Davina memergoki pacarnya bercinta dengan sahabatnya. Untuk membalas dendam, Davina sengaja berpakaian seksi dan pergi ke bar. Di sana dia bertemu dengan seorang Om tampan dan memintanya berpura-pura menjadi pacar barunya.
Awalnya Davina mengira tidak akan bertemu lagi dengan Om tersebut, tidak sangka dia malah menjadi pamannya!
Saat Davina menyadari hal ini, keduanya ternyata sudah saling jatuh cinta.Namun, Dave tidak pernah mau mengakui Davina sebagai pacarnya.
Hingga suatu hari Davina melihat seorang wanita cantik turun dari mobil Dave, dan fakta mengejutkan terkuak ternyata Dave sudah memiliki tunangan!
Jadi, selama ini Dave sengaja membohongi Davina atau ada hal lain yang disembunyikannya?
Davina dan Dave akhirnya membangun rumah tangga, tetapi beberapa hari setelah menikah, ayahnya menyuruh Davina untuk bercerai. Dia lebih memilih putrinya menjadi janda dari pada harus menjadi istri Dave?!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Dave dengan cekatan membersihkan darah di kaki Davina, setelah itu meneteskan obat dan memasang perban untuk menutupi goresannya.
Sementara itu, Davina terus diam, meluruskan pandang menerawang. Wajah sendunya menyiratkan kesedihan yang mendalam. Soroti matanya tak bisa di bohongi jika ada suatu hal besar di masa lalu hingga membuat Davina tiba-tiba histeris dan sedih setelah melihat darah.
"Ayo makan,, setelah ini saya antar kamu pulang." Ucap Dave. Dia sudah selesai membalut luka di kaki Davina.
Gadis itu menolak dengan gelengan kepal.
"Aku mau pergi saja." Davina meraih tas dan ponselnya, dengan hati-hati beranjak dari duduknya.
"Tolong antar aku ke bawah Om,," Pintanya. Nada bicara Davina masih terdengar sendu.
"Dasar keras kepala." Dave berdecak kesal. Tak mau semakin dibuat pusing oleh gadis itu, akhirnya Dave menuruti permintaan Davina dan mengantarnya ke basemen.
Sepanjang perjalanan hanya saling diam karna Davina terus melamun.
"Kamu yakin bisa menyetir.?" Tanya Dave. Nyatanya meski memiliki sikap dingin, kepeduliannya sangat tinggi pada orang lain. Dia mengkhawatirkan kondisi Davina yang terlihat tidak baik-baik saja. Tatapan matanya sering kali kosong, akan bahaya jika mengendarai mobil sendiri.
"Yang luka kaki ku Om, bukan tanganku." Davina menjawab lirih. Dia lalu membuka pintu mobil.
"Makasih banyak, maaf sudah merepotkan." Ucapnya sembari membungkukkan badan, setelah itu masuk ke dalam mobil.
Dia bergegas melajukan mobilnya menuju apartemennya.
...*****...
3 hari sejak kejadian malam itu, Davina tidak menampakkan dirinya di kampus. Dia berdiam diri di dalam kamarnya tanpa melakukan apapun dan enggan keluar. Pelayan sampai harus mengantarkan makanan ke kamar Davina, mulai dari sarapan sampai makan malam.
Sudah di bujuk berulang kali, tapi Davina tetap tak mau keluar dari kamarnya.
Namun hari ini dia mau keluar dari kamar tanpa harus di bujuk. Mungkin karna tau jika Papanya akan kembali ke rumah sore nanti.
Kepulangan sang Papa dari Singapura di sambut Davina dengan pelukan erat. Padahal Papanya baru saja keluar dari mobil.
"Papa kenapa lama sekali pulangnya,," Davina merengek setelah melepaskan pelukannya.
Edwin yang sudah biasa melihat tingkah manja putrinya, hanya mengulas senyum teduh sembari mengusap pucuk kepala putrinya.
"Pekerjaan Papa sangat banyak, sayang," Jawabnya. Davina mengangguk paham.
"Aku tau Papa sangat sibuk." Ujar Davina.
"Sore sayang,," Sapaan wanita paruh baya yang baru saja keluar dari mobil, membuat Davina menoleh.
"Tante Sandra,,?" Davina melongo melihat wanita yang belakangan ini sedang dekat dengan Papanya itu.
"Jadi kalian pergi berdua.? Jahat sekali aku nggak di ajak." Bibir Davina cemberut. Papanya sudah membohonginya. Dia bilang hanya pergi dengan asisten dan sekretarisnya, tapi ternyata pergi dengan Sandra.
"Tante nggak ikut sayang, cuma jemput Papa kamu ke bandara."
"Lagipula tante baru pulang dari New York tadi padi." Ujar Sandra menjelaskan.
"Kalau tante Sandra ikut, mana mungkin Papa nggak ajak kamu,," Tutur Edwin sembari merangkul pundak putrinya.
"Ayo masuk,,"
Ketiganya bergegas masuk ke dalam rumah. Kedekatan Davina dan Sandra terbilang cukup cepat. Padahal Edwin baru mengenalkan Sandra pada Davina 2 bulan yang lalu, mereka juga hanya beberapa kali bertemu lantaran kesibukan Sandra dan Edwin hingga tidak bisa mengatur jadwal untuk berkumpul bersama.
Edwin telah melalui proses yang panjang untuk mengenalkan wanita pada putrinya. Dia sangat hati-hati dalam hal itu lantaran takut membuat Davina tidak nyaman ataupun tidak setuju jika dirinya dekat dengan wanita.
Tapi sepertinya Davina sudah bisa mengerti dan paham jika sang Papa membutuhkan sosok wanita dalam hidupnya setelah bertahun-tahun hidup menduda.
...****...
Dave duduk di depan bar dengan segelas wine. Sudah 3 malam berturut-turut dia datang ke club ini dan tidak melihat keberadaan gadis yang terakhir kali sudah menyusahkannya itu.
Hal pertama yang dia lakukan saat masuk ke dalam club adalah mengitari seluruh sudut untuk mencari keberadaannya. Tapi gadis itu selalu tak ada di sana.
"Kau.!" Geram Arga yang tiba-tiba menghampiri Dave.
Dave menoleh, laki-laki berusia 32 tahun itu menyipitkan pandangan, memperhatikan wajah Arga dengan seksama sebelum akhirnya mengingat bocah itu.
"Kau apakan Davina.?! Terakhir kali dia bersamamu kan.?!"
"Udah 3 hari Davina nggak masuk kuliah.!" Bentak Arga. Sorot matanya menajam.
"Davina.?"
Gumam Dave dalam hati. Sekarang dia sudah tau nama gadis yang 3 hari ini telah membuatnya khawatir.
Karna pada pertemuannya malam itu, Dave sama sekali tak berfikir untuk mengingat namanya saat Arga dan Bianca menyebutkan nama Davina.
"Arga.!" Seru Bianca sembari menarik lengannya.
"Jadi kamu nyamperin dia karna khawatir sama Davina.?!" Bianca menatap geram. Dia cemburu karna Arga terlihat masih sangat peduli dengan Davina.
"Aku pikir kamu mau memperingati dia karna malam itu sudah mengancamku.!"
Dave mengukir senyum sinis pada sepasang kekasih itu. Geli sendiri melihat tingkah mereka yang sejak awal bertemu memang tak tau malu.
"Bukan begitu, aku cuma khawatir sama Davina. Kamu tau sendiri dia masih sangat polos, laki-laki ini pasti sudah macam-macam dengan Davina.!" Tuduh Arga geram.
"Kalian berdua menggelikan sekali.!" Sinis Dave.
"Kamu itu cuma mantan, tak perlu repot-repot mengkhawatirkan kekasihku. Davina baik-baik saja.!" Serunya tegas.
"Oh ya.? Kalau begitu coba kamu telfon dia.!" Tantang Arga.
"Sudah 3 hari ponselnya nggak bisa di hubungi." Tuturnya. Arga masih saja curiga pada Dave. Davina tak pernah menghilang sebelumnya. Selalu rajin datang ke kampus.
"Sial.!"
Umpat Dave dalam hati. Bagaimana mungkin dia bisa menghubungi Davina, bahkan nomor ponselnya saja tidak tau.
"Arga cukup.! Berhenti mengkhawatirkan bocah bodoh itu.!" Teriak Bianca kesal.
"Apa kau bilang.?!" Dave turun dari kursi, tangannya langsung mencengkram erat dagu Bianca.
"Berani sekali menghinanya.!"
"Apa peringatanku makan itu belum cukup membuatmu takut.?!" Suara berat dan dingin Dave mampu membuat Bianca ketakutan.
"Lepas.!" Arga menepis kasar tangan Dave.
"Kamu bahkan sangat kasar.! Bagaimana mungkin Davina akan baik-baik saja bersamamu.!"
Melihat perlakuan Dave dan cara bicaranya, Arga sangat yakin kalau Dave tipe laki-laki yang kasar dan kejam.
"Tak perlu menuduhku.! Kamu bahkan sudah mengkhianatinya dan bermain gila dengan wanita murahan ini.!" Dave menunjuk wajah Bianca.
"Penampilan bisa menipu, kamu justru lebih mengerikan dariku." Sindir Dave.
Arga mengepalkan kedua tangannya. Dia siap melayangkan tinjuan di wajah Dave, namun Bianca langsung menarik tangannya dan mengajaknya keluar dari club.
"Aku akan menghanjarmu kalau terjadi sesuatu pada Davina.!" Teriak Arga. Dave hanya mengukir senyum sinis dan membiarkan Arga pergi begitu saja.
"Kemana bocah itu.?" Gumamnya dengan rasa penasaran yang semakin besar. Dia tak menyangka setelah malam itu, Davina tidak muncul lagi di manapun.
"Sh-- iitt.!!" Umpat Dave.
"Kenapa aku harus mengkhawatirkan gadis bodoh itu." Ujarnya bingung. Dia tidak tau kenapa akhirnya jadi memikirkan Davina.
Mungkin karna dia yang terakhir kali bersama Davina, terlebih malam itu kondisi Davina tidak baik-baik saja.
Dave mengambil gelas miliknya, lalu meneguk habis minuman beralkohol itu.
Peduli apa pada gadis yang hanya bisa menyusahkannya. Pikir Dave.
Lagipula dia tidak ada hubungan apapun dengan Davina.