Hanya kisah sederhana yang menceritakan tentang kehidupan rumah tangga dua anak manusia yang memiliki perbedaan usia yang sangat jauh berbeda.
Walaupun dengan perbedaan usia yang sangat jauh itu, mereka tetap saja saling jatuh cinta. Dan sama-sama berusaha untuk menjaga kesucian cinta mereka.
Si pria dewasa yang bertingkah seperti bocah, dengan sikap posesif dan pencemburunya. Dan si Gadis Kemarin Sore yang bertingkah sok dewasa.
Mereka diibaratkan bagaikan dua sayap dari satu ekor burung. Patah satu sayap saja, maka seekor burung pun tidak bisa terbang dengan satu sayap lainnya. Begitulah mereka, saling menyayangi, saling merawat dan saling menjaga, agar tidak ada sayap yang patah, dan agar seekor burung bisa tetap terbang sesuai dengan keinginan hatinya.
Om Posesif Itu, SUAMIKU!
________
Ig: Ichaannisaamanda
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Icha Annisa Amanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RASA KECEWA!
Aku menghembus napas pelan sambil menidurkan kepalaku di atas meja, setelah Pak Hakam mengucap salam dan beranjak keluar kelas. Akhirnya pelajaran Matematika selesai juga!
Entahlah, aku tidak yakin, apakah aku masih bisa mengingat semua penjelasan yang Beliau sampaikan tadi. Saat materi dijelaskan di kelas, aku merasa sudah mengerti! Tapi kalau sudah disuruh kerjain tugas? Innalillahi! Aku kayak orang yang nggak ngerti sama sekali!
Pusing, lelah dan lapar bercampur menjadi satu. Mereka menghantui tubuhku secara bersamaan.
"Yu, ke kantin, yuk!" Aku menatap Ayu yang sedang merapikan mejanya. Dia terlibat terburu-buru. Eh, dia mau kemana?
"Maaf, ya, Cha. Aku pulang duluan lagi, ada acara keluarga soalnya!" ucap Ayu yang sudah memakai tas punggungnya. Dia mengulurkan tangannya untuk bersalaman padaku.
"Yah, Ayu!! Terus aku ke kantin sama siapa?" tanyaku sambil melirik ke arah Arina juga. Dia tidak bisa ke kantin hari ini, karena sedang puasa sunnah!
"Gabung sama Qonita, ya!" Ayu malah tersenyum jahil. Lantas dia menepuk pundakku sebelum akhirnya berlari ke luar dari kelas.
"Arina?" Panggilku dengan tatapan memelas. Berharap dia mau menemaniku untuk duduk di kantin saja.
"Hehehe, gabung sama Qonita atau Celsi aja, ya, Manda. Aku pusing soalnya!"
Bibirku mengerucut saat mendengar jawaban dari Arina. "Yah, nggak seru!"
Dia menatapku sambil cengir-cengir dan mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada. "Maaf, ya, Manda....."
"Ya, santai aja! Aku juga ngerti kok!"
Terpaksa, aku pun berjalan sendirian menuju kantin. Qonita yang aku harapkan sudah ke kantin duluan. Begitupun dengan Celsi dan teman-teman cewekku yang lain.
Sampai di kantin, aku langsung memesan satu kebab, satu botol air, dan juga mengambil dua bungkus wafer cokelat dan dua permen tusuk rasa mangga.
"Duduk di mana?" Aku bergumam sambil mengedarkan pandangan. Meja yang biasa kami gunakan sudah ditempati duluan oleh para adik kelas. Tidak satupun meja kosong, kecuali meja paling belakang di pojok kiri kantin.
Karena merasa sudah tidak tahan menahan lapar lagi, aku pun melangkah menuju meja itu. Duduk sendirian di sana.
Oh, malang sekali nasibku!
Ya, aku memang tipe orang yang tidak akan menyapa, sebelum disapa. Dan juga cenderung terlihat cuek dan tidak banyak bicara. Padahal saat di SMP dulu, aku adalah anak yang lumayan aktif dan juga memiliki koneksi yang cukup kuat.
Aku memiliki banyak teman, mulai dari kalangan kakak kelas sampai adik kelas. Aku juga dulu aktif di organisasi siswa dan juga pramuka. Tapi setelah kepergian Ibuku, semua yang ada padaku berubah! Aku menjadi gadis pendiam. Dan semakin menjadi pendiam lagi saat sebulan setelah kepergian Ibu, Ayah juga ikut pergi meninggalkanku! Hiks.
Beruntung aku memiliki Om Zidan saat itu. Dia yang selalu menghiburku. Memberikan semangat dan dukungan untukku. Dan di saat itu juga, aku pindah dari kota kelahiranku ke kota dimana aku dan Suamiku---Om Zidan tinggal sekarang.
Tepatnya di kota ini, kota yang mempertemukan aku dengan Ayu dan Arina. Aku sebenarnya murid pindahan, dan orang yang pertama kali kukenal adalah Arina. Dia yang mengantarku menuju kelas, dan di kelas pun aku langsung di sambut oleh Ayu dan juga Qonita. Mereka memintaku untuk duduk di samping mereka.
Aku sangat beruntung, karena memiliki teman-teman kelas yang begitu baik kepadaku. Ditambah lagi dengan ketua kelas yang ramah, baik, ganteng dan juga pintar. Membuatku langsung merasa nyaman dan betah di sekolah baruku, saat itu!
"Khemm!" Suara deheman seseorang membuat terperanjat kaget. Aku tersadar dari lamunan, dan langsung menatap ke arah orang yang berdiri di hadapanku.
Gilang? Dia mau apa lagi?!
"Boleh aku duduk di sini?" Dia terlanjur meletakkan semua makanan yang ia bawa di atas meja. "Nggak ada meja kosong lagi, boleh ya?"
"Hmmm. Duduk aja!" Aku mendorong kursiku untuk sedikit mundur. Gilang duduk tepat di hadapanku!
"Kenapa ngelamun?" Tanyanya sembari membuka tutup botol. Dia menatapku sejenak, sebelum meneguk air dari botol itu.
"Nggak ada!"
Ck. Dia malah tersenyum mendengar jawabanku!
"Santai aja, Cha. Kalau ada yang kamu nggak suka, kamu tinggal ngomong aja. Jangan terus ngehindararin aku!"
Aku tidak menjawab apapun. Menatap ke arah nya pun tidak! Kepalaku tertunduk, pura-pura fokus memakan kebab!
"Aku bisa pindah meja, kalau kamu nggak nyaman dengan kehadiranku!" lirih Gilang. Dan aku yakin, dia pasti sedang menatapku sekarang.
Kan, benar saja. Saat aku mengangkat kepalaku, mataku dan matanya langsung bertemu. Cukup lama, sampai aku yang terlebih dulu mengalihkan pandanganku. Aku tidak kuat lagi!
Ya Allah.... Kuatkanlah aku!
Tatapan dan senyuman tipisnya itu loh! Nggak ada yang berubah! Masih sama seperti dulu!
"Bisa kan Manda? Kita masih bisa kan untuk berteman dengan normal?"
Aku kembali diam, tanpa bisa menjawab apa-apa!
"Setidak suka itukah kamu sekarang padaku?" Tanyanya dengan nada yang begitu rendah.
"Maaf, aku harus kembali ke kelas!"
Aku segera merapikan semua makanan milikku. Saat aku hendak beranjak, Gilang tiba-tiba saja menarik tanganku. "Jawab pertanyaanku dulu, Cha!"
"Lepasin tanganku!" Sungguh, kali ini aku sudah melotot dengan penuh amarah menatap ke arahnya. Dia ternyata tidak mundur, tetap menahan tanganku. Bahkan mengeratkan pegangannya!
"GILANG!" Habis sudah kesabaranku. Dengan sekali tarikan aku melepas tanganku dari tangannya. Sebelum pergi, aku sempat menatapnya dengan tatapan kecewa.
"Aku nggak nyangka kamu ternyata akan bersikap seperti ini padaku!"
Gilang terdiam mendengar ucapanku sambil menatap tangannya. Dan setelah itu, aku tidak tau apa yang terjadi padanya, karena aku langsung melangkah tanpa menoleh lagi ke arah si Gilang sialan itu!
Berani sekali dia menyentuh tanganku!!!
Dengan langkah cepat aku berjalan menuju kelas. Menghiraukan semua orang yang menatap bingung padaku. Mungkin mereka bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi padaku?!
"Manda? Kamu kenapa?" Arina langsung bertanya saat melihatku masuk dengan raut wajah kesal. Dia mendekatiku, menarik kursi untuk duduk di sampingku.
"Aku nggak apa-apa!"
"Bohong! Wajahmu nggak bisa berbohong padaku!" ujar Arina. Dia memegang punggung tanganku, mengelusnya. "Ceritalah padaku."
"Aku----"
Belum juga aku bercerita, Qonita malah masuk ke dalam kelas, dan langsung menghampiriku.
"Apa yang dia lakuin ke kamu? Apakah dia mengatakan hal yang tidak-tidak padamu?" Tanya Qonita dengan wajah yang terlihat khawatir. Tumben dia sekhawatir itu padaku. Biasanya hanya Ayu dan Arina yang seperti itu!
Aku menggeleng pelan. "Bukan apa-apa, udah, lupain aja!"
"Manda, selama ini aku nggak pernah liat kamu semarah itu! Nggak mungkin Gilang----?"
"Si Gilang kenapa? Dia apain kamu, Manda?" Arina menyela. Dia menatap Qonita dengan penuh tanda tanya.
"Sungguh, aku nggak papa. Kalian berdua tenang aja!" ucapku sembari menyentuh bahu keduanya. Aku tersenyum meyakinkan. "I'M FINE."
Arina diam sejenak, dia menatapku lalu menghela napas pelan. "Aku pokoknya nggak mau tau, kamu harus cerita semuanya sama aku!"
"Pasti, aku pasti akan ceritain semuanya, tapi nanti!" Aku sekali lagi tersenyum meyakinkan mereka, kalau aku baik-baik aja.
Setelah itu, bel masuk pun terdengar. Semua siswa berlarian masuk ke dalam kelas mereka. Tak terkecuali teman-teman kelasku.
"Maaf." Begitulah lirih Gilang saat melewati mejaku. Dia bahkan meletakkan sebatang coklat di atas meja. Dengan selembar kertas yang bertuliskan 'Maaf, aku yang salah'.
Aku meraih coklat itu, dan memberikannya pada Qonita. "Untukmu saja!"
"Hah?" Dia menatapku dengan penuh tanda tanya. "Kenapa aku pula?"
"Ambil aja!"
Dengan cepat aku meletakkan coklat itu di tanganya. Dia pun menoleh ke arah Gilang. "Aku dipaksa, ya!" lirihnya.
Bisik-bisik pun mulai terdengar. Tapi aku memilih untuk mengabaikan saja. Karena aku yakin, teman-teman kelas adalah orang yang baik semua. Mereka berbisik pun pasti karena sedang bertanya, ada apa? Kenapa aku bisa semarah itu pada Gilang?
Aku harus selalu berpikir positif tentang mereka! Mereka temanku! Mereka selalu berbuat baik padaku!
Om Zidan, aku melakukan semua ini untuk menjaga kesucian cintaku untukmu! Aku janji, cintaku hanya akan untukmu, Om! Sebanyak apapun godaan yang datang, aku pastikan aku akan hanya melihatmu, mencintaimu dan membalas cintamu!
Tidak ada hal lain yang ingin kulakukan sekarang, kecuali pulang dan bertemu dengan Om Zidan. Aku ingin Om Zidan! Aku ingin memeluknya! Aku ingin menggenggam tangannya! Aku ingin mencium bibirnya!
Eh?
Yang terakhir harap dimaklumi saja, ya ><
Salam kenal untuk authornya.