Adelina merupakan seorang selebgram dan tiktokers terkenal yang masih duduk di bangku SMA.
Parasnya yang cantik serta sifatnya yang periang membuatnya banyak disukai para followers serta teman-temannya.
Tak sedikit remaja seusianya yang mengincar Adelina untuk dijadikan pacar.
Tetapi, apa jadinya jika Adelina justru jatuh cinta dengan dosen pembimbing kakaknya?
Karena suatu kesalahpahaman, ia dan sang dosen mau tak mau harus melangsungkan sebuah pernikahan rahasia.
Pernikahan rahasia ini tentu mengancam karir Adelina sebagai selebgram dan tiktokers ratusan ribu followers.
Akankah karir Adelina berhenti sampai di sini?
Akankah Adelina berhasil menaklukkan kutub utara alias Pak Aldevaro?
Atau justru Adelina memilih berhenti dan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marfuah Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Mencintaimu
“Udah lah, lo ngomong aja sama Adelina. Gue liat, hubungan kalian lebih baik belakangan ini.” Nasehat Ardan saat aku bertanya perihal apa yang harus kulakukan dengan perasaan yang terus tumbuh di hati.
Selain tempat menyelesaikan masalah, Ardan juga merangkap sebagai penasehatku. Seringkali aku meminta saran-saran dari laki-laki yang sampai saat ini masih jomblo itu.
“Gue heran deh, Al. Lo apa-apa curhatnya ke gue, berasa jadi emak lo tau gak!”
“Lo kan emang punya jiwa emak-emak berdaster Ar,” sahutku santai sambil memakan cemilan yang tersedia di atas meja.
“Your mouth!” Ardan melempar bantal sofa yang langsung mengenai wajahku.
Ardan sialan!
...🍉🍉...
Sepulang dari rumah Ardan aku mampir ke sebuah toko bunga. Gak tau apa Adelina bakal suka sama bunga mawar pink yang aku belikan. Tadinya mau beli yang warna merah darah, tapi mengingat gadis pecinta warna pink itu jadi berubah haluan.
Tak hanya setangkai mawar pink, aku juga membeli beberapa boneka berbagai warna. Gak tau boneka apaan, bentuknya gak terlalu jelas. Asal ambil aja aku tadi, yang penting boneka. Sekotak es krim strawberry juga tak lupa kubeli. Bisa dimakan bareng sambil nonton drakor nanti.
Semua ini tak lain dan tak bukan adalah ide dari Ardan. Gak tanggung-tanggung, dia bahkan yang mencari daftar drakor romantis yang akan kutonton bersama Delina nanti.
“Malem ini pokoknya lo harus berhasil, Al. Ikutin aja saran gue, dijamin manjur. Gue tunggu kabar baik dari lo besok,” katanya sebelum mengusirku dari rumahnya.
Aku mengambil napas dalam sebelum mengetuk pintu. Kok gugup banget ya? Berasa kayak mau ujian skripsi. Santai, Al. Selow, kamu pasti bisa!
“Del!” panggilku sedikit keras sambil mengetuk pintu.
Agak lama pintu terbuka. Entah, gadis itu lagi ngapain.
Aku berdiri dengan gusar. Jantungku berpacu lebih cepat. Ah, elah. Padahal cuma gini doang tapi gugupnya kayak mau mampus.
Knop pintu berputar disusul dengan munculnya kepala gadis itu. Dia melongok sebelum membuka pintu dengan sempurna.
Aku masuk dengan kedua tangan di belakang. Menyembunyikan apa yang kubawa.
“Buat kamu.” Aku menyodorkan bunga mawar dan boneka itu setelah masuk ke dalam rumah.
Dahinya mengernyit. Sedikit heran menatap apa yang ada di tanganku.
“Kenapa gak diambil? Gak suka?” tanyaku menahan debaran jantung yang terus berlomba.
Gak tau apa kalau tanganku udah keringat dingin. Malah cuma diliatin doang!
“Dalam rangka apa Mas Al ngasih aku kayak gini? Ulang tahunku masih lama loh.”
“Dalam rangka saya ingin.”
Dia tersenyum. Manis banget. Apalagi dengan bando kelinci di kepalanya, dia nampak semakin imut. Mirip anak meong. Ia meraih bunga dan boneka dari tanganku dan memeluknya kemudian menghirup aroma bunga mawar itu.
“Hmm, wangi. Aku suka, apalagi sama yang ngasih,” ucapnya dengan senyum malu-malu meong.
“Mas, sini.”
Aku membungkuk, mendekatkan wajahku dengannya. Secepat kilat ia mengecup singkat pipi kananku lantas berlari masuk ke dalam kamar.
“Delina! Yang satunya belom!” teriakku mengejarnya menuju kamar.
Malam minggu ini, sesuai rencana Ardan. Aku menghabiskan waktu dengan menonton drakor bersama Delina. Kadang kami tertawa bersama saat drama itu menghadirkan adegan lucu. Sesekali gadis itu juga akan menangis saat scene sedih tengah berlangsung.
Saat itulah aku memanfaatkan kesempatan. Modus dikit, biar bisa peluk-peluk. Jiaahhh!
Aku menikmatinya. Bagaimana gadis itu tertawa bersamaku. Aku menikmati saat-saat berharga ini. Aku berjanji akan terus berusaha menghadirkan senyumnya. Aku gak akan membiarkan dia menangis sedikit pun. Apalagi karenaku.
“Mas, terima kasih untuk malam ini. Malam ini adalah malam minggu paling indah selama aku hidup,” katanya.
Manik kami saling tatap. Lekat.
Aku merentangkan tangan. Ia tersenyum dan langsung masuk dalam pelukku. Kukecup pucuk kepalanya penuh sayang.
“Saya juga berterima kasih sama kamu. Karena kehadiran kamu, hidup saya lebih berwarna.”
...🍉🍉...
“Mas gak masak?” Gadis dengan piyama tidur yang masih melekat di tubuhnya itu berjalan santai keluar dari kamar.
Aku menoleh beberapa saat sebelum kembali menatap koran di hadapan.
“Nggak,” jawabku.
“Aku aja ya yang masak,” ucapnya seraya membuka pintu kulkas.
“Jangan!” Cepat aku menolaknya.
“Kenapa? Masakanku gak enak ya?” tanyanya dengan wajah masam.
“Bukan begitu, saya cuma lagi pengen makan nasi uduk di depan gang,” elakku.
Gak mungkin kan kalau akau bilang gak mau makan telur dadar gosongnya lagi.
Dia mengangguk seraya kembali menutup kulkas. “Baguslah, mau aku beliin?”
“Biar saya yang beli,” ucapku seraya melipat koran.
Aku bangkit kemudian menyambar jaket dan dompet di atas almari.
“Saya pergi dulu,” pamitku seraya menutup pintu.
Sambil bersiul pelan aku berjalan menuju gang depan. Sengaja gak pakai mobil, deket soalnya. Mungkin sekitar tiga ratus meter dari rumahku. Lumayanlah, itung-itung olahraga pagi.
“Mari, Pak!” sapa beberapa ibu-ibu komplek yang tengah lari pagi. Mereka tersenyum genit, bahkan salah satu dari mereka ada yang mengedipkan mata padaku.
Aku tak menanggapi, tetap berjalan santai melewati mereka. Dapat kudengar bisik-bisik mereka yang mulai membicarakan keburukanku. Bodo amatlah. Toh, hidupku bukan mereka yang berikan.
“Mang, nasi uduknya dua ya,” pesanku pada Mang Asep, penjual nasi uduk yang terkenal enak di sini.
“Pakek telor gak, A’” tanyanya sambil membungkus nasi uduk pesanan orang lain.
“Pakek aja semuanya,” sahutku seraya mengambil duduk di kursi plastik dekat gerobak.
Gerakan cepat Mang Asep tak terlewat dari pengamatanku. Laki-laki setengah baya itu tak merasa kewalahan melayani pembeli yang cukup banyak pagi ini. Cukup lama aku menunggu hingga tiba giliran pesananku yang dibungkus olehnya.
“Ini, A’.” Mang Asep menyodorkan plastik berisi dua bungkus nasi uduk pesananku.
“Jadi berapa, Mang?” tanyaku.
“Dua puluh ribu aja.”
Aku memberikan selembar uang dua puluh ribuan padanya. Selesai membeli nasi uduk, gegas aku berjalan pulang.
Dahiku mengernyit menatap mobil mercedes benz yang terparkir di depan pagar rumahku. Ngapain dia di sini?
Cepat aku melangkah menuju ke rumah. ada rasa gak enak yang terbersit dalam hatiku. Pasti ada sesuatu yang gak beres tengah terjadi. Cepat aku membuka pintu rumah.
Terlambat.
Di sana, kulihat Delina tengah menangis tersedu. Sementara di sampingnya ada Anaya. Wanita itu, aku tahu ia merencanakan sesuatu yang buruk sejak pertemuan kami waktu itu.
“Delina.” Gadis dengan mata sembab itu menoleh, menatapku dengan luka yang amat dalam.
“Mas ...” gumamnya dengan air mata yang semakin deras jatuh ke pipi.
“Aku gak pernah nyangka Mas bisa setega ini,” lirihnya.
Aku mendekat. Meraih kedua tangannya yang gemetar. “Maafin saya,” lirihku.
Dengan kasar ia menepis tanganku. “Aku pikir Mas Al udah berubah, aku pikir Mas benar-benar tulus menyayangiku. Tapi nyatanya apa? Aku gak lebih dari sekedar alat balas dendam!”
“Saya bisa jelasin ....”
“Apa yang mau dijelasin?! Semuanya udah jelas, rekaman ini udah nunjukin semuanya!” teriaknya seraya melempar hape ke sofa.
Aku gak kuat melihat Delina seperti ini. Kuraih tubuhnya untuk kudekap. Ada rasa sakit menusuk saat melihatnya terluka seperti ini. Semua memang salahku. Aku yang bodoh karena memanfaatkannya sebagai balas dendamku pada papa.
Ia berontak dalam dekapku. Mendorongku kasar lantas segera berlari keluar dari rumah.
“Delina!” panggilku yang tak dihiraukan olehnya.
“Al!” Anaya menahan lenganku saat aku akan mengejar Adelina.
Aku menatap tajam wanita pengkhianat ini. “Lepaskan tangan kotormu,” ucapku dingin.
Melihatku dengan emosi yang siap meledak, Anaya menciut. Ia melepaskan tangannya dari lenganku. Gegas aku mengejar Delina yang belum terlalu jauh.
Kuharap ia masih mau mendengarkanku. Aku gak mau kehilangannya. Aku belum mengatakan perasaanku yang sebenarnya padanya. Aku belum mengatakan kalau aku mencintainya.
Tubuh ramping dengan rambut yang bergoyang berada beberapa meter di depanku. Tangis pilunya masih dapat kudengar. Sedalam itukah luka yang kubuat di hatinya?
“Kenapa lo jahat banget, Al! Gue sayang banget sama lo, tapi kenapa lo kayak gini ke gue?!” teriaknya.
Dia berhenti berlari. Mengusap kasar air mata yang terus mengalir lewat mata indahnya.
“Maafin saya Del, ini semua karena kebodohan dan keegoisan saya,” jeritku dalam hati.
“Del,” panggilku.
Gadis itu berbalik. Mata sembab dengan hidungnya yang memerah membuat hatiku sakit. Semalam aku berjanji untuk membuatnya terus tersenyum. Tapi, lihat sekarang. Justru akulah yang menjadi alasan ia terluka.
Melihatku yang mendekat. Gadis itu segera mengambil langkah untuk kembali berlari. Tapi, ia berlari ke arah yang salah.
“Delina!” teriakku.
Gegas aku berlari dan menarik tubuhnya hingga terpental ke trotoar. Sementara tubuhku terhantam keras oleh mobil yang tengah melaju kencang.
Dapat kurasakan tulang-tulangku seperti remuk. Aku terpental dan jatuh mengguling ke aspal. Di susul dengan teriakan menggema dari Delina. Samar-samar aku melihatnya berlari ke arahku.
“Mas!” teriaknya.
Ia mengangkat kepalaku dan meletakkannya di pangkuannya. Tanganku yang berlumur darah sekuat tenaga aku gerakan untuk meraih pipi halusnya. Mengusap pelan tetes demi tetes yang terus terjatuh membentuk sungai kecil di sana.
Aku tersenyum. Setidaknya wajah manis ini yang aku lihat terakhir kalinya.
“A-aku mencintaimu ...” kataku pelan sebelum semuanya berubah menggelap.
Jika ini menjadi waktu terakhirku melihatmu, setidaknya aku telah mengatakannya ...
... aku mencintaimu.
Selamat tinggal, Istriku tersayang.