SINOPSIS
Nara dan Ingfah bukan sekadar putri pewaris takhta Cankimha Corp, salah satu konglomerat terbesar di Asia. Di balik kehidupan mewah dan rutinitas korporasi mereka yang sempurna, tersimpan masa lalu berdarah yang dimulai di puncak Gunung Meru.
Tujuh belas tahun lalu, mereka adalah balita yang melarikan diri dari pembantaian seorang gubernur haus kuasa, Luang Wicint. Dengan perlindungan alam dan kekuatan mustika kuno keluarga Khon Khaw, mereka bertahan hidup di hutan belantara hingga diadopsi oleh Arun Cankimha, sang raja bisnis yang memiliki rahasianya sendiri.
Kini, Nara telah tumbuh menjadi wanita tangguh dengan wibawa mematikan. Di siang hari, ia adalah eksekutif jenius yang membungkam dewan direksi korup dengan kecerdasannya. Di malam hari, ia adalah ksatria tak terkalahkan yang bersenjatakan Busur Sakti Prema-Vana dan teknologi gravitasi mutakhir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princss Halu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kalung Mantra dan Awal Perjalanan
Patan berhasil menjual seluruh hasil panennya. Uang yang terkumpul cukup untuk modal awal mereka memulai hidup baru dan biaya kepindahan ke rumah Nenek Bua di Ayutthaya.
Demi melindungi putrinya dari potensi bahaya yang mengintai anak indigo di dekat reruntuhan kuno, keputusan untuk pindah segera dilaksanakan.
Sebelum berangkat, Patan, Nenek Bua, dan Bibi Prang menyempatkan diri berpamitan pada Bibi Cia.
Bibi Cia, dengan wajah teduh dan penuh perhatian, mendekati Patan. Ia memberikan nasehat terakhir untuk Ingfah.
“Patan,” kata Bibi Cia, suaranya tenang.
“Pergilah ke kuil begitu sampai di Ayutthaya, dan minta biksu membuatkan kalung mantra pelindung untuk putrimu. Itu untuk melindunginya dari roh jahat.”
Sambil berbicara, Bibi Cia mengikatkan seutas benang putih yang telah diberi doa di pergelangan tangan mungil Ingfah.
“Gelang ini pelindung darurat selama di perjalanan,” jelas Bibi Cia.
“Ingat, keistimewaannya akan menarik para Roh, baik yang jahat ataupun yang tidak. Jaga putrimu baik-baik.”
Bibi Cia menatap Patan dengan tatapan penuh arti. “Setelah usianya lima tahun, kamu harus ajari dia membaca doa perlindungan, dan minta bimbingan kepada Biksu Agung di sana. Hanya doa dan bimbingan yang bisa menjinakkan takdirnya.”
Patan menerima semua nasehat itu dengan penuh rasa terima kasih dan janji. Ia memeluk Bibi Cia untuk terakhir kalinya sebelum beranjak.
Perjalanan dari Desa Ban Khun Phum menuju pinggiran Ayutthaya dimulai. Patan membawa tas berisi barang-barang mereka, sementara Nenek Bua berjalan di sampingnya. Bibi Prang menggendong Ingfah yang dibalut kain.
Ajaibnya, selama di perjalanan, Ingfah sama sekali tidak rewel. Bibi Prang menggendong bayi mungil nan lucu itu dengan hati-hati.
Sesekali Ingfah tertawa kecil, matanya mengikuti pergerakan sesuatu yang tak terlihat di atas mereka atau di pinggir jalan. Senyumnya yang tiba-tiba muncul membuat Patan dan Bibi Prang saling pandang, tahu bahwa Ingfah sedang ditemani oleh 'teman-teman' tak kasat mata.
Air gula selalu siap di dekat Bibi Prang, takut Ingfah rewel atau haus. Namun, bayi itu hanya tidur dan sesekali tertawa kecil, menikmati perjalanan.
Saat mereka memasuki area pinggiran kota Ayutthaya, di mana pohon-pohon besar dan kuil-kuil tua mulai terlihat, Patan merasakan hatinya sedikit lebih tenang. Meskipun kota ini masih memiliki sejarah spiritual yang kental, Patan berharap kehidupan barunya akan lebih aman dan stabil bagi Ingfah.
Nenek Bua menunjuk sebuah rumah kayu sederhana di kejauhan.
“Itu rumah kita, Patan. Mari kita mulai hidup baru di sana.”
Saat mereka melangkah masuk, energi rumah itu terasa berbeda. Patan berdoa dalam hati, semoga rumah Nenek Bua ini akan menjadi tempat yang aman bagi Ingfah, tempat di mana takdir indigo-nya bisa dibimbing, bukan dikutuk.
Mereka akhirnya tiba di rumah Nenek Bua. Rumah kayu sederhana itu terasa sejuk dan damai. Lingkungan di pinggiran Ayutthaya ini terasa lebih hidup dibandingkan dengan desa terpencil yang mereka tinggalkan.
Begitu Ingfah dibaringkan di tikar yang hangat, si bayi indigo itu mulai merasakan dan berinteraksi dengan energi di sekelilingnya.
Rumah Nenek Bua bukanlah tempat kosong. Ia dijaga oleh beberapa Roh Penjaga Rumah yang sudah lama bersemayam di sana. Roh-roh itu tidak jahat. Mereka adalah roh leluhur dan beberapa roh keluarga yang sudah meninggal, yang kini bertugas menjaga kedamaian dan keselamatan rumah tangga tersebut.
Ingfah, yang indra keenamnya sangat peka, merasakan kehadiran mereka.
Ia tidak menangis. Sebaliknya, Ingfah menatap sudut-sudut ruangan, matanya mengikuti bayangan tipis yang hanya ia yang bisa lihat.
Tangan mungilnya terulur, seolah menyentuh helaian pakaian kuno. Patan dan Nenek Bua melihat senyum kecil muncul di bibir Ingfah saat ia berinteraksi, menandakan roh-roh itu ramah dan penuh kasih.
Di antara roh-roh itu, ada satu yang kehadirannya terasa paling hangat dan melindungi: Roh Kon Khaw, ibu Ingfah.
Kon Khaw, yang jiwanya terikat kuat oleh cinta pada putrinya, tak pernah benar-benar meninggalkan Ingfah sejak malam kelahiran itu. Ia selalu ada, menjadi selimut spiritual yang mengawasi setiap tarikan napas putrinya.
Saat Ingfah mulai rewel karena lapar, Patan dan Nenek Bua segera sibuk menyiapkan susu kambing. Tetapi sebelum mereka berhasil memberikannya, tangisan Ingfah mereda. Ia menatap ke udara kosong di atasnya, matanya memancarkan kilatan indigo yang lembut. Ia mulai menyusu dari botol dengan tenang, seolah Kon Khaw telah menenangkannya sejenak.
Nenek Bua memperhatikan fenomena itu dengan kening berkerut.
“Kon Khaw ada di sini, Patan,” bisik Nenek Bua, matanya basah.
“Aku bisa merasakannya. Dia menjaga Ingfah.”
Patan menatap putrinya, merasakan campuran antara kesedihan mendalam dan kelegaan luar biasa. Ia tahu bahwa meskipun Ingfah adalah anak indigo dengan takdir berat, ia tidak sendiri. Ia dikelilingi oleh cinta dan perlindungan, baik yang kasat mata maupun yang tidak.
****
Malam itu, setelah Ingfah tertidur, Patan teringat pesan penting dari Bibi Cia.
“Bu, besok aku harus segera ke kuil. Aku harus meminta Biksu Agung membuatkan kalung mantra pelindung untuk Ingfah, sesuai pesan Bibi Cia.”
Nenek Bua mengangguk. “Itu harus dilakukan. Perlindungan spiritual sama pentingnya dengan makanan dan tempat tinggal.”
Malam itu, Patan menghabiskan waktu menjaganya, ia tidak benar-benar tidur.
Keistimewaan Ingfah membuatnya tetap waspada. Walaupun ia tahu di rumah ibunya putrinya aman dari gangguan Roh jahat, Patan tetap berjaga, merasa bertanggung jawab penuh atas takdir Ingfah. Sesekali ia melihat Ingfah tersenyum atau menoleh ke sudut ruangan, yang menguatkan keyakinannya bahwa Kon Khaw atau leluhur lain sedang menjaganya.
***
Saat pagi menjelang, Patan tertidur di sisi putrinya. Ia terbangun ketika tangan mungil Ingfah merayap di wajahnya. Ingfah sudah terbangun, matanya yang bulat menatap ayahnya, dan ia tertawa kecil, suara tawa yang manis dan merdu.
Patan tersenyum, hatinya terasa hangat. Ia mengecup dahi putrinya.
“Selamat pagi, putri Ayah,” bisiknya.
Tak lama kemudian, Bibi Prang masuk ke kamar. Ia berbisik pada Patan, meminta izin untuk memandikan bayi lucu itu.
“Aku akan memandikannya dengan air hangat, lalu mengajaknya ke teras depan sebentar,” kata Bibi Prang.
“Ingfah harus mendapat sinar matahari pagi yang bagus untuk menjaga daya tahan tubuhnya.”
Patan setuju. “Hati-hati, Bibi Prang. Jaga dia baik-baik.”
Setelah menyerahkan Ingfah pada Bibi Prang, Patan segera menemui ibunya. Nenek Bua sudah sibuk di dapur menyiapkan sarapan.
“Bu, aku akan pergi ke Kuil Wat Phra Si Sanphet sekarang. Aku harus melaksanakan amanah Bibi Cia,” ujar Patan.
Nenek Bua mengangguk. “Ya, pergilah. Minta kalung itu segera. Sampaikan bahwa putrimu adalah anak yang istimewa, Nak.”
Patan segera bersiap. Ia memakai pakaian terbaiknya dan membawa persembahan sederhana untuk kuil. Ia tahu, Ayutthaya yang kini sepi adalah tempat suci bagi para biksu. Ia harus menemukan Biksu Agung yang tepat untuk memohon perlindungan bagi Ingfah.
___________________
Di Kuil Wat Phra Si Sanphet
Setelah berjalan cukup jauh, Patan tiba di kuil besar yang sudah tua, Kuil Wat Phra Si Sanphet.
Setelah memberi penghormatan, ia berhasil bertemu dengan seorang Biksu Agung yang bijaksana, dengan mata yang tampak mengetahui segala rahasia dunia.
Patan berlutut dan menjelaskan segalanya: kelahiran Ingfah di tengah badai, kepergian istrinya, kilatan indigo di mata putrinya, dan pesan dari Bibi Cia.
Biksu Agung mendengarkan dengan saksama, sesekali menutup mata.
“Anak Indigo,” ucap Biksu itu perlahan setelah Patan selesai bercerita. “Mereka adalah jembatan antara dunia fana dan spiritual. Mereka terlahir dengan beban besar, tetapi juga kekuatan besar.”
Biksu Agung mengangguk. “Aku akan membuatkan kalung perlindungan itu untuk putrimu, Ingfah.”
Biksu itu kemudian menjelaskan, “Kalung ini hanya akan melindungi tubuhnya dari sentuhan roh jahat, tapi tidak dapat menghilangkan kemampuannya. Kemampuan itu adalah takdirnya. Kau harus mengajarkannya untuk mengendalikan, bukan menolak.”
“Ajari dia untuk berbuat baik. Kebajikan adalah perisai terkuat. Semakin ia tulus, semakin damai roh yang mendekatinya,” lanjut Biksu Agung, memberikan Patan pemahaman baru.
Patan merasa tercerahkan. Ia berjanji akan mengikuti semua bimbingan tersebut. Setelah menerima kalung mantra sederhana yang terbuat dari tali dan liontin kecil bertuliskan aksara suci, Patan segera kembali ke rumah, membawa serta harapan dan perlindungan baru untuk putrinya.
Patan tiba di rumah dan segera memakaikan kalung mantra yang diberikan Biksu Agung pada leher Ingfah. Kalung itu tampak kontras dengan kulit Ingfah yang bersih, memberikan rasa aman secara spiritual kepada Patan.
Setelah itu, Patan diajak sarapan bersama Bibi Prang dan Nenek Bua. Patan makan sambil menggendong putrinya, Ingfah, yang kini tenang dengan kalung barunya. Patan tidak merasa kesulitan; ia sudah mulai terbiasa melakukan dua hal sekaligus.
Setelah sarapan, Nenek Bua bertanya tentang rencana Patan selanjutnya, perihal bagaimana mereka akan bertahan hidup.
Patan menjelaskan dengan sorot mata penuh tekad. “Aku akan kembali berkebun di tanah warisan Bapak, Bu. Tanah itu subur dan hasilnya bisa kita jual di pasar untuk menghidupi kita semua.”
Ia menatap ibu dan bibinya dengan rasa penyesalan. “Aku akan menjaga Ibu, Bibi, dan Ingfah di sini. Kita akan mulai dari awal. Maaf, dulu aku pergi padahal tanah warisan Bapak itu tidak ada yang merawat.”
Nenek Bua tersenyum lembut, tangannya membelai kepala Patan.
“Tidak apa-apa, Nak. Ibu senang kamu mandiri dan bertanggung jawab dengan keluargamu.”
Bibi Prang menimpali, suaranya bijak. “Benar, Patan. Lagipula Bibi juga masih bisa bekerja di ladang. Kami baik-baik saja. Seorang laki-laki harus bertanggung jawab dengan keluarganya jika mereka sudah menikah. Kita, orang tua, sudah selesai dengan tugas kita.”
Patan merasa terharu dengan sikap mereka.
“Tapi, Bi, Bapak sudah tidak ada. Aku berkewajiban menjaga kalian.”
“Berkewajiban menjaga jika kamu belum berkeluarga,” potong Bibi Prang dengan tegas namun penuh kasih.
“Jika sudah, kamu jaga keluargamu, yaitu putrimu. Sekarang kamu bisa menjaga kami, dan kami akan membantu menjaga putrimu. Kita akan saling membantu.”
Kata-kata Bibi Prang melegakan hati Patan. Ia tidak lagi merasa terbagi. Tugas utamanya adalah Ingfah, dan dengan dukungan penuh dari ibu dan bibinya, ia bisa fokus mengurus ladang warisan yang akan menjadi sumber penghidupan mereka.
Patan mengangguk mantap, siap untuk hari-hari kerja keras di tanah Ayutthaya.
Di pangkuannya, Ingfah menatap kalung mantra di lehernya, lalu menatap Patan dengan mata yang memancarkan kilatan indigo sekilas, seolah mengerti semua janji dan harapan yang ada.
—****—
Patan mulai bekerja keras di kebun warisan mendiang ayahnya. Ia mulai menanam ubi, cabai, tomat, dan berbagai hasil bumi lain yang bisa ia jual atau tukar dengan beras. Di desa itu, sistem barter masih sering dilakukan, dan Patan memanfaatkan kesuburan tanahnya sebaik mungkin. Berkat kegigihan Patan dan bantuan Nenek Bua yang mengelola hasil kebun, mereka tidak kekurangan apa pun, cukup untuk menghidupi mereka berempat.
Sementara Patan sibuk bekerja, Ingfah tumbuh di bawah asuhan penuh kasih Nenek Bua dan Bibi Prang. Rumah itu dipenuhi dengan aroma masakan dan lantunan doa yang menenangkan.
Menginjak usia satu tahun, Ingfah mulai merangkak dan mengoceh. Namun, ocehannya seringkali tidak ditujukan kepada Nenek Bua atau Bibi Prang, melainkan kepada sudut ruangan, ke udara kosong, atau ke balik pintu.
Ingfah memiliki teman-teman tidak terlihat.
Nenek Bua dan Bibi Prang sering melihat Ingfah tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk-nunjuk sesuatu yang tak ada. Ingfah akan merangkak cepat ke suatu tempat, menjulurkan tangan mungilnya seolah ingin meraih mainan, padahal mainan itu tidak ada di sana.
Suatu sore, Nenek Bua sedang menjahit sambil mengawasi Ingfah bermain di teras. Ingfah tiba-tiba berhenti merangkak, duduk tegak, dan mulai berbicara dengan bahasa bayi yang panjang, seolah sedang bercerita serius kepada seseorang.
“Gagaga... Dadada...” oceh Ingfah, menatap ke arah tempat duduk kosong di samping Nenek Bua.
Nenek Bua, yang sudah menerima takdir cucunya, tidak panik. Ia hanya berbisik pelan, “Siapa yang kau ajak bicara, Cucu? Apakah itu Kakekmu?”
Seolah mengerti, Ingfah menoleh ke Nenek Bua, mengangguk, dan kembali mengoceh ke tempat kosong itu.
Bibi Prang, yang baru datang membawa teh, melihat pemandangan itu. Ia hanya bisa menggeleng pelan.
“Dia benar-benar melihat mereka, Bu. Dia tidak pernah menangis lagi sejak kita pindah ke sini,” kata Bibi Prang, merasa lega sekaligus ngeri.
“Iya, Prang. Mungkin roh-roh di sini baik, atau kalung biksu itu bekerja dengan baik,” jawab Nenek Bua.
“Atau mungkin, ibu dan leluhurnya selalu menjaganya. Ingfah aman di rumah ini, setidaknya dari roh-roh jahat.”
Patan, yang pulang dengan tubuh lelah di sore hari, akan selalu disambut tawa Ingfah yang riang saat bermain dengan teman-teman tak terlihatnya. Meskipun Patan merasa sedih karena putrinya tidak memiliki teman bermain sesama anak kecil, ia bersyukur Ingfah tidak kesepian.
Mereka tahu, seiring bertambahnya usia Ingfah, interaksi ini akan menjadi lebih jelas, dan tantangan yang akan Patan hadapi untuk membesarkan anak indigo akan semakin besar.