papa begitu?"

Papa Axel mengangguk, "Papa yakin, sebentar lagi dia akan datang"

Dara tertawa, "Papa kayak peramal aja"

"Hanya feeling seorang Ayah" Papa Axel terkekeh, "Sudah malam, sebaiknya kamu istirahat. Mimpi indah, Sayang"

"Papa juga"

🌿🌿🌿

"Pak, maaf. Sudah pagi" ucap asisten Ibra, "Bapak tidur di kantor?"

Ibra mengangguk kemudian bangun dari duduknya, "Iya. Terima kasih sudah membangunkan aku"

"Mau saya buatkan kopi?"

"Boleh"

Usai asistennya pergi, Ibra menghela nafas. Setelah pertengkarannya dengan Cantika semalam, Ibra memutuskan pergi ke kantor. Walau tidak nyaman, tapi hanya kantor satu - satunya tempat untuknya bisa beristirahat.

Ibra masuk kedalam kamar mandi diruangannya. Ia membersihkan diri dengan mengguyur tubuhnya di bawah shower.

Ingatannya kembali pada kejadian semalam, dimana ia dan Cantika bertengkar hebat.

"Kalau kau tetap pergi, maka pernikahan kita akan berakhir saat ini juga!"

Cantika tertawa, "Kalian lihat, dia bahkan ingin menceraikan aku demi wanita itu"

"Itu tidak benar! Semua tidak ada hubungannya dengan siapapun! Seharusnya kamu berkaca! Kamu instropeksi diri! Apakah kamu sudah menjadi istri yang baik? Kamu hanya menuntut tanpa melakukan kewajiban kamu sebagai istri! Aku muak Cantika! Jujur aku lelah!"

Cantika termenung, apa yang dikatakan suaminya mungkin benar, selamanya ini dirinya selalu menuntut ini itu tanpa memikirkan perasaan Ibra. Bahkan suaminya itu tak pernah meminta apapun padanya.

"Aku pusing! Jadi tolong jangan membuatku semakin pusing. Aku akan tidur dikantor, kalau kau tidak percaya, minta orang untuk mengawasiku!"

Ceklek

"Sepertinya rumah bukan tempat ternyaman bagimu untuk pulang, Tuan Ibra"

"D-dara?"