Lima tahun cinta Shannara dan Sergio hancur karena penolakan lamaran dan kesalah pahaman fatal. Bertahun-tahun kemudian, takdir mempertemukan mereka kembali di atas kapal pesiar. Sebuah insiden tak terduga memaksa mereka berhubungan kembali. Masalahnya, Sergio kini sudah beristri, namun hatinya masih mencintai Shannara. Pertemuan di tengah laut lepas ini menguji batas janji pernikahan, cinta lama, dan dilema antara masa lalu dan kenyataan pahit.
Kisah tentang kesempatan kedua, cinta terlarang, dan perjuangan melawan takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RYN♉, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB : Harga dari Sebuah Ampunan
Nara menggelengkan kepala, air mata kembali membanjiri wajahnya yang sudah lelah. Ia menarik tangan Sergio yang masih memegang ponsel, memohon dengan tatapan mata yang memelas. "Tolong ... demi Tuhan, dengarkan aku. Aku mohon, jangan libatkan polisi."
Rasa kasihan yang terpendam, yang sempat ia rasakan saat mendengar isak tangis Risa, kini mengalir deras dan mengalahkan rasa sakitnya sendiri. Ia tidak bisa membiarkan anak yang tidak bersalah itu menanggung dosa keji orang tuanya.
"Aku mohon, jangan libatkan polisi. Aku tahu mereka pantas mendapat hukuman, tapi tolong, dengarkan aku." Ia menarik napas panjang, berusaha menata hatinya yang porak-poranda.
"Anak mereka, Tuan..." katanya lirih, suaranya pecah di tengah udara yang menegang. "Anak mereka sakit parah. Butuh operasi segera. Risa melakukan ini karena putus asa. Ia tidak melihat jalan lain."
Sergio menatapnya diam-diam. Dan dalam diam itu, Nara terus bicara, di antara isak dan keyakinan yang tulus.
"Kalau mereka masuk penjara, anak itu akan kehilangan segalanya. Kedua orang tuanya, harapannya ... hidupnya. Aku tidak bisa jadi alasan anak kecil itu kehilangan kesempatan untuk sembuh. Aku tidak mau jadi orang yang menghancurkan harapan terakhir seseorang yang tidak bersalah."
Kata-katanya membuat ruangan terasa sunyi. Bahkan napas Sergio pun terdengar berat.
Sergio terdiam, tatapan tajamnya melembut sedikit melihat kebaikan hati Shannara yang konyol. Bahkan dalam kondisi hancur sekalipun, Shannara-nya masih memikirkan nasib orang lain, bahkan orang yang telah mengkhianatinya.
"Kamu terlalu baik, Nara..." ujarnya pelan, nyaris seperti menyalahkan diri sendiri. "Begitu baiknya sampai membuatku marah." desis Sergio, nadanya bercampur kekaguman dan amarah. "Sangat konyol. Jadi, apa yang kamu inginkan? Mereka lolos tanpa konsekuensi?"
Nara menggeleng pelan. "Tidak. Mereka tetap harus bertanggung jawab. Tapi bukan lewat penjara." Suaranya mulai mantap. "Ambil kembali uangmu. Semuanya. Tapi kirimkan sejumlah dana yang cukup untuk operasi anak mereka. Secara anonim. Tanpa nama, tanpa jejak."
Ia menelan ludah, menatap Sergio dengan mata yang basah tapi tegas. "Aku percaya ... rasa bersalah dan ketakutan mereka sendiri akan menghukum mereka lebih dalam daripada penjara mana pun."
Sergio menghela napas, mengusap rahangnya. Solusi ini ... lebih rumit, tetapi juga lebih manusiawi dan bersih. Itu melindungi reputasi Nara sekaligus memberikan hukuman yang lebih bermoral bagi Risa dan Bayu.
Keheningan panjang kembali turun.
Sergio menatap lantai sejenak, lalu menarik napas panjang, seolah sedang menimbang antara amarah dan nuraninya.
Akhirnya ia berbicara dengan nada datar tapi tegas.
"Davin," katanya ke ponsel. "Batalkan semua perintah penahanan. Sekarang juga. Ambil semua uangku yang mereka curi, tapi sisihkan sebagian untuk donasi anonim ke rumah sakit tempat anak Risa dirawat. Pastikan dana itu digunakan hanya untuk operasinya. Jangan sebut nama siapa pun." Ia berhenti sejenak, menatap Nara sebelum melanjutkan, "Sita semua data, rekaman, dan dokumen yang mereka pegang. Hapus semua salinannya. Aku ingin mereka keluar dari kapal ini tanpa bekas, tanpa kemampuan untuk melukai Nara lagi."
"Terima kasih, Tuan Sergio"
"Tidak perlu berterima kasih," potong Sergio cepat. "Ini belum selesai. Ada satu hal lagi yang harus kita bahas."
Nara mengangkat alisnya yang layu. "Apa?"
Langkah Sergio perlahan mendekat, setiap jarak yang ia pangkas membuat napas Nara semakin sesak.
"Kita," katanya singkat. "Aku. Dan kamu."