Amel Fira Azzahra gadis kecil yang memiliki wajah sangat cantik, mempunyai lesuk pipi, yang di penuhi dengan kasih sayang oleh kedua orang tuanya. Namun sayang kebahagian itu tidak berlangsung lama. Setelah meninggalnya Ibu tercinta, Amel tidak lagi mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya. Bapaknya selalu bekerja di luar kota. Sedangkan Amel di titipkan ke pada Kakak dari Bapaknya Amel. Tidak hanya itu, setelah dewasa pun Amel tetap menderita. Amel di khianati oleh tunangannya dan di tinggal begitu saja. Akankah Amel bisa mendapatkan kebahagiaan?
Yukk ikuti terus ceritanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aretha_Linsey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9 Tekanan Di Balik Perhatian
Amel terasa seperti bara panas di dalam saku seragamnya. Sejak Udin berhasil mendapatkan nomornya, benteng pertahanan Amel, yang ia bangun kokoh sejak kematian ibunya, mulai terkikis. Udin mengirimkan pesan tanpa henti: pagi, siang, dan malam.
"Amel sudah sarapan belum?"
"Jangan lupa belajar yang rajin."
"Kamu terlihat pucat, istirahat ya." Perhatian itu, yang selalu ia dambakan sejak Ibu tiada, kini terasa mencekik.
Sebagian dirinya—bagian yang masih kecil dan merindukan kasih sayang—merasa terharu. Udin adalah satu-satunya orang dewasa yang menunjukkan bahwa ia peduli pada Amel. Namun, sebagian besar dirinya, yang sudah dipaksa dewasa oleh keadaan, merasa terbebani. Ia merasa setiap detiknya kini harus ia laporkan, seolah-olah ia telah menjadi milik orang lain.
Setibanya di rumah sepulang sekolah, Amel buru-buru menenangkan Alan yang menangis. Bocah berusia 8 tahun itu kini sudah bisa berjalan dan berbicara, namun tetap membutuhkan pengasuhan penuh. Setelah memberikan cemilan dan memastikan Alan sibuk dengan mainannya, Amel bergegas ke sudut kamar sempitnya. Paket-paket olshop harus segera dipilah dan di-packing sebelum toko ekspedisi tutup.
"Heh, Amel!" Suara melengking Ulfiana, sepupu Amel, selalu mendahului kehadirannya. Ulfiana berdiri di ambang pintu, matanya menyapu paket-paket yang berserakan.
"Mulai lagi, kamar sempit ini kau jadikan gudang! Kau pikir ini rumahmu sendiri? Itu piring kotor bekas sarapan, cepat bersihkan!" bentak Ulfiana, nadanya selalu penuh hinaan, seolah Amel adalah jelaga yang harus ia sapu setiap hari.
Amel buru-buru menutup kotak paketnya. "Iya, Bak. Setelah aku packing ini sebentar. Ini pesanan mendesak," jawab Amel, berusaha menjaga nada suaranya agar tetap datar.
"Setelah? Setelah selalu berarti nanti! Dasar anak numpang, tak tahu diri! Kau cuma fokus pada uangmu sendiri, tapi rumah kami kau biarkan kotor! Kau kira siapa yang membayar listrik di sini, hah? Bapakmu yang merantau setahun sekali pulang itu?" Ulfiana meludah di ambang pintu, jijik.
Amel terdiam, tangannya mengepal di balik rok seragam. Hatinya perih, tapi ia tahu melawan hanya akan memperburuk keadaan. Ia segera mencium kening Alan, lalu bergegas ke dapur, air matanya sudah menumpuk di pelupuk mata. Ia mengambil kain lap dan mulai menyeka sisa-sisa makanan di meja, berusaha menyingkirkan bayangan Ulfiana dari benaknya. Perkataan Ulfiana adalah racun yang ia telan setiap hari, dan tidak ada yang bisa ia lakukan selain menelan ludah dan terus bekerja.
Saat Amel selesai mencuci piring, ponselnya bergetar. Udin.
"Lama sekali membalas! Aku tahu kamu sudah pulang sekolah. Kamu sedang apa? Jangan terlalu lelah, Amel. Itu tidak baik," isi pesan Udin.
Amel membalas singkat, "Lagi bersih-bersih rumah."
Balasan Udin datang cepat. "Jangan kerjakan itu. Itu bukan tugasmu. Kamu harus istirahat, kamu sudah terlalu banyak bekerja. Biarkan saja mereka membersihkannya sendiri."
Pesan Udin, alih-alih menenangkan, justru memicu kemarahan dingin Amel. Udin tidak tahu apa-apa tentang aturan di rumah ini. Udin tidak tahu jika Amel tidak membersihkan, ia akan diusir. Namun, Amel tidak membalas. Ia hanya mematikan data selulernya untuk sementara.
Keesokan harinya, Udin muncul lagi di depan gerbang sekolah. Kali ini, ia tidak membawa kue, tetapi seikat bunga mawar putih dan sebuah kantong plastik berisi lauk pauk siap saji.
"Hei, Amel! Kamu sudah selesai sekolah? Jangan terburu-buru, ini untuk kamu. Aku tahu kamu pasti lelah. Bawa ini pulang, biar kamu tidak perlu repot-repot masak untuk adikmu," kata Udin dengan senyum menawan.
Amel terkejut melihat lauk pauk yang sudah matang itu. "Terima kasih, Din. Tapi kamu tidak perlu repot-repot begini."
"Tidak repot sama sekali. Justru aku senang melihatmu senang." Udin mendekat, menurunkan volume suaranya.
"Aku lihat kamu terlalu lelah. Aku tidak suka kamu terlalu capek mengurus rumah orang. Kamu fokus saja pada sekolah dan diriku."
Kata-kata itu lagi. 'Fokus pada diriku.'
"Aku harus kerja, Din. Alan butuh makan, aku butuh uang sekolah."
"Itu urusan gampang. Aku bisa mencarikanmu uang. Aku bisa membiayai sekolahmu. Kamu hanya perlu fokus padaku. Itu saja." Udin mencondongkan tubuhnya, tatapannya kini berubah, dari sekadar kagum menjadi menuntut.
Amel merasakan kebaikan Udin seperti jerat yang terbuat dari sutra.
"Aku tidak butuh bantuanmu. Aku hanya butuh kamu tidak terlalu ikut campur urusanku," tegas Amel. Ia meraih kantong lauk pauk dan bunga itu, kemudian berbalik. Ia tidak mau menatap mata Udin lebih lama.
Sore itu, Amel memberanikan diri meminta Udin mengantarnya ke desa sebelah, tempat makam ibunya. Amel tidak pernah bercerita tentang ibunya, tetapi Udin somehow tahu semua tentang dirinya, yang makin menambah rasa cemas Amel.
Di pemakaman, Amel duduk di tepi makam Ibunya. Udin berdiri sedikit jauh, pura-pura memberi privasi.
"Bu, Amel lelah. Amel kangen Ibu," bisiknya, air mata jatuh membasahi gundukan tanah. "Di rumah ada Ulfiana dan Bibi yang menekan. Di sekolah ada tugas, dan sekarang ada Udin. Amel tidak tahu harus bagaimana, Bu."
Saat Amel sedang larut dalam duka, Udin mengeluarkan ponselnya. Ia mengambil beberapa foto Amel dari kejauhan. Bukan foto Amel yang tersenyum, tapi foto Amel yang sedang menangis, dengan punggung membungkuk dalam kesedihan.
Malam itu, setelah Alan tidur dan rumah mulai sunyi, Amel membuka ponselnya. Udin menelepon.
"Kenapa kamu tidak segera balas pesanku, Amel? Kamu sedang apa? Aku lihat kamu online. Kamu membalas pesan siapa?" Suara Udin di ujung telepon terdengar menuntut, tidak lagi ramah seperti biasa.
"Aku sedang membalas pesan pelanggan, Din. Aku harus kerja. Ada banyak orderan hari ini," jawab Amel sabar.
"Tutup saja olshopmu itu. Aku bisa mencarikanmu uang, Amel. Aku sudah bilang, aku tidak suka kamu terlalu fokus pada ponselmu selain denganku. Kamu terlalu banyak membuang waktu untuk urusan tidak penting!"
"Kamu pikir kamu siapa, menyuruh-nyuruh aku? Aku kerja keras untuk sekolahku! Ini bukan urusanmu!" Amel tidak bisa lagi menahan diri. Ia telah didikte sepanjang hari oleh Ulfiana, dan kini giliran Udin.
"Aku hanya ingin melindungimu, Amel! Aku mencintaimu!"
Amel terdiam, jantungnya berdebar kencang. Itu adalah kali pertama Udin mengucapkan kata-kata itu dengan nada yang dingin dan mengancam. Amel merasa ketakutan, bukan terharu.
"Aku tidak mengenalmu. Jangan pernah bicara seperti itu lagi. Selamat malam, Din." Amel segera menutup telepon dan mematikan data ponselnya.
Ia menarik selimut hingga ke dagu, tetapi rasa takut sudah merayap di dadanya. Perhatian Udin yang selama ini ia anggap sebagai 'kebetulan baik', kini terasa seperti jaring yang siap menjerat. Amel tahu ia telah membiarkan orang asing masuk ke dalam kehidupannya yang rentan. Ia merindukan ayahnya, merindukan pelukan ibunya. Dalam kesunyian malam, ia menyadari bahwa penderitaannya tidak akan pernah berakhir.