Karena sebuah wasiat, Raya harus belajar untuk menerima sosok baru dalam hidupnya. Dia sempat diabaikan, ditolak, hingga akhirnya dicintai. Sayangnya, cinta itu hadir bersama dengan sebuah pengkhianatan.
Siapakah orang yang berkhianat itu? dan apakah Raya akan tetap bertahan?
Simak kisah lengkapnya di novel ini ya, selamat membaca :)
Note: SEDANG DALAM TAHAP REVISI ya guys. Jadi mohon maaf nih kalau typo masih bertebaran. Tetap semangat membaca novel ini sampai selesai. Jangan lupa tinggalkan dukungan dan komentar positif kamu biar aku semakin semangat menulis, terima kasih :)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sandyakala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Keluarga Hadinata
"Terima kasih banyak, Pak", ucap Raya sebelum ia turun dari mobil.
"Sama-sama, Non" jawab Pak Seno yang setiap hari bertugas mengantar dan menjemput Raya dari toko pastry miliknya.
Raya menarik nafas dalam sebelum dia masuk ke rumah. Hari ini aktivitas di toko lebih ramai dari biasanya, belum lagi dirinya harus bertemu dengan beberapa klien tokonya untuk memenuhi pesanan.
"Hallo sayang, kejutan ...", sapa seseorang sebelum Raya sempat membuka pintu.
"Lho, Mama Laura", seru Raya terkejut. Dia tidak tahu jika Mama mertuanya ada di rumah.
Mama Laura segera memeluk Raya dengan wajah yang sumringah dan Raya membalas pelukan itu lalu mencium tangan mertuanya.
"Mama kapan tiba di sini? kenapa aku tidak tahu?", tanya Raya penasaran.
Mama Laura tersenyum, "Baru dua jam yang lalu Mama dan Papa sampai sini. Kita sengaja gak kasih kabar biar jadi kejutan".
Raya tersenyum, "Tapi kan aku jadi tidak bisa menyambut kedatangan Papa dan Mama".
"Tak apa, sayang. Mama tahu kamu lagi sibuk dengan usaha pastry kamu itu kan, tadi Mbok Nah yang cerita", terang Mama Laura sebelum Raya bertanya dari mana Mama mertuanya tahu aktivitasnya saat ini.
"Iya, Ma. Sudah tiga bulan ini aku menjalankan usaha dan ya, aku bersyukur usaha yang aku jalankan mulai berkembang", terang Raya.
"Mama bangga sama kamu. Ayo kita masuk, Mama mau ngobrol banyak sama kamu", Mama Laura merangkul tangan menantunya itu.
Raya menganggukkan kepalanya. Meski sudah cukup lama ia tidak bertemu dengan kedua mertuanya, tapi Raya memiliki kedekatan yang baik dengan mereka. Hal ini terjadi karena dulu, sebelum ia menikah dengan Ezra, Mama Laura dan Papa Hadinata sering sekali berkunjung ke rumah kedua orang tua Raya dan mereka sering mengajak Raya untuk berbincang-bincang.
"Pa, ini menantunya sudah pulang", panggil Mama Laura pada suaminya.
Tak lama, Papa Hadinata keluar dari area ruang keluarga. Dia tersenyum sumringah melihat kedatangan Raya.
"Hallo, Pa. Apa kabar?", tanya Raya setelah ia mencium tangan Papa mertuanya.
"Kabar Papa baik, kamu sendiri bagaimana?", tanya Papa Hadinata.
"Baik, Pa".
"Syukurlah kalau begitu. Kamu pasti terkejut ya dengan kedatangan kami".
Raya tersenyum dan menganggukkan kepala.
"Sayang, kalau kamu capek, kamu istirahat dulu sana. Jangan pikirkan keberadaan Papa dan Mama, ya", saran Mama Laura yang bisa membaca raut lelah di wajah Raya.
"Iya, Ma. Kalau begitu, Raya izin ke atas dulu ya Pa, Ma. Kalau butuh sesuatu, Papa dan Mama bisa panggil Raya", ucap Raya seraya berpamitan.
Mama Laura dan Papa Hadinata menganggukkan kepalanya, mereka membiarkan menantunya itu naik ke lantai atas.
"Kapan Ezra pulang, Ma? Papa harus secepatnya berbicara dengan dia", ucap Papa Hadinata dengan ekspresi serius.
"Tadi Mama sudah menghubungi Ezra, Pa. Dia bilang akan segera pulang sebentar lagi. Apa Papa yakin dengan keputusan ini? Mama kok rasanya gak tega ya sama Raya", wajah Mama Laura berubah sendu.
"Kita tidak punya pilihan lain, Ma. Keluarga kita sudah berhutang banyak pada keluarga Wiratama", Papa Hadinata menghembuskan nafas berat.
"Iya, Pa. Tapi kan sekarang kondisinya lain Kalau dengan keluarga Raya. Selama ini Mama pikir hubungan kita dengan keluarga Wiratama tak lebih dari sekedar rekan bisnis saja", ucap Mama Laura tak setuju dengan ucapan Sang suami.
Papa Hadinata memilih untuk duduk, sesekali ia memijat dahinya, seolah ada beban pikiran yang berat di sana.
"Ya mau bagaimana lagi, Ma. Jika bukan karena bantuan keluarga Wiratama, perusahaan kita sudah habis sejak lama. Bisnis kita bisa berkembang dengan baik di luar negeri juga karena bantuan mereka".
Mama Laura tidak ingin menanggapi lagi ucapan suaminya. Sebelum mereka pulang, Mama Laura sudah mencoba membujuk Sang suami untuk mempertimbangkan ulang hal yang mungkin akan merusak hubungan keluarga yang saat ini tengah berjalan, bahkan merusak rumah tangga Ezra dan Raya.
Saat kedua orang tua itu tengah saling berpikir dalam diam, terdengar suara mobil di depan.
"Itu pasti Ezra, setelah dia istirahat, suruh dia temui Papa di ruang kerja ya, Ma", pesan Papa Hadinata sambil berlalu ke lantai atas.
Ezra masuk ke dalam rumah dengan wajah sumringah. Dia sudah sangat merindukan kedua orang tuanya.
"Mama ...", Ezra langsung memeluk Sang Mama yang sudah sejak tadi berdiri menyambut kedatangannya di pintu utama.
"Anakku sayang", peluk Mama Laura erat.
"Ezra senang Mama dan Papa pulang. Oh ya, Papa mana, Ma?", Ezra melihat ke sekeliling setelah ia melepas pelukannya dari Sang Mama.
Mama Laura tersenyum tipis, "Papa ada di ruang kerja, di lantai atas. Kamu istirahat dulu saja, nanti baru temui Papamu, ya", ucap Mama Laura sambil mengelus lembut bahu putranya.
Ezra menganggukkan kepala. Ia kemudian pamit berlalu menuju kamarnya.
"Sudah pulang, Mas. Maaf, aku tidak menyambut kepulanganmu", Raya baru saja selesai mematut dirinya di depan cermin.
"Tak apa, sayang. Kamu sudah bertemu dengan Papa dan Mama?", tanya Ezra.
"Sudah, Mas. Sebentar lagi aku akan turun untuk menyiapkan jamuan mereka".
Ezra menghampiri istrinya, lalu mengecup pucuk kepala istrinya dengan lembut, "Tak apa, jangan terlalu lelah. Biar Mbok Nah yang mengerjakan semuanya. Kamu pasti baru pulang dari toko juga kan, aku tidak mau kamu terlalu kelelahan, sayang".
Ada perasaan damai di hati Raya. Suaminya benar-benar sangat memerhatikan dirinya. Sungguh, sosok Ezra saat ini sangat berbeda dengan dirinya beberapa bulan yang lalu.
"Aku tidak lelah kok, Mas", jawab Raya lembut.
"Jangan menunggu kamu lelah. Aku mengizinkanmu membuka usaha, bukan berarti kamu memporsir dirimu sendiri, sayang. Urusan pekerjaan rumah atau apapun yang berkaitan dengan Papa dan Mama, biar dikerjakan oleh orang lain. Aku hanya ingin kamu bahagia dengan aktivitasmu dan tentu saja, selalu memprioritaskan aku", Ezra kini setengah berjongkok di samping Sang istri.
Ada rona merah di wajah Raya. Entah kenapa, sampai detik ini Raya selalu saja merasa malu sekaligus tersentuh dengan semua perlakuan suaminya itu.
"Ya sudah, aku mau membersihkan diri dulu ya. Nanti kita keluar sama-sama", lanjut Ezra lagi. Ia bergegas masuk ke kamar mandi.
Raya memandang kepergian suaminya. Ia segera menuju lemari untuk menyiapkan pakaian ganti.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam saat Raya, Ezra, dan kedua orang tuanya duduk di meja makan untuk menikmati makan malam bersama.
"Sayang, apa selama ini anak Mama bersikap baik sama kamu?", tanya Mama Laura di sela-sela makan malam mereka.
"Ck, Mama kok nanyanya gitu sih. Ya pasti Ezra baik lah sama Raya. Iya kan, sayang?", Ezra menatap Raya yang duduk di sebelahnya.
Raya tersenyum manis, "Mas Ezra baik kok, Ma".
"Ah syukurlah kalau begitu. Sebetulnya Papa sama Mama sempat khawatir Ezra tidak memperlakukan kamu dengan baik. Tapi kalau memang ada hal buruk yang dia lakukan, kamu jangan sungkan bilang sama Mama, biar Mama jewer telinganya", Mama Laura menunjukkan jari-jarinya.
"Ish, Mama tega", ratap Ezra.
Mama Laura dan Raya tersenyum melihat ekspresi Ezra, sedangkan Papa Hadinata hanya menyimak saja keramaian di meja makan malam ini.
"Oh ya Ezra, nanti setelah makan malam selesai, Papa ingin bicara berdua sama kamu di ruang kerja".
"Iya, Pa", jawab Ezra pendek.
"Raya, apa kamu sudah ada tanda-tanda kehamilan?", tanya Papa Hadinata tanpa basa-basi.
Raya yang baru saja mengambil minum segera menenggak air di mulutnya dengan cepat.
"Belum, Pa", jawab Raya sambil sedikit menundukkan pandangannya.
"Papa, kenapa Papa bertanya seperti itu sih?", Mama Laura ikut merasa tidak nyaman dengan pertanyaan suaminya.
"Ya Papa hanya bertanya saja, Ma. Mereka kan sudah cukup lama menikah dan kita juga sudah lama tidak bertemu mereka. Siapa tahu ada hal-hal yang kita lewatkan", terang Papa Hadinata santai.
"Iya, tapi kan Papa tidak harus menanyakan hal seperti itu pada Raya. Kalau toh menantu kita hamil, kita juga pasti dikabari", Mama Laura protes.
"Maafkan Papa ya, sayang", Mama melirik ke arah Raya. Begitupun dengan Ezra yang kini ikut menatap istrinya.
Raya mencoba tersenyum, "Tak apa, Mas, Ma", jawab Raya.
Suasana di meja makan berubah menjadi senyap setelah adanya perdebatan kecil tadi.
Selepas makan malam, sesuai dengan yang sudah disepakati, Ezra dan Papa Hadinata menghabiskan waktunya di ruang kerja, sedangkan Mama Laura dan Raya memilih untuk menonton film bersama di ruang keluarga.
"Ezra, sebetulnya kedatangan Papa dan Mama kemari bukan tanpa alasan. Ada hal penting yang ingin Papa sampaikan sama kamu dan Papa harap kamu bisa menerima hal ini", Papa Hadinata langsung memasang mode serius di depan putranya.
Ezra belum merespon apapun, ia memilih untuk duduk menghadap Sang Papa.
"Kamu masih ingat dengan Om Ardi dan Sindy?", pertanyaan pertama terlontar dari mulut Papa Hadinata.
"Tentu, Pa. Kenapa?".
Papa Hadinata menarik nafas dalam. Ia tahu hal yang akan ia sampaikan ini akan sangat mengejutkan, bahkan bukan tidak mungkin Ezra akan menolaknya dengan keras.
semoga tidak ada lagi yang menghalangi kebahagiaan kalian
setelah aku ikuti...
tapi cerita nya bagus biar diawal emosian 🤣🤣🤣
semoga aja raya bisa Nerima anak kamu dan Sindi ya...
semangat buat jelaskan ke raya
aku penasaran kek mana reaksi Sindi dan papanya tau ya kebusukan anak nya
semoga tidak terpengaruh ya....
taunya Sindi sakit tapi kalau kejahatan ya harus di pertanggung jawaban