Seorang psikopat yang ber transmigrasi ke tubuh seorang gadis, dan apesnya dia merasakan jatuh cinta pada seorang wanita. Ketika dia merasakan cemburu, dia harus mengalami kecelakaan dan merenggut nyawanya. Bagaimana kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AgviRa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26
Marina menggeleng pelan, sama sekali tidak tahu apa yang dimaksud oleh Anton.
"Karena kamu perusahaan kita diambang kebangkrutan, Pak Bastian membatalkan kerja sama karena pernikahan batal. Bagas sudah mengatakan semuanya kepadanya dan kita tidak akan mendapat kesempatan lagi. Sekarang kamu harus bertanggungjawab," kata Anton dengan suara yang keras dan tidak sabar.
Marina merasa seperti terintimidasi, dan dia tidak berani menatap Anton. Dia menundukkan kepala, merasa malu dan bersalah atas kesalahan yang telah dia buat. "Aku... aku tidak tahu bahwa pernikahan itu sangat penting," dia mengakui dengan pelan, suara yang hampir tidak terdengar.
"Kamu harus bertanggungjawab, Marina. Ini semua karena kesalahanmu. Kamu merebut Bagas dari Alice, dan sekarang kamu sendiri yang mengkhianatinya? Papa tidak mau tahu, kamu harus bertanggungjawab atas semuanya," kata Anton dengan nada yang keras dan tidak sabar.
Marina merasa seperti dihantam oleh kata-kata Anton. Dia tidak bisa membantah, karena dia tahu bahwa dia telah membuat kesalahan besar. "Aku... aku tidak tahu bahwa ini akan berakhir seperti ini," Marina mencoba untuk membela diri, tapi suaranya terdengar lemah.
"Kamu tidak tahu? Kamu tidak tahu bahwa menikah dengan Bagas adalah kunci untuk kerja sama dengan Pak Bastian? Kamu tidak tahu bahwa perusahaan kita sedang berada di ambang kebangkrutan?" Anton bertanya dengan nada yang keras, membuat Marina merasa semakin tertekan.
"Dan kamu, Lucy," tunjuk Anton dengan tatapan yang tajam. "Kamu juga tidak bisa lepas dari tanggung jawab ini. Kamu terlalu memanjakan Marina, tidak pernah memberikan dia pelajaran tentang tanggung jawab dan konsekuensi. Jika kamu lebih tegas, mungkin Marina tidak akan menjadi seperti ini."
Lucy menundukkan kepala, merasa bersalah. "Mama... Mama hanya ingin Marina bahagia, Pa," dia mencoba untuk membela diri, tapi suaranya terdengar lemah.
"Bahagia? Bahagia dengan menghancurkan perusahaan kita?" Anton bertanya dengan nada yang keras, membuat Lucy merasa semakin tertekan.
Anton menghela napas panjang, merasa kecewa dan marah. "Papa sudah menjatuhkan harga diri demi memohon kepada Bastian agar menyetujui kamu menggantikan Alice menikah dengan Bagas. Papa sudah merendahkan diri, memohon kepada dia untuk mempertimbangkan kamu sebagai calon menantu. Tapi apa hasilnya? Kamu malah mengecewakan Papa, Marina. Kamu tidak bisa menjaga pernikahanmu, dan sekarang perusahaan kita berada di ambang kebangkrutan."
Anton menggelengkan kepala, merasa malu dan kecewa. "Papa tidak tahu apa yang Papa lakukan salah, Marina. Papa tidak tahu bagaimana Papa bisa salah memprediksi kamu."
Alice yang duduk di sebelahnya tidak menunjukkan reaksi apa-apa, seolah-olah dia tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi. Tatapan matanya kosong, tidak menunjukkan emosi apa-apa. Suasana menjadi semakin tegang, membuat Marina dan Lucy merasa semakin tidak nyaman.
Anton mengalihkan pandangannya ke Alice, dan untuk pertama kalinya, dia melihat ekspresi yang berbeda di wajahnya.
"Alice, Papa kali ini mohon, bujuklah mereka agar mau memberikan kesempatan sekali lagi," kata Anton dengan nada yang lembut, berharap bahwa Alice bisa membantu.
Alice mengangkat alisnya, seolah-olah dia tidak percaya apa yang sedang terjadi. "Aku? Membujuk mereka?" dia bertanya dengan nada yang dingin.
Anton mengangguk, berharap bahwa Alice bisa membantu. "Ya, Alice. Papa tahu bahwa kamu memiliki hubungan yang baik dengan Bagas dan Pak Bastian. Jika kamu bisa membujuk mereka, mungkin mereka akan memberikan kesempatan sekali lagi."
Alice menatap Anton dengan tatapan yang tajam, seolah-olah dia sedang mempertimbangkan permintaan Anton.
"Tidak. Aku tidak mau," kata Alice dengan nada yang tegas dan tidak kompromis.
"Aku tidak akan membuang waktu dan energi. Silahkan Anda tanggung sendiri," tambah Alice dengan nada yang dingin dan tidak peduli.
**
Avi melangkah ke dalam ruangan gelap dan sunyi, dinding beton kasar dan tidak ada jendela membuatnya merasa seperti berada di dalam gua. Lampu neon yang redup memberikan kesan menyeramkan, membuat bayangan-bayangan di dinding terlihat seperti makhluk hidup yang mengintai. Anak buahnya muncul dari bayangan, menyambut Avi dengan wajah serius.
"Selamat datang, Nona," kata anak buahnya. "Kami telah menyiapkan tempat untuk musuh-musuh kita."
Avi mengangguk, matanya yang tajam memindai ruangan. "Baik, mari kita mulai," katanya dengan suara tegas.
Anak buahnya menuntun Avi ke ruangan yang lebih dalam, di mana beberapa orang terikat di kursi, wajah mereka penuh ketakutan dan luka-luka. Avi melihat ke sekeliling, memastikan bahwa semuanya sudah siap.
"Siapa yang sudah menyuruh kalian melakukan ini?" Avi bertanya dengan suara tegas kepada salah satu orang yang terikat.
Orang itu menatap Avi dengan mata yang penuh ketakutan. "A-aku tidak tahu... aku tidak tahu apa yang terjadi," dia menjawab dengan suara bergetar.
Avi mengerutkan kening. "Siapa yang memerintahkan kalian untuk membawa aku? Jika kamu tidak mau mengatakannya, jangan harap anak dan istri kalian bisa hidup tenang," ancamnya dengan suara yang lebih tegas.
Orang itu terlihat gugup dan ketakutan, lalu menjawab. "Ja-ngan lakukan itu, baiklah aku akan mengatakannya. A-aku hanya diperintah oleh seseorang yang tidak pernah menunjukkan wajahnya. Dia memiliki suara yang keras dan berwibawa, dan dia sangat ingin membawa kamu."
Avi merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Coba ingat lagi, apa ada detail lain yang kamu ingat?" dia bertanya, dengan suara yang lebih tajam.
Orang itu berpikir sejenak, lalu menjawab. "A-aku ingat... ada satu hal. Orang yang memerintahkan kami memiliki tato kalajengking di lehernya."
Avi merasa penasaran. "Tato kalajengking?" dia bertanya lagi, dengan suara yang penuh penasaran.
Orang itu mengangguk. "Ya. Aku melihatnya saat dia memberikan perintah melalui video conference. Tato itu cukup unik, dan aku yakin bahwa itu bisa menjadi petunjuk untuk mengetahui siapa dia."
Tiba-tiba, Avi melihat salah satu orang yang terikat, seorang sopir yang pernah bekerja untuknya. "Kamu!" Avi menunjuk sopir itu dengan jari yang gemetar karena marah. "Kamu yang berkhianat!"
Sopir itu menundukkan kepala, takut. "A-aku tidak bisa menolak, Nona. Mereka mengancam akan menyakiti keluargaku jika aku tidak membantu mereka."
Avi mengerutkan kening, wajahnya merah karena marah. "Kamu harusnya tahu bahwa kesetiaan tidak bisa dibeli dengan ancaman," katanya dengan suara yang keras.
Avi memutuskan untuk menghukum mereka dengan berat. "Berikan hukuman cam-buk kepada mereka semua, sampai mereka merasakan sebuah penyesalan dan kirim mereka ke pulau Hampa beserta keluarga mereka," katanya dengan suara yang tegas.
Mereka nampak tidak protes, mereka berpikir itu jauh lebih baik dan aman. Karena jika tidak, mungkin mereka akan mati ditangan orang yang sudah memerintahkan mereka. Bahkan mungkin keluarga mereka akan bernasib sama.
Avi kemudian memutuskan untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut tentang tato kalajengking dan mencari tahu siapa orang yang memiliki tato tersebut. "Aku akan menemukanmu," Avi berpikir, dengan tekad yang kuat.
Avi juga berpikir dalam hati. "Apakah ini semua ada ikatannya dengan kasus Darrel?" Dia mencoba untuk menghubungkan antara tato kalajengking dan kasus Darrel yang telah terjadi beberapa waktu lalu.
Tiba-tiba, Avi teringat tentang sebuah informasi yang pernah dia dengar tentang kasus Darrel. "Darrel pernah menyebutkan tentang seseorang yang memiliki tato kalajengking di lehernya," Avi berpikir.
"Apakah itu mungkin orang yang sama yang memerintahkan mereka untuk membawa aku? Tapi, kenapa dia sejahat itu?"