NovelToon NovelToon
MEMPERBAIKI WALAU SUDAH TERLAMBAT

MEMPERBAIKI WALAU SUDAH TERLAMBAT

Status: sedang berlangsung
Genre:Bapak rumah tangga / Selingkuh / Percintaan Konglomerat / Crazy Rich/Konglomerat / Aliansi Pernikahan / Mengubah Takdir
Popularitas:683
Nilai: 5
Nama Author: frj_nyt

Ongoing

Feng Niu dan Ji Chen menikah dalam pernikahan tanpa cinta. Di balik kemewahan dan senyum palsu, mereka menghadapi konflik, pengkhianatan, dan luka yang tak terucapkan. Kehadiran anak mereka, Xiao Fan, semakin memperumit hubungan yang penuh ketegangan.

Saat Feng Niu tergoda oleh pria lain dan Ji Chen diam-diam menanggung sakit hatinya, dunia mereka mulai runtuh oleh perselingkuhan, kebohongan, dan skandal yang mengancam reputasi keluarga. Namun waktu memberi kesempatan kedua: sebuah kesadaran, perubahan, dan perlahan muncul cinta yang hangat di antara mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

14

Tangisan tidak selalu keras. Kadang ia hanya berupa napas tersengal, suara kecil yang terputus-putus, seperti seseorang yang sudah terlalu lama menangis hingga tubuhnya lupa bagaimana caranya berhenti. Xiao Fan mulai mengenal dunia dengan cara seperti itu.

Hari-hari berlalu tanpa penanda yang jelas. Pagi, siang, malam semuanya bercampur dalam ritme yang sama: bangun, menangis, tertidur sebentar, lalu terbangun lagi dengan suara yang sama. Ji Chen hafal setiap nadanya. Tangisan lapar. Tangisan kelelahan. Tangisan yang bahkan tidak ia pahami sebabnya.

Malam itu, jarum jam menunjukkan pukul dua lewat tiga belas menit. Lampu kamar bayi menyala redup. Ji Chen berdiri sambil menggendong Xiao Fan, mengayun tubuh kecil itu perlahan, gerakan yang sama berulang-ulang seperti doa tanpa kata. “Shh… sudah… sudah…”

Suaranya serak. Tenggorokannya kering. Xiao Fan tetap menangis. Bayi itu mengepalkan tangan kecilnya, wajahnya memerah, tubuhnya kaku seolah menolak dunia yang terlalu dingin untuknya. Ji Chen menempelkan pipinya ke kepala Xiao Fan. Hangat. Berkeringat. Bau susu formula yang sedikit asam. “Papa di sini,” bisiknya. “Papa nggak pergi.”

Kalimat itu bukan untuk Xiao Fan saja. Itu juga untuk dirinya sendiri. Dari balik pintu kamar tidur utama, tidak ada suara. Feng Niu tidur atau setidaknya, berpura-pura tidur. Ji Chen tidak mengetuk. Ia sudah berhenti berharap sejak beberapa hari lalu.

Di siang hari, Feng Niu lebih sering keluar rumah. Katanya untuk “menghirup udara”. Katanya untuk “menenangkan diri”. Kadang ia pergi tanpa memberi tahu ke mana, pulang dengan wajah lelah tapi riasan tetap rapi. Ia tidak menengok Xiao Fan sebelum pergi. Dan ketika pulang…

ia langsung masuk kamar. Ji Chen tidak lagi menanyakan alasannya. Ia lelah dengan jawaban yang sama: aku belum siap.

Hari-hari pertama, Ji Chen masih mencoba mengajak Feng Niu mendekat. “Dia baru minum sedikit,” katanya suatu sore, berdiri di dekat pintu kamar. “Mungkin kalau kamu—”

“Aku sudah bilang aku tidak bisa,” potong Feng Niu tanpa menoleh dari ponselnya. “Jangan paksa aku, Ji Chen.” Nada suaranya tidak marah. Itu yang paling menyakitkan. Karena ia terdengar… kosong. Ji Chen berdiri di sana beberapa detik, lalu pergi. Sejak itu, jarak mereka tidak lagi terasa seperti konflik. Ia terasa seperti kebiasaan.

Xiao Fan tumbuh pelan. Berat badannya naik, tapi tidak banyak. Dokter bilang masih dalam batas wajar, tapi menyarankan pemantauan ekstra. “Stimulasi emosional juga penting,” kata dokter perempuan itu, ramah tapi profesional. “Kontak kulit, suara ibu, sentuhan rutin.” Ji Chen mengangguk, mencatat semua itu.

Sendirian. Ia mencoba berbicara lebih sering pada Xiao Fan. Membacakan berita bisnis dengan suara pelan. Menggumamkan lagu anak-anak yang bahkan ia tidak yakin nadanya benar. Kadang Xiao Fan berhenti menangis. Kadang tidak. Tapi setiap kali Feng Niu masuk ruangan, tangisan itu berubah. Lebih keras. Lebih tajam. Seolah tubuh kecil itu sudah belajar membedakan siapa yang membuatnya aman… dan siapa yang tidak.

Suatu sore, Feng Niu berdiri di ambang pintu kamar bayi. Ia menatap Xiao Fan dari jauh, ekspresinya campur aduk rasa asing, tidak nyaman, sedikit terganggu. “Kenapa dia selalu menangis?” tanyanya. Ji Chen sedang mengganti popok. Tangannya berhenti sesaat. “Karena dia bayi,” jawabnya datar.

Feng Niu mengerutkan kening. “Aku nggak pernah lihat bayi lain seperti ini.” Ji Chen mengangkat kepala. Tatapan mereka bertemu. “Apa maksudmu?” tanyanya pelan. Feng Niu mengangkat bahu. “Mungkin dia terlalu manja.”

Kata itu jatuh salah. Sangat salah. “Dia baru lahir,” kata Ji Chen, suaranya rendah tapi bergetar. “Dia bahkan belum tahu apa itu manja.” Feng Niu mendengus kecil, lalu berbalik. “Aku pusing. Aku keluar sebentar.”

Pintu tertutup. Xiao Fan menangis lebih keras. Ji Chen menarik napas panjang, lalu menggendong anaknya lagi. Dadanya terasa sesak, tapi ia menahannya. Tidak sekarang. Tidak di depan anaknya.

Malam-malam berikutnya menjadi semakin berat. Xiao Fan sering terbangun setiap satu atau dua jam. Tangisannya menggema di rumah besar yang terlalu sunyi. Ji Chen tidur di sofa kamar bayi. Punggungnya pegal. Kepalanya sering berdenyut. Tapi ia tidak pindah. Ia takut. Takut jika ia pergi sebentar saja, Xiao Fan akan menangis sendirian. Dan entah kenapa… takut jika suatu hari ia bangun dan menyadari bahwa ia sudah terbiasa sendirian.

Madam Fu datang lagi beberapa hari kemudian. Ia tidak banyak bicara. Hanya duduk sebentar, mengamati cucunya, lalu mengamati putranya. “Berat badannya naik?” tanyanya. “Sedikit,” jawab Ji Chen. Madam Fu mengangguk. Tatapannya berpindah ke lorong menuju kamar Feng Niu. “Dia masih belum menyentuh anaknya?” tanyanya pelan.

Ji Chen tidak menjawab. Diamnya cukup. Madam Fu berdiri. Ia merapikan lengan bajunya, lalu berkata, “Aku akan berbicara dengan ibunya.” Ji Chen menoleh cepat. “Tidak usah.” Madam Fu menatapnya. “Kamu melindunginya?”

Ji Chen menggeleng. “Aku hanya… tidak ingin semuanya semakin buruk.” Madam Fu terdiam sejenak, lalu mengangguk tipis. “Kamu terlalu baik,” katanya. Bukan pujian.

Hari itu, Feng Niu pulang larut. Aroma alkohol tipis menempel di jaketnya. Ia melepas sepatu dengan gerakan kasar, lalu berhenti ketika mendengar tangisan dari kamar bayi. “Masih?” gumamnya kesal. Ji Chen keluar kamar bayi, wajahnya lelah. “Dia demam ringan,” katanya. “Aku sudah kasih obat.”

Feng Niu menatapnya beberapa detik. Ada sesuatu di matanya rasa bersalah yang nyaris muncul, lalu tenggelam lagi. “Oh,” katanya singkat. “Aku capek. Aku tidur dulu.” Ia berjalan melewati Ji Chen tanpa menyentuhnya. Tanpa menoleh ke arah tangisan itu.

Malam itu, Xiao Fan menangis sampai suaranya serak. Dan Ji Chen duduk di lantai kamar bayi, punggung bersandar ke ranjang, memangku anaknya sambil menatap dinding kosong. Ia tidak menangis. Ia terlalu lelah untuk itu. Xiao Fan tumbuh dengan tangis. Bukan karena ia ingin. Tapi karena itulah satu-satunya cara ia tahu untuk memanggil seseorang yang seharusnya ada… tapi memilih menjauh. Dan di rumah itu, tangisan menjadi bahasa pertama yang tidak pernah benar-benar dijawab oleh semua orang.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!