NovelToon NovelToon
LUKA YANG KEMBALI

LUKA YANG KEMBALI

Status: tamat
Genre:Teen Angst / CEO / Action / Percintaan Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama / Tamat
Popularitas:107
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

SINOPSIS
Laura Christina telah menyimpan perasaan pada Julian Mahardika sejak mereka kuliah—sepuluh tahun yang terasa seperti selamanya. Julian, pria yang membangun tembok tinggi di sekitar hatinya setelah tragedi masa lalu, tidak pernah menyadari cinta diam-diam Laura. Ketika kehidupan membawa mereka kembali bersama dalam proyek berbahaya yang melibatkan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman maut, Laura harus memilih: tetap bersembunyi di balik senyumnya atau mengambil risiko kehilangan segalanya—termasuk nyawanya—untuk pria yang bahkan tidak tahu dia ada.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 15: BATAS TIPIS

Jumat malam, hari keenam, langit Jakarta mendung sejak sore. Laura bisa merasakan hujan akan datang—udara terasa lembab dan berat, persis seperti perasaannya.

Sejak kejadian semalam, suasana antara dia dan Julian menjadi lebih canggung. Mereka hampir tidak bicara saat sarapan pagi tadi. Di kantor, mereka berkomunikasi hanya melalui email formal meski berada di gedung yang sama.

Laura tahu mereka tidak bisa terus seperti ini. Tapi dia tidak tahu bagaimana memperbaikinya tanpa melewati batas yang seharusnya tidak mereka lewati.

Sore itu, Laura pulang lebih awal—diantar Adrian seperti biasa, dengan pengawalan ketat. Ancaman dari Leon masih nyata, bahkan bertambah setelah Julian menolak mundur dari proyek Henderson.

Di apartemen yang sepi, Laura mencoba bekerja di laptop-nya, tapi konsentrasinya buyar. Pikirannya terus kembali ke semalam. Ke wajah Julian yang begitu dekat. Ke tatapan matanya yang penuh emosi. Ke bibir yang hampir menyentuh bibirnya.

Pukul delapan malam, hujan akhirnya datang. Bukan hujan biasa—ini hujan deras dengan petir dan angin kencang yang membuat jendela-jendela besar apartemen bergetar.

Laura berdiri di depan jendela ruang tamu, menatap kota yang diselimuti hujan. Dari ketinggian ini, Jakarta terlihat kabur, lampu-lampu kota berubah menjadi blur berwarna-warni di balik tirai air.

Pintu apartemen terbuka. Julian masuk dengan kemeja yang basah—terlihat dia berlari dari lobby ke bawah guyuran hujan sebentar. Rambutnya basah, menetes air. Wajahnya terlihat lelah dan frustasi.

"Kamu kehujanan," ujar Laura, berbalik dari jendela.

"Lupa bawa payung," jawab Julian, melepas sepatu dan jas basahnya. "Kukira masih bisa sampai apartemen sebelum hujan, tapi ternyata tidak."

Dia berjalan ke kamarnya, kembali beberapa menit kemudian dengan kaos santai dan celana training—tampilan yang jauh berbeda dari Julian si CEO yang selalu rapi. Lebih... manusiawi. Lebih terjangkau.

"Sudah makan?" tanya Julian, mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"Belum. Kamu?"

"Belum juga."

Mereka akhirnya memasak bersama—atau lebih tepatnya, Laura memasak sementara Julian membantu dengan canggung. Mie goreng sederhana dengan telur dan sayuran. Tidak mewah, tapi cukup untuk makan malam di tengah hujan deras.

Mereka makan di meja makan dengan suara hujan dan petir sebagai background. Percakapan mengalir lebih natural malam ini—tentang pekerjaan, tentang proyek yang mulai berjalan lancar, tentang hal-hal ringan yang membuat ketegangan perlahan mencair.

Setelah makan, mereka duduk di sofa besar menghadap jendela, menatap hujan yang tidak kunjung reda. Ada jarak sopan antara mereka, tapi tidak sebesar hari-hari sebelumnya.

"Aku bicara dengan Maudy tadi," ujar Julian tiba-tiba, memecah keheningan yang nyaman.

Laura menegang. "Oh?"

"Aku bilang aku butuh waktu. Butuh clarity. Dia... tidak senang. Tapi dia bilang akan tunggu."

Laura tidak tahu apa yang harus dia katakan. Bagian dari dirinya ingin berteriak: Kenapa kamu masih memberi harapan padanya kalau kamu tidak yakin? Tapi bagian lain mengerti—Julian sedang berproses, sedang mencoba memahami perasaannya sendiri.

"Apa kamu—" Laura memaksa dirinya bertanya meski takut dengan jawabannya. "Apa kamu masih mencintai Maudy?"

Julian diam lama. Terlalu lama. Dan keheningan itu lebih menyakitkan dari jawaban apapun.

"Aku tidak tahu," jawabnya akhirnya, dengan suara yang penuh keraguan. "Lima tahun lalu, aku sangat mencintainya. Saat dia pergi, aku hancur—bukan hanya karena insiden di militer, tapi karena kehilangan dia. Tapi sekarang..." dia menatap Laura dengan tatapan yang membuat napas Laura tertahan. "Sekarang, aku tidak tahu apakah yang aku rasakan untuk Maudy adalah cinta atau hanya... nostalgia. Rindu pada masa lalu yang lebih sederhana."

"Dan apa yang kamu rasakan sekarang?" bisik Laura, tidak yakin apakah dia siap mendengar jawabannya.

Julian bergerak lebih dekat. Jarak antara mereka tinggal satu jengkal. Laura bisa merasakan kehangatan tubuhnya, bisa melihat detail wajahnya—garis rahang yang tegas, bulu mata yang panjang untuk seorang pria, bekas luka kecil di pelipis yang mungkin dari insiden dulu.

"Yang aku rasakan sekarang," ujar Julian pelan, matanya tidak pernah lepas dari Laura. "Adalah bahwa setiap kali aku melihatmu, jantungku berdetak lebih cepat. Setiap kali kamu tersenyum, aku ingin menjadi alasan di balik senyum itu. Setiap kali kamu terluka atau sedih, ada sesuatu di dadaku yang sakit—seperti luka fisik yang nyata."

Laura merasakan matanya mulai berkaca-kaca. "Julian, jangan—"

"Jangan apa? Jangan jujur? Jangan mengakui apa yang sudah jelas sejak awal?" Julian mengangkat tangannya, menyentuh pipi Laura dengan lembut—sentuhan yang membuat seluruh tubuh Laura gemetar. "Laura, aku mencoba melawan ini. Mencoba mengatakan pada diri sendiri bahwa kamu hanya partner bisnis. Tapi aku tidak bisa. Tidak lagi."

"Tapi Maudy—"

"Lupakan Maudy sebentar," potong Julian, wajahnya semakin dekat. "Saat ini, di momen ini, hanya ada kamu dan aku. Tidak ada masa lalu. Tidak ada komplikasi. Hanya ini."

Dan kemudian, akhirnya, Julian mencium Laura.

Ciuman itu dimulai lembut—hampir hati-hati, seolah Julian takut Laura akan menghilang. Bibirnya hangat dan lembut, bergerak dengan perlahan terhadap bibir Laura yang sempat kaku karena shock sebelum akhirnya membalas.

Sepuluh tahun. Sepuluh tahun Laura membayangkan bagaimana rasanya dicium Julian. Dan kenyataannya jauh lebih memabukkan dari semua fantasi yang pernah dia miliki.

Tangan Julian berpindah ke belakang kepala Laura, jari-jarinya tersangkut di rambut Laura, membuat ciuman mereka semakin dalam. Laura merasakan dunianya berputar, merasakan seluruh tubuhnya terbakar dengan cara yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.

Ini adalah ciuman pertama yang terasa seperti pulang. Seperti menemukan sesuatu yang Laura cari selama sepuluh tahun tanpa menyadarinya.

Tangan Laura bergerak ke dada Julian, merasakan detak jantungnya yang berpacu sama cepatnya dengan jantung Laura. Dia mendorong sedikit—bukan untuk menolak, tapi untuk bernapas, karena dia hampir lupa bagaimana cara bernapas.

Mereka terpisah, napas keduanya terengah-engah. Dahi mereka masih menempel, mata tertutup, dunia terasa berputar di sekitar mereka.

"Laura," bisik Julian, suaranya serak dengan emosi dan sesuatu yang lebih gelap, lebih primitif. "Aku—"

BRAK!

Petir menyambar sangat dekat, membuat seluruh apartemen bergetar. Lampu berkedip sekali, dua kali, lalu padam total.

Kegelapan tiba-tiba membuat keduanya tersentak, terpisah.

"Listrik padam," gumam Julian, suaranya masih tidak stabil. "Generator backup seharusnya menyala dalam—"

Lampu menyala kembali, lebih redup dari sebelumnya—mode emergency.

Dan entah bagaimana, cahaya yang lebih redup ini membawa kenyataan kembali. Julian mundur, tangannya menarik rambutnya dengan frustasi.

"Sial," ujarnya, lebih pada dirinya sendiri. "Aku tidak seharusnya—Laura, maafkan aku. Aku tidak seharusnya menciummu saat aku masih—"

"Saat kamu masih belum jelas dengan Maudy," selesai Laura, suaranya datar meski hatinya hancur berkeping-keping. "Aku mengerti."

"Laura, bukan begitu—"

"Lalu bagaimana?" Laura berdiri, merasakan air mata mulai mengalir di pipinya. "Kamu menciumku, Julian. Kamu bilang kamu merasakan sesuatu. Tapi di akhir kalimat selalu ada 'tapi'. Selalu ada Maudy. Selalu ada keraguan."

"Aku hanya butuh waktu untuk—"

"Waktu untuk apa? Memutuskan di antara aku dan dia? Memilih mana yang lebih baik?" Laura tertawa pahit, suara yang keluar lebih seperti isakan. "Aku tidak mau jadi pilihan kedua, Julian. Aku tidak mau jadi pelarian karena kamu bingung dengan masa lalumu."

"Kamu bukan pilihan kedua!" Julian berdiri juga, frustasi jelas di wajahnya. "Laura, ini rumit. Aku dan Maudy punya sejarah—"

"Dan aku dan kamu punya apa? Tidak ada? Hanya kebetulan? Hanya karena aku kebetulan ada saat kamu sedang bingung?" Suara Laura meninggi, semua sakit yang dia simpan selama minggu-minggu ini akhirnya meluap. "Aku sudah—aku tidak bisa terus seperti ini. Berada di dekatmu tapi tidak bisa menyentuhmu. Merasakan sesuatu tapi tidak boleh menunjukkannya. Ini—ini membunuhku, Julian!"

Julian menatapnya dengan mata yang melebar dengan kesadaran. "Sudah berapa lama?"

"Apa?"

"Berapa lama kamu merasakan ini?"

Laura tertawa lagi, kali ini suaranya penuh kepahitan dan penyesalan. "Sepuluh tahun, Julian. Aku merasakan ini selama sepuluh tahun."

Hening total. Bahkan suara hujan terdengar jauh.

Julian menatapnya dengan shock yang jelas, mulutnya terbuka tapi tidak ada suara keluar.

"Aku jatuh cinta padamu sejak hari pertama di kampus," lanjut Laura, air matanya mengalir bebas sekarang. "

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!