Ardina Larasati, sosok gadis cantik yang menjadi kembang desa di kampung Pesisir. Kecantikannya membuat seorang Regi Sunandar yang merupakan anak pengepul ikan di kampung itu jatuh hati dengannya.
Pada suatu hari mereka berdua menjalin cinta hingga kebablasan, Ardina hamil, namun bukannya tanggung jawab Regi malah kabur ke kota.
Hingga pada akhirnya sahabat kecil Ardina yang bernama Hakim menawarkan diri untuk menikahi dan menerima Ardina apa adanya.
Pernikahan mereka berlangsung hingga 9 tahun, namun di usia yang terbilang cukup lama Hakim berkhianat, dan memutuskan untuk pergi dari kehidupan Ardina, dan hal itu benar-benar membuat Ardina mengalami gangguan mental, hingga membuat sang anak yang waktu itu berusia 12 tahun harus merawat dirinya yang setiap hari nyaris bertindak di luar kendali.
Mampukah anak sekecil Dona menjaga dan merawat ibunya?
Nantikan kelanjutan kisahnya hanya di Manga Toon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Regi masih menatap gadis kecil yang tengah menikmati makanan sederhana itu, bukan lagi sederhana melainkan ala kadarnya, pria itu menelan ludahnya sendiri, hatinya terus menerus digerus kenyataan pahit akibat ketidak bertanggung jawabannya terhadap sebuah takdir.
"Om kenapa lihatin aku makan terus?" tanya anak itu dengan polosnya. "Memangnya Om lapar, nasiku tinggal segini," lanjut Dona.
Regi hanya terdiam ingin sekali mulutnya berkata, namun lidahnya terasa keluh.
"Kok Om diam lagi?" Dona memiringkan kepalanya, rasa lelah nampak sekali di wajahnya, keringat mulai mengucur di tubuhnya, setelah menjemur beberapa pakaian tadi.
Namun kelelahan itu tidak menghapus kelembutan hati anaknya, ia masih tetap peduli dan berusaha berbagi di tengah kekurangannya.
"Ya sudah Om kalau gitu kita makan bersama," ajaknya ringan seolah nasi yang berpiring daun pisang itu cukup untuk dibagi dua.
Regi menunduk, tangannya gemetar, ketika menerima nasi yang disodorkan oleh anak itu.
"Kamu capek Dona?" Regi akhirnya membuka suara meskipun terdengar getarannya.
Dona mengangguk dengan senyuman. "Capek sih Om, tapi sudah biasa, ibukku sakit sudah hampir tiga tahun," ucapnya sambil menyendokkan nasi. "Tapi setelah itu capeknya hilang jika sudah makan," lanjutnya kembali.
Kata-kata itu polos dan terdengar sederhana, namun menghantam hati Regi lebih keras, ia tidak bisa membayangkan bagaimana anak sekecil ini harus bertahan hidup, melawannya dinginnya kehidupan tanpa pelukan dari orang terdekat.
Jangankan orang lain, dia sendiri, orang yang membuat anak itu hadir ke dunia, lari tanpa jejak meninggalkan dua perempuan yang seharusnya ia rangkul ia lindungi dari dinginnya malam dan kerasnya badai kehidupan.
Regi menatapnya lekat. Ada perasaan asing mencengkram dadanya, rasa ingin melindungi yang muncul terlambat.
“Om nggak lapar,” kata Regi pelan.
Dona mengernyit. “Masa sih? Perut kosong itu nggak enak, Om,” katanya sambil menyuapkan sesendok nasi ke arah Regi dengan tangan kecilnya.
Gerakan itu begitu tulus dan spontan, Regi terpaku. Untuk sesaat, ia tak lagi melihat gadis kecil penjual ikan bakar di pantai, melainkan seorang anak yang sedang belajar jadi dewasa terlalu cepat, tanpa ayah, tanpa pelukan, hanya bermodal kesabaran kecil yang luar biasa.
Ia menerima suapan itu dengan jari bergetar.
Di saat nasi hambar menyentuh lidahnya, sesuatu jatuh di pipinya, air mata, dia tahu ini terlambat, tapi masih ada waktu panjang untuk diperbaiki.
"Don, kamu mau gak Om ajak jalan-jalan setelah makan selesai," ucap Regi memberanikan diri.
Dona terkejut, selama hidup ia tidak pernah di ajak jalan-jalan oleh siapapun, terakhir pas ia kecil itupun di pasar malam, karena ayah sambungnya pada waktu itu dapat rejeki, tapi ia tidak bisa menikmati wahana sepuasnya karena kata ibunya uangnya tidak cukup.
"Ke pasar malam ya Om," sahut anak itu dengan cepat.
"Pasar malam memangnya masih ada," sahut Regi sambil mengernyitkan dahinya.
"Ya terus kalau tidak pasar malam, kita jalan-jalan ke mana?" tanya anak itu polos.
Pertanyaan Dona benar-benar menyayat hati pria itu, bahkan gadis kecilnya yang seharusnya hidup dalam bergelimangan harta, tidak tahu dengan indahnya dunia luar, yang dia tahu hanya wahana pasar malam yang menurutnya begitu rendah dan tidak sepadan dengan kehidupan mewahnya.
"Don," panggil Regi dengan suara bergetar.
"Iya Om," sahut anak itu.
"Kamu mau gak Om ajak ke Mall," kata Regi hati-hati.
Diam tak ada jawaban anak kecil itu seolah berpikir dengan kata-kata yang asing di dengar oleh telinganya itu.
“Kamu mau nggak Om ajak ke mall?” ulang Regi hati-hati, seolah takut satu katanya saja bisa melukai perasaan gadis kecil di depannya.
Dona terdiam kembali seolah satu kata itu benar-benar asing. “Mall itu… apa, Om?” tanyanya lugu.
Regi tercekat. Ia menatap wajah kecil itu lebih lama, mata yang terlalu dewasa untuk usia bocah, pipi cekung karena sering menahan lapar, dan senyum yang selalu dipaksakan agar ibunya baik-baik saja.
Sementara di dunia Regi, mall adalah tempat biasa, ruang penuh cahaya, etalase mewah, aroma kopi mahal. Namun bagi Dona, kata itu bahkan belum pernah menjadi bagian dari ingatannya.
“Mall itu… tempat banyak toko,” jawab Regi pelan. “Tempat jalan-jalan juga.”
“Oh…” Dona mengangguk kecil. “Kayak pasar ya, Om?”
Regi memejamkan mata sesaat.
Iya… hanya “seperti pasar” bagi Dona bukan simbol kemewahan, bukan tempat rekreasi, hanya ruang belanja yang tak jauh beda dari pasar sederhana yang sering ia datangi.
Di wajah gadis kecil itu muncul ragu. Ia menunduk, memandangi piring daun pisang yang kini sudah hampir kosong.
“Ke sana… bayar, kan?” tanyanya lirih.
Pertanyaan itu menusuk lebih kejam daripada sayatan manapun.
“Bayar…” Regi mengulang pelan, dadanya seperti diremas. “Kenapa tanya begitu?”
Dona mengangkat bahu kecilnya.
“Soalnya kalau bayar Dona nggak punya uang lagi, Om. Uang tadi harus di simpan untuk pengobatan Ibu berikutnya, Dona ingin Ibu sembuh Om," Dona berkata datar, dengan sedikit senyum seolah kekurangan sudah menjadi hal yang biasa.
Regi menutup mulutnya, menahan isak.
Anak sekecil ini, harus memikul beban bagaimana cara bertahan hidup sendirian, menumpulkan uang untuk ibunya, bahkan ia masih memikirkan biaya sebelum memikirkan bahagia.
“Nggak perlu bayar, Don,” kata Regi cepat, suaranya nyaris pecah. “Om yang bayarin semuanya.”
Mata Dona membulat. “Beneran?” tanyanya tak percaya. “Semua?”
Regi mengangguk. "Iya."
Dona terdiam cukup lama, lalu senyum kecil muncul di bibirnya—senyum polos, tapi bercampur kebingungan.
“Kalau gitu… Dona boleh lihat mainan nggak, Om?” tanyanya ragu, seolah takut permintaannya terlalu besar.
“Boleh,” sahut Regi tanpa ragu.
“Boleh pegang juga?”
“Boleh.”
“Boleh naik tangga yang berjalan sendiri itu?” tanyanya lagi, semakin semangat. “Dona pernah lihat di TV, tangganya jalan sendiri.”
"Eskalator itu Nak," sahut Regi.
"Hah ... eskalator, tangga berjalan sendiri itu?" tanyanya kembali memastikan.
"Iya," sahut Regi.
"Nanti aku bisa gak naik, takut jatuh," ucapnya lagi.
Dada Regi kembali sesak. Hal-hal yang bagi anak lain merupakan keseharian, bagi Dona adalah sesuatu yang hanya bisa dibayangkan lewat layar kecil televisi warung tetangga.
“Nanti Om pegangi dan kamu boleh melakukan semuanya,” ucap Regi tegas.
Namun tiba-tiba senyum Dona memudar.
Ia menoleh ke rumah kayu reyot di belakangnya.
“Tapi… gimana dengan rumah ini?” tanyanya perlahan. “Kalau Dona pergi, rumahnya kosong, Ibu sudah tidak ada."
Regi terdiam, di sinilah luka itu terasa paling tajam, bahkan ketika ditawari kebahagiaan, pikiran pertama Dona tetap tentang ibunya.
“Kita sebentar saja, Don,” kata Regi menahan getar. “Nanti cepat pulang lagi.”
Dona menggigit bibirnya ragu, lalu mengangguk kecil. “Ya sudah… sebentar saja.”
Ia berdiri, membersihkan jari-jarinya di ujung dengan bajunya yang lusuh, lalu menatap Regi dengan mata berbinar malu-malu.
"Don, gak cuci tangan?" tanya Regi pelan.
"He he, udah biasa om, lagian sabunnya sudah habis, Dona belum beli," sahut anak itu.
Lagi-lagi ia harus menahan bulir yang hampir terjatuh. "Ya sudah ayo kita jalan."
“Terima kasih, Om…”
Dua kata itu menjatuhkan benteng terakhir di hati Regi. Anak ini berterima kasih, kepada lelaki yang seharusnya jadi tempat pertama ia bersandar sejak lahir.
Regi menoleh ke arah laut yang samar terlihat dari kejauhan. Napasnya bergetar.Ia membatin lirih:
"Aku terlalu lama kabur… tapi Tuhan masih memberiku satu kesempatan."
Kesempatan untuk menebus kehilangannya selama ini, dan di sampingnya sudah ada Dona, gadis kecil yang tersenyum polos, menampakkan kebahagiaannya ketika tangan kokoh itu menggandeng tangannya.
Bahkan ia tidak menyadari jika tangan yang menggandengnya itu tak lain adalah ayah kandungnya, seseorang yang seharusnya mengenalkan ia kepada dunia untuk pertama kalinya, namun justru menghilang dalam kehidupannya selama ini.
Bersambung ....
Selamat Siang ... semoga suka ya dengan part ini, dan selalu temani perjalanan Dona ya! See you bye bye 🥰🥰🥰🥰🙏🙏🙏🙏
pergi jauh... ke LN barangkali setelah sukses baru kembali,,tunjukkan kemampuanmu.
semangat......