Siapa yang ingin bercerai? Bahkan jika hubungan pelik sekalipun seorang wanita akan berusaha mempertahankan rumah tangganya, terlebih ada bocah kecil lugu, polos dan tampan buah dari pernikahan mereka.
Namun, pada akhirnya dia menyerah, ia berhenti sebab beban berat terus bertumpu pada pundaknya.
Lepas adalah jalan terbaik meski harus mengorbankan sang anak.
Bekerja sebagai sekertaris CEO tampan, Elen tak pernah menyangka jika boss dingin yang lebih mirip kulkas berjalan itu adalah laki-laki yang menyelamatkan putranya.
laki-laki yang dimata Satria lebih pantas dipanggil superhero.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mimah e Gibran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 - LUMPUH
Aku seperti dewasa dan tidak dewasa dalam waktu yang sama.
Hanya tergantung bagaimana suasana hatiku dan dengan siapa aku~
Elen.
***
"Bagaimana kondisi pasien bernama Divine?" tanya Rafael saat sudah sampai di depan ruang rawat pasien dan melihat Divine terbaring dengan mata tertutup disana.
Sementara Morena, sang Ibunda juga dirawat dalam keadaan syok berat hingga ayah Divine hanya bisa terduduk lemas memikirkan dua orang yang paling ia sayangi.
"Masih belum sadarkan diri, Pak! Benturan di kepalanya tidak ada kondisi fatal. Namun, bagian kaki sepertinya bermasalah."
"Katakan pada dokter untuk melakukan perawatan terbaik untuk CEO kami, berapapun biayanya!" tegas Rafael.
Suster mengangguk.
Rafael mendekati ayahnya Divine lalu menepuk pelan pundak laki-laki paruh baya itu.
"Om yang sabar, ya? Rafael yakin Divine akan baik-baik saja."
"Hya, semoga!"
Semalaman Rafael berada di rumah sakit menjaga Divine. Ayah Divine bolak balik dua kamar karena bukan hanya istri yang harus ia jaga, akan tetapi anaknya juga.
"Bagaimana keadaanmu, Div?" tanya Rafael, kondisi Divine sudah sadar, tapi laki-laki itu lebih banyak diam.
"Div, kau marah padaku? Katakan! Dua puluh menit lagi aku ke kantor, kasian Elena."
"Pergi sana!" titahnya mengusir, masih dalam sikap yang dingin.
"Kau marah karena Elen pulang bersamaku? Katakan saja!" Rafael tak menyerah, ia duduk di samping Divine dan berharap laki-laki itu tak lagi bersikap childish.
"Marah? Ck! Untuk apa? Kalau kau berfikir aku cemburu, itu salah. Aku sama sekali tak perduli apapun tentang kalian!" tegas Divine, ia masih enggan menatap Rafael.
"Waw, tapi secara tidak langsung kau mengakuinya bukan? Dengar! Aku bahkan tidak bilang kau cemburu. Karena kau tak perduli, aku akan ke kantor sekarang. Menikmati waktuku dengan Elena walau hanya sekedar mengurus perusahaanmu bersama."
"Kau!!!" Desis Divine semakin kesal.
"Bawa aku ke kantor sekarang!" titahnya, mencoba bangkit.
Namun, tubuhnya lemah. Bahkan kakinya sulit untuk digerakan.
"Fa, kakiku kenapa?" paniknya.
"Kenapa? Sebentar aku panggil dokter." Rafael keluar mencari dokter, sedang Wijaya masuk untuk melihat sang putra.
"Div," panggilnya lesu.
"Ayah? Bunda mana?" tanya Divine.
Wijaya diam, menatap iba sang putra tunggal kebanggaannya.
"Div, tenangkan dirimu. Bunda hanya dalam keadaan syok, tapi ini masalah tentangmu, tentang kakimu..." Wijaya menunduk, ia tak sanggup mengutarakan hal yang akan menghancurkan hati Divine.
"Kaki..." Divine terdiam, menatap kakinya yang tertutup selimut.
Masih utuh, hanya sebelah kiri sulit sekali untuk digerakan. Sedari tadi, ia sudah sangat kesusahan mencobanya.
Belum sempat Wijaya berkata, Rafael datang bersama dokter. Dengan gesit, pria berjass putih itu memeriksa keadaan Divine. Wajahnya yang serius membuat siapapun akan panik.
"Maaf, kaki anda mengalami lumpuh sementara! Butuh waktu lama untuk melakukan terapi," ujar sang dokter.
Bak disambar petir, Divine dan Rafael terkejut mendengarnya. Namun, tidak dengan Wijaya, ia tahu jikalau Divine kondisi kakinya ada masalah, akan tetapi untuk mengatakannya ia sampai tak sanggup.
"Div," panggil Wijaya.
"Aku ingin sendiri, Ayah!" ujarnya dengan tatapan mata kosong.
Wijaya mengangguk, sebagai seorang ayah hatinya juga hancur, ia keluar dengan menahan tangis di sudut matanya.
"Div, sabarlah sebentar. Ini hanya masalah waktu, kamu pasti akan pulih. Aku akan ke kantor, kau ada pesan untuk Elen?" tanya Rafael. Ia sedikit mengendurkan ego untuk Divine.
"Pergi saja, aku tak perduli." Divine menjawab tanpa melihat Rafael.
***
Suasana Wijaya Group begitu sepi, Elen berulang kali melihat jam di dinding. Menatap kursi CEO yang kosong melompong dengan perasaan cemas. Terlebih sudah lewat jam mulai kerja dan Rafael juga belum menampakkan batang hidungnya.
"Setelah kejadian kemarin, mereka kenapa?" batin Elen bertanya-tanya.
"Len..." panggil Rafael di luar.
Elen bergegas bangkit, " baru datang? Aku sampai bingung karena rapat sebentar lagi."
"Gawat, aku lupa ada rapat hari ini," gumam Rafael, menoleh ke Elen.
"Dokumen siap?"
Elen mengangguk, keduanya berjalan tergesa ke aula rapat. Lagi Elen tertegun saat melihat jam seolah terus berputar dan ia tak menemukan keberadaan Divine. Kemana pria itu?
Pikirannya sama sekali tak fokus, sampai istirahat tiba dan Rafael mengajaknya makan siang, Elen masih seperti orang linglung.
"Makan gih, cafee ini terkenal dengan makanan khas jepangnya," ujar Rafael.
Elena mengangguk, ia hanya mengerti beberapa jenis makanan jepang, dan itupun ia tak tahu seperti apa rasanya.
"Makasih ya, udah bantu banyak banget!"
"Sama-sama, kita kan teman!" ujar Rafael, ia melihat ke arah lain. Entah, rasa-rasanya hatinya sedikit ngilu menyematkan kata teman untuk hubungannya dengan Elen.
"Kau benar, dan aku sangat senang menjadi temanmu. Ngomong-ngomong, dimana boss yang paling menyebalkan itu?" tanya Elen seraya mengunyah makanan.
"Divine?"
Elen mengangguk, "tentu saja, emang ada boss yang lain?"
"Divine kecelakaan, kemarin pas dia pulang kerja."
Elen terkejut, "serius? Terus gimana keadaannya?" tanya Elen.
"Lumpuh."
Elen menutup bibirnya tak percaya, akan tetapi sepertinya Rafael tak berbohong. Apa penyebabnya adalah hal sepele kemarin? Penolakannya? Seketika Elen menggeleng pelan.
"Ikutlah ke rumah sakit dan lihat keadaannya. Dia mungkin menaruh hati padamu, hanya terlalu tinggi gengsi untuk mengakui."
"Aku harus menjemput Satria," elak Elen.
"Ya, tapi bisakah sebelumnya ke rumah sakit dulu?"
Elen pasrah, ia akhirnya mengangguk sebagai jawaban.
***
Pulang kerja, ia bersama Rafael menuju rumah sakit. Langkah Elen gugup, ini seperti tak biasanya. kenapa sekarang ia nampak aneh hanya karena mau menjengguk sang boss?
"Div, ada Elen." Rafael masuk lebih dulu.
Divine tak menjawab, ia memilih asik menatap ke jendela dan mengabaikan Rafael.
"Pak Divine," panggil Elen.
"Hm, mau apa kesini?"
"Saya... Saya... Saya dengar bapak kecelakaan jadi saya berinisiatif ikut Rafael kesini menjenguk." Elen kikuk, laki-laki di hadapannya luar biasa dingin.
Bahkan sejak Elen datang, Divine sama sekali tak menoleh ke arahnya.
"Jika sudah puas melihat keadaanku, pulanglah!"
RAHIM ELEN JUGA SUBUR....