“Pastikan kau sembuh. Aku tidak menikahimu untuk jadi patung di rumah ini. Mulailah terapi. Atau…” Edward menunduk, berbisik di telinganya, “...aku pastikan kau tetap di kamar ini. Terikat. Tanpa busana. Menontonku bercinta dengan wanita lain di tempat tidur kita.”
Laras gemetar, tapi matanya tak lagi takut. “Kau memang sejak awal… tak lebih dari monster.”
Edward menyeringai. “Dan kau adalah istri dari monster itu.”
Laras tahu, Edward tidak pernah mencintainya. Tapi ia juga tahu, pria itu menyimpan rahasia yang lebih gelap dari amarahnya. Ia dinikahi bukan untuk dicintai, tapi untuk dihancurkan perlahan.
Dan yang lebih menyakitkan? Cinta sejatinya, Bayu, mungkin adalah korban dari semua ini.
Konflik, luka batin, dan rahasia yang akan terbuka satu per satu.
Siap masuk ke kisah pernikahan penuh luka, cinta, dan akhir yang tak terduga?
Yuk, baca sekarang: "Dinikahi Untuk Dibenci"!
(Happy ending. Dijamin!)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Hampir Goyah
Suara laras tercekat. Ia nyaris mengatakan semuanya, tapi ia tahu—jika ia jujur, Bayu tak akan pernah mau pergi.
"Pergilah, Bay... Kumohon. Temukan seseorang yang bisa mencintaimu sepenuh hati. Lupakan aku."
Bayu terdiam. Matanya menatap Laras, dalam. Ada luka, ada keraguan, tapi juga keteguhan yang menahan dirinya untuk tidak melangkah lebih jauh.
Ia menarik napas panjang, seolah berusaha menelan seluruh kepedihan dalam diam.
“Apa kau yakin... itu yang benar-benar kamu inginkan?" tanyanya pelan, suara itu nyaris pecah. “Tanyakan pada hatimu, Laras. Apa kau benar-benar tak mengingkari perasaanmu sendiri?”
Laras menunduk. Kata-kata itu seperti retakan kecil di dinding yang susah payah ia bangun.
Bayu masih menatapnya sejenak, seperti ingin menemukan harapan sekecil apa pun di mata Laras. Tapi Laras tak membalas tatapannya.
Akhirnya, Bayu berbalik. Langkahnya berat saat ia menuju mobil, lalu masuk dan menutup pintu tanpa sepatah kata pun.
Mobil itu melaju pelan, tapi tatapan Bayu dari balik kaca tetap mengarah padanya—seolah berkata: "Aku akan pergi... untuk sekarang."
Laras berdiri mematung di samping motornya. Ia tak sanggup lagi menahan air matanya. Butiran kristal bening itu jatuh satu per satu, membasahi pipinya yang dingin diterpa angin sore.
Begitu mobil Bayu menghilang dari pandangan, kakinya goyah. Tubuhnya lunglai, dan ia duduk di atas jok motornya dengan napas yang tersengal. Tangannya menggenggam bajunya sendiri, seolah mencoba menahan retak di dadanya yang nyaris pecah.
Ia biarkan air matanya mengalir deras, membiarkan tangisnya tumpah sejadi-jadinya di bawah langit yang mulai menggelap.
"Tidak... aku tak boleh goyah," batinnya bergetar. "Aku tak boleh egois. Bayu berhak bahagia. Ia pantas mendapatkan seseorang yang bisa memberinya cinta tanpa luka, tanpa beban."
Laras menunduk, menggigit bibirnya kuat-kuat untuk menahan isak yang nyaris meledak.
"Aku mencintainya... tapi cinta ini tak cukup. Tidak jika akhirnya hanya membuatnya menderita."
Petir mengguruh pelan di kejauhan, seolah semesta ikut mengerti luka yang tersembunyi dalam dadanya.
Laras tak sadar, beberapa meter dari tempatnya berhenti, sebuah mobil terparkir diam.
Dari balik kaca gelap, sepasang mata tajam mengamati semuanya.
Edward menggertakkan rahang, tangannya mengepal di atas setir. Wajahnya menegang saat melihat sosok Laras menangis sendirian. Tapi bukan itu yang membuat emosinya meluap.
Bayu.
Pria itu. Edward mengenalnya. Ia bukan sekadar pria biasa. Mantan pacar Laras yang sempat koma—dan sempat ingin ia pastikan tak bangun lagi.
Tapi pria itu berdiri di sana, keluar dari mobil mewah, mengenakan pakaian berkelas. Terlalu mencolok untuk dianggap sepele.
Dengan cepat Edward mengeluarkan ponselnya.
“Cari seseorang bernama Bayu,” ucapnya dingin. “Bawa data lengkapnya. Termasuk mobil hitam berplat B 1984 TRX. Segera.”
Ia mematikan panggilan, matanya tetap menatap Laras dari kejauhan. Rahangnya mengeras.
"Jadi kau masih mencari dia, Laras?"
Hati Edward diliputi amarah dan rasa tak rela. Ini bukan tentang cinta. Ini tentang harga diri. Tentang wanita yang telah sah menjadi istrinya... tapi masih menyimpan seseorang di hatinya.
Mobil Edward melaju perlahan, meninggalkan tempat itu tanpa suara. Tapi badai baru saja dimulai.
***
RUMAH EDWARD — MALAM HARI
Laras baru saja membuka pintu ketika suara dingin menyambutnya.
“Kau lupa kalau kau sudah menikah?”
Langkah Laras terhenti. Edward berdiri di depan tangga, lengan menyilang, tatapan tajam menusuk.
“Apa kau tidak punya malu, Laras? Menangis di jalanan untuk mantan pacarmu? Di depan umum, seolah kau bukan istri orang?”
Laras menggenggam tali tasnya erat, jantungnya berpacu. Tapi ia menegakkan kepala.
“Jadi kau mengikutiku?”
“Jawab pertanyaanku,” suara Edward meninggi. “Apa kau pikir aku akan diam melihat istriku bertingkah murahan di jalan seperti itu?”
Laras mengangkat dagu, walau dalam hati ia gemetar. “Murahan? Karena aku bertemu seseorang dari masa laluku? Atau karena kau takut dia lebih berarti daripada kau di hidupku?”
Tatapan Edward membara.
“Jangan mencoba membalikkan keadaan.” Ia melangkah maju, menyempitkan jarak di antara mereka. “Aku memperingatkanmu, Laras. Kalau kau berani mempermalukanku, aku tidak akan segan—menyingkirkan dia dari hidupmu. Untuk selamanya.”
Laras tersentak. Napasnya tercekat. Tapi ia cepat menguasai diri, menahan isak yang hampir pecah.
“Apa kau… cemburu, Edward?” senyumnya tipis, nyaris mengejek. “Aku kira kau iblis yang tak punya hati. Ternyata kau juga bisa merasakan emosi seperti manusia?”
Edward terdiam. Untuk sesaat, sorot matanya berubah—ragu, terguncang. Ia tak pernah dipancing sejauh ini. Tak pernah merasa emosinya sedalam ini karena wanita manapun.
Tapi ia menepis semua keraguan.
“Jangan terlalu percaya diri.” Suaranya berubah sinis. “Tak ada wanita di dunia ini yang bisa membuatku jatuh cinta. Termasuk kau.” Ia mendekat, menatap Laras seperti hendak menghancurkannya.
“Kau pikir aku menikahimu karena cinta? Tidak, Laras. Aku menikahimu untuk menaklukkanmu. Untuk menghancurkan harga dirimu, seperti kau pernah mempermalukanku di depan umum. Apa kau pikir aku bodoh? Menikahi wanita yang tak sempurna?”
Laras menahan napas.
“Vaginismus. Ehlers-Danlos. Gen cacat. Apa mantanmu itu akan tetap mencintaimu kalau tahu kamu barang cacat?”
Kalimat itu seperti cambuk. Mengerikan. Mengoyak. Menampar Laras lebih keras dari apa pun yang pernah ia rasakan. Tapi ia tetap berdiri. Meski hatinya nyaris hancur.
KAMAR LARAS
Pintu tertutup pelan. Laras bersandar sesaat di belakangnya, mencoba menarik napas. Tapi tak ada oksigen yang cukup untuk menyelamatkan dadanya yang sesak.
Langkahnya gemetar menuju ranjang. Begitu kakinya menyentuh ujung kasur, tubuhnya runtuh. Ia jatuh terduduk, lutut ditarik ke dada, tangan memeluk tubuh sendiri.
Tubuhnya menggigil. Bukan karena dingin. Tapi karena… semua luka yang selama ini ia tahan kini mencair dalam keheningan.
Air mata mengalir diam-diam. Bahunya bergetar.
Dalam pikirannya, satu suara menggaung:
"Untuk siapa sebenarnya aku hidup?"
Untuk keluarga? Keluarga yang hanya ingat padanya ketika mereka membutuhkan uang? Yang bahkan menjual perasaannya demi menyelamatkan diri mereka sendiri?
Atau untuk Bayu?
Pria yang ia cintai… tapi tak bisa ia miliki. Pria yang pantas bahagia—meski bukan dengannya.
“Sebesar itu hatiku, Bayu… mengikhlaskan kau bahagia, meski bukan dengan aku.” bisiknya nyaris tanpa suara, tapi hati kecilnya berteriak.
Sementara dirinya?
Terjebak.
Menikah dengan pria yang tak ia cintai. Bahkan ia benci.
Pria yang hanya ingin memilikinya untuk membalas dendam. Yang tadi baru saja menginjak harga dirinya seakan ia tak lebih dari barang cacat.
Laras memeluk tubuhnya lebih erat. Ia mencoba menahan suara isaknya. Tak ingin terdengar lemah. Tak ingin Edward tahu ia menangis. Tapi air matanya terus tumpah, tak bisa dihentikan.
KAMAR EDWARD — SAAT YANG SAMA
Cahaya temaram. Sepi.
Edward menuang anggur merah ke dalam gelas kristal. Tangannya bergetar sedikit. Ia menenggak isinya dalam sekali teguk.
Tapi anggur itu tak bisa memadamkan api di dadanya.
Bayangan Laras yang menangisi pria lain terus bermain di kepalanya. Bayu. Pria yang seharusnya sudah mati.
"Kenapa aku marah?" gumamnya pelan, hampir tak terdengar. Ia menatap refleksi dirinya di kaca jendela, tapi yang ia lihat adalah… luka.
"Kenapa aku peduli?" suaranya naik.
"Aku nggak peduli!" bentaknya, lebih keras. Ia melempar gelas itu ke dinding. Gelas hancur berkeping. Anggur merah menciprat seperti darah di tembok putih.
Edward mencengkeram rambutnya. Frustrasi.
Ia berjalan maju mundur. Napas memburu. Tertekan.
“Aku nggak mungkin suka dia. Nggak mungkin!”
Tangannya mengusap wajah dengan kasar, seolah ingin menghapus jejak emosi yang tak ia akui.
“Dia cuma wanita… cuma wanita yang pernah mempermalukanku. Wanita cacat. Yang seharusnya aku hancurkan, bukan…”
Ia terdiam. Gertakan giginya terdengar.
Lalu berteriak. Menyumpah. Menendang meja kecil, membuat lampu tidur jatuh ke lantai.
Tapi tak ada yang mendengar.
Karena kamar itu kedap suara.
Hanya Edward sendiri. Dengan amarah. Dengan… perasaan yang tak ia kenali.
...🍁💦🍁...
.
To be continued
aku berharap petugas RS yg diancam sherin akan menolong laras secara diam" memberikan hasil tes kesehatan yg asli karena gak tahan melihat kegaduhan yg terjadi tidak ada habisnya terutama kasihan pada laras ternyata sherin gunakan hasil tes palsu itu untuk berbuat jahat lebih jauh ..semoga penyamaran edward juga terungkap bukankah dia adalah edwin yg OP kabur dari tanggung jawab bayu & mengincar laras dia pikir bakal menang tp dia salah
Laras orang baik pasti akan ada orang yang menolongnya tanpa ia minta.
semangat lanjut kak sehat selalu 🤲
bagaimana bisa orang tuanya malah mendukung Sherin menjatuhkannya?
sherin kira akan hidup tenang kalau semua hasil dari merebut & memaksa, salah kamu sherin kamu akan hidup tersiksa seperti di neraka