Sejak bayi, Kim Areum menghilang tanpa jejak, meninggalkan tiga kakaknya—Kim Jihoon, Kim Yoonjae, dan Kim Minjoon—dengan rasa kehilangan yang tak pernah padam. Orang tua mereka pergi dengan satu wasiat:
"Temukan adik kalian. Keluarga kita belum lengkap tanpanya."
Bertahun-tahun pencarian membawa mereka pada sebuah kebetulan yang mengejutkan: seorang gadis dengan mata yang begitu familiar. Namun Areum bukan lagi anak kecil yang hilang—ia tumbuh dalam dunia berbeda, dengan ingatan kosong tentang masa lalunya dan luka yang sulit dimengerti.
Sekarang, tiga kakak itu harus membuktikan bahwa ikatan darah dan cinta keluarga lebih kuat daripada waktu dan jarak. Bisakah mereka menyatukan kembali benang-benang yang hampir putus, atau Areum telah menjadi bagian dari dunia lain yang tak lagi memiliki ruang untuk mereka?
"Seutas benang menghubungkan mereka—meregang, namun tidak pernah benar-benar putus."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9: Secercah harapan
Sore itu, Areum akhirnya tiba di rumahnya setelah seharian penuh bekerja di kafe milik Ji-Sung. Begitu pintu tertutup di belakangnya, ia langsung menjatuhkan tubuh ke sofa ruang keluarga. Napasnya terhela panjang; pundaknya turun naik menandakan lelah yang belum sempat ia lepaskan. Ia menyandarkan kepala ke sandaran sofa, memejamkan mata sejenak sambil mencoba menenangkan detak jantung yang masih cepat.
Suasana rumah terasa hangat dan tenang—aroma teh ginseng dari dapur menguar lembut, berpadu dengan suara lembut hujan sore yang baru mulai turun di luar jendela.
Tiba-tiba, sebuah sentuhan lembut terasa di rambutnya. Jari-jari hangat itu mengusap surai cokelat gelapnya perlahan, seolah menyalurkan kasih sayang yang tak pernah berkurang.
“Eomma...” ucap Areum pelan, membuka mata dan menatap sosok wanita yang berdiri di sampingnya. Senyum lembut terbit di bibirnya; di hadapannya, sang ibu menatap dengan penuh kasih—wanita yang menjadi cahaya dalam hidupnya setelah sang Appa.
“Wajahmu pucat sekali,” ujar Hyerin khawatir sambil merapikan rambut Areum yang sedikit berantakan.
“Tidak apa-apa, aku hanya berlari karena dikejar anjing di rumah sebelah,” jawab Areum, berusaha terdengar santai.
“Sungguh?” tanya Hyerin, matanya langsung membulat.
“Iya, rumah milik tetangga baru itu,” jelas Areum, meneguk ludah kecil saat mengingat kejadian tadi.
“Ya ampun... apa anjingnya dilepaskan begitu saja? Itu berbahaya, kau tahu? Kalau sampai menggigit orang, pihak dong (wilayah) bisa melaporkannya ke petugas kota,” ujar Hyerin dengan nada tegas, menunjukkan sisi protektifnya.
“Tidak juga. Tadi saat aku lewat, kebetulan gerbangnya terbuka. Begitu aku lewat, anjing itu tiba-tiba keluar dan mengejarku. Tapi tak lama, dia berhenti di depan rumah mereka. Untung saja,” ujar Areum, sambil menahan tawa kecil karena mengingat dirinya yang panik berlari dengan rok kerja yang hampir tersangkut di tumit.
“Apa hari ini sangat melelahkan?” tanya nya.
“Hanya sedikit, tapi aku bahagia, Eomma. Aku punya banyak teman baru. Meskipun kebanyakan dari mereka lebih tua, tapi mereka baik padaku. Rasanya... menyenangkan.” jawab Areum, senyumnya lembut.
“Syukurlah kalau begitu,” ujar Hyerin pelan, nada suaranya sedikit bergetar. “Jujur saja, Eomma sempat ragu untuk mengizinkanmu bekerja, meskipun Appa tidak keberatan. Eomma hanya khawatir kau terlalu lelah atau kesepian di sana.” Ujar nya yang membuat Areum mengangguk paham, menatap wajah ibunya dengan penuh sayang. Ia tahu betul bahwa di balik setiap larangan, ada kekhawatiran yang tulus.
“Aku tahu, Eomma,” katanya lembut, menggenggam tangan ibunya. “Maaf kalau aku sempat membuat Eomma kecewa. Aku sungguh tidak bermaksud begitu. Aku hanya ingin mencoba hidup mandiri... seperti yang selama ini aku bayangkan.” Ujar nya yang membuat Hyerin menatap mata Areum dalam diam. Ada sesuatu yang bergetar di hatinya—antara bangga dan takut. Ia tersenyum akhirnya, lalu membelai pipi Areum perlahan.
...
Sementara itu, di salah satu ruangan rumah sakit Seoul National Medical Center, Yoonjae duduk di kursi kerja dengan tubuh sedikit bersandar. Matanya terpejam, mencoba mencuri sedikit waktu untuk beristirahat setelah seharian penuh menangani pasien.
Cahaya redup dari lampu gantung menyoroti wajahnya yang tampak lelah—lingkar hitam di bawah mata, dan jas dokter yang kini sedikit kusut di bagian lengan. Suara mesin infus dari ruangan sebelah terdengar samar, berpadu dengan bunyi langkah cepat para perawat di koridor rumah sakit yang tak pernah benar-benar sepi.
Menjadi dokter memang pilihannya sendiri, meskipun bukan cita-cita awalnya.
Sejak kedua orang tuanya meninggal karena penyakit yang tak sempat tertolong, Yoonjae selalu dihantui rasa bersalah. Ia tahu, ia tak bisa mengubah masa lalu. Tapi dengan menjadi dokter, setidaknya ia bisa menolong orang lain—agar tak ada lagi anak yang harus kehilangan sosok ibu dan Ayah nya sepertinya. Dia menarik napas panjang, menegakkan tubuh, dan menatap ke arah jendela.
Getaran halus di meja kerjanya memecah keheningan. Ponsel yang sejak tadi tergeletak kini bergetar, menampilkan nomor yang sudah lama ia tunggu-tunggu. Dengan cepat ia mengangkatnya.
“Halo, Tuan Kim,” suara seorang pria terdengar dari seberang sana, formal namun penuh kehati-hatian.
“Ada kabar apa?” tanya Yoonjae cepat, suaranya dalam dan tegas. Ia tak ingin bertele-tele.
“Kami menemukan seorang saksi, Tuan. Seorang suster yang dulu sempat bekerja di rumah sakit tempat Nyonya Kim melahirkan adik Anda,” ujar pria itu.
Sekilas, cahaya harapan melintas di mata Yoonjae. Tangannya yang tadi menopang dagu kini mengepal pelan di atas meja. Setelah bertahun-tahun mencari, setelah begitu banyak jejak yang buntu—akhirnya, ada satu titik terang yang muncul, walau kecil.
“Lalu, apa yang kalian dapatkan?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada lebih pelan namun sarat ketegangan.
“Kami tidak mendapat banyak, Tuan. Beliau tidak mau bicara terlalu jauh. Katanya, dia tidak ingin melanggar kode etik rumah sakit. Kami sudah menjelaskan bahwa semua akan dijamin aman, tapi tetap saja beliau menolak. Ia hanya bersedia berbicara langsung dengan anggota keluarga yang bersangkutan.” ujar nya yang membuat Yoonjae terdiam. Ia menggigit bibir bawahnya pelan, menimbang sesuatu. Denyut di dadanya terasa lebih cepat dari biasanya, campuran antara cemas dan harapan.
“Kalau begitu...” ujarnya akhirnya, menatap lurus ke layar komputer di depan nya. “Biarkan yang menemuinya. Aku bagian dari keluarga itu. Jika dia benar-benar suster yang bertugas saat itu... dia pasti mengenaliku.” lanjut nya dengan mata berbinar penuh keyakinan.
“Benar, Tuan. Sebaiknya Anda datang sendiri. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya ia ketahui sampai Anda mendengarnya langsung dari beliau. Kami sudah mengirimkan alamatnya,” ujar pria di seberang telepon—detektif swasta yang di sewa Yoonjae selama bertahun-tahun.
Dia adalah Han Minggu atau Detektif Han, seseorang yang telah lama menemani Yoonjae dalam pencarian adik mereka. Bertahun-tahun berlalu, namun tak satu pun petunjuk nyata berhasil ditemukan. Satu-satunya yang mereka miliki hanyalah tuduhan samar terhadap sang kakek—tuduhan yang tampak masuk akal, sebab pria tua itu memang dikenal tidak menyukai anak perempuan.
Ketika adik mereka tiba-tiba menghilang tanpa jejak, semuanya terasa terlalu kebetulan untuk disebut takdir. Sejak saat itu, rumah keluarga Kim perlahan kehilangan cahaya. Sang ibu jatuh sakit akibat duka mendalam dan akhirnya berpulang, disusul ayah yang tak lagi sama—tenggelam dalam rasa bersalah dan kehilangan yang tak pernah pulih. Yoonjae menatap layar ponselnya sesaat sebelum menarik napas panjang.
“Baiklah, aku akan datang ke sana. Terima kasih atas kerja keras kalian, teruskan pencarian itu. Aku tidak ingin ada satu hal pun yang terlewat,” ujarnya pelan namun tegas.
“Ne, Tuan,” jawab Mingyun patuh sebelum panggilan berakhir.
Suara click kecil dari sambungan yang terputus membuat ruangan kembali sunyi. Yoonjae memandang jendela besar di ruangannya—lampu-lampu Seoul berkelip di bawah sana, seperti bintang-bintang yang jatuh terlalu rendah. Tangannya menggenggam ponsel erat, seolah mencoba menahan getar di dadanya.
“Eomma... Appa... kalau semua ini benar, aku akan menemukannya kali ini,” gumamnya lirih, suaranya nyaris tenggelam dalam hening malam.
Setelah membuka alamat yang tertera dalam pesan yang dikirimkan oleh detektif pribadinya itu, Yoonjae menarik napas panjang. Lokasinya tidak jauh, masih di sekitar kota ini, tepatnya di sebuah panti jompo sederhana di pinggiran Seoul. Tempat yang mungkin sengaja dipilih wanita itu untuk mengasingkan diri dari masa lalu yang penuh rahasia.
Tanpa membuang waktu, Yoonjae bangkit dari kursinya. Jas dokter yang masih melekat di tubuhnya pun tidak ia lepaskan. Baginya, ini bukan sekadar pertemuan biasa—ini tentang jawaban yang selama ini dia cari, tentang adik yang hilang, tentang kehancuran keluarganya.
Langkah Yoonjae mantap menyusuri lorong rumah sakit menuju area parkir. Di sepanjang perjalanan, bayangan wajah ibunya kembali menghantui pikirannya. Wajah lemah itu, tatapan sedih, dan kata-kata terakhir sebelum sang ibu mengembuskan napas terakhir—semuanya masih begitu jelas.
“Cari dia, Yoon… Dia masih hidup… Adikmu… Cari dia…”
Genggaman tangannya menguat di setir mobil. Sesakit apa pun kenangan itu, Yoonjae berjanji tidak akan berhenti sampai semuanya terungkap.
Dia sempat ingin menghubungi saudara nya terlebih dahulu Minjoon dan juga Jihoon namun nomor mereka sibuk jika di lihat lagi ini memang masih jam kerja juga, akhirnya dia tetap nekat untuk pergi sendiri menemui manta suster tersebut berharap dia bisa menemukan petunjuk tentang adiknya yang sudah dia cari selama ini.
Hanya butuh sekitar tiga puluh menit perjalanan sebelum akhirnya Yoonjae tiba di depan panti jompo itu. Bangunan tua berarsitektur khas Korea berdiri tenang. Hembusan angin malam membawa aroma tanah lembap bercampur bunga musim gugur yang mulai gugur di halaman.
Yoonjae melangkah masuk, mengetuk sepasang pintu geser dari kayu sebelum disambut oleh seorang petugas resepsionis wanita muda. Wajah petugas itu sempat menunjukkan keterkejutan kecil melihat kedatangannya di jam seperti ini.
“Annyeonghaseyo… ada yang bisa saya bantu, tuan?” tanyanya sopan sambil membungkuk sedikit.
“Suster Song Hee… bisa saya temui?” ujar Yoonjae singkat, suaranya tenang namun berwibawa. Ia menunjukkan kartu identitas dari jas dokter yang dikenakannya. Petugas itu tampak ragu sejenak sebelum menjawab pelan.
“Beliau sedang berada di taman belakang, tuan. Tapi… saya harus memperingatkan. Suster Song Hee tidak mudah percaya pada orang asing. Bahkan kemarin beliau menolak berbicara dengan tamu yang datang tanpa janji.” ujar nya yang membuat alis Yoonjae sedikit berkerut.
“Saya bukan orang asing,” ucapnya tegas, nada suaranya datar namun dalam. Ia lalu melangkah melewati lorong panjang berlapis lantai kayu yang berderit pelan di setiap langkahnya.
Sesampainya di taman belakang, matanya menangkap sosok wanita tua yang duduk sendiri di bangku kayu di bawah pohon ginkgo. Rambutnya telah memutih, diikat sederhana, sementara tangannya menggenggam secangkir teh hangat yang mengepulkan uap lembut di udara dingin.
“Suster Song Hee?” panggil Yoonjae perlahan.
Wanita itu menoleh. Seketika, mata mereka saling bertemu. Ada keterkejutan yang jelas di wajahnya—sebuah ekspresi yang seolah menarik Yoonjae mundur ke masa yang tak ia kenal, namun terasa begitu dekat.
“Siapa lagi? Sudah saya bilang… saya tidak ingin berbicara dengan siapa pun,” ucap sang suster pelan, suaranya serak namun sarat makna. Ia mengalihkan pandang, tapi jari-jarinya sedikit bergetar.
Yoonjae menahan napas. Ada sesuatu di balik kata-kata itu—sesuatu yang mungkin akan mengubah hidupnya, dan kehidupan adik yang selama ini ia cari.
“Suster… tidak mengenali saya?” ujarnya hati-hati sembari melangkah maju, menunduk sedikit agar sejajar dengan pandangan wanita itu. Wanita itu terdiam. Pandangannya menelusuri wajah Yoonjae perlahan, dari mata hingga garis rahangnya yang tegas.
“…Tidak,” jawabnya akhirnya, meski nada suaranya menyimpan getar samar—antara ragu dan takut. Namun dari tatapan matanya, jelas sekali bahwa ia mengenali sesuatu.
“Apakah Anda ingat… seorang anak laki-laki yang meminta difoto bersama bayi perempuan, dua puluh dua tahun lalu, di rumah sakit tempat Anda bekerja?” suara Yoonjae terdengar pelan, namun tegas. Ada getar halus di ujung suaranya—getar yang menandakan luka lama belum benar-benar sembuh.
Suster Song Hee terdiam. Pandangannya membeku, pupil matanya sedikit melebar, seolah kalimat itu menariknya kembali ke masa lampau yang ingin ia lupakan. Angin malam berembus pelan, menggoyangkan dedaunan ginkgo di atas kepala mereka, menambah sunyi di antara dua jiwa yang saling menyimpan beban.
“Suster…” lanjut Yoonjae, kini berdiri lebih dekat, napasnya teratur tapi berat. “Saya anak itu. Kim Yoonjae—kakak dari bayi perempuan yang kalian bilang hilang begitu saja hari itu.” lanjut nya yang mana kata-kata itu jatuh seperti petir di tengah keheningan. Wajah Suster Song Hee menegang. Tangannya yang bergetar perlahan terangkat, menutupi mulutnya. Matanya membulat, penuh keterkejutan yang tak bisa disembunyikan.
“Ah… tidak mungkin… kau… kau sudah sebesar ini…” gumamnya lirih dalam bahasa ibu, “Eotteoke…” suaranya pecah nyaris tak terdengar. Ia menatap Yoonjae lama, seolah berusaha meyakinkan diri bahwa sosok di depannya bukan sekadar bayangan masa lalu.
“Suster tahu sesuatu, bukan? Tolong bantu saya,” ujar Yoonjae pelan tapi dalam, matanya menatap lurus penuh harap.
Suster Song Hee menelan ludahnya susah payah. Tangannya perlahan turun dari mulutnya, kini menggenggam ujung selendang wol yang melingkari bahunya.
“Saya… saya tidak pernah lupa wajah kalian,” ucapnya parau.
“Anak-anak kecil yang menangis di lorong hari itu… ibu kalian yang terus memanggil nama bayinya… semua masih tersimpan jelas di kepala saya, sampai hari ini.” ucap nya yang membuat napas Yoonjae tercekat. Tenggorokannya terasa kering. Tangannya mengepal di sisi tubuh, menahan gelombang emosi yang ingin pecah. Ia tahu malam ini mungkin akan menjadi titik balik segalanya.
“Kalau begitu… katakan, Suster,” desaknya perlahan, nyaris seperti permohonan.
“Apa yang sebenarnya terjadi waktu itu? Mengapa adik saya bisa hilang? Bagaimana bisa seorang bayi menghilang begitu saja di rumah sakit?” tanya nya yang membuat suster Song Hee menutup matanya sesaat. Nafasnya berat, pundaknya bergetar halus sebelum akhirnya ia berkata pelan—dengan suara serak yang sarat rasa bersalah.
“Itu bukan kebetulan, Nak… Itu kelalaian—dan kejahatan yang telah direncanakan seseorang sejak awal.” ujar nya lirih.
Kata terakhir itu menggema pelan di antara hembusan angin malam, membuat Yoonjae terpaku. Dan untuk pertama kalinya setelah dua puluh dua tahun… kebenaran mulai menunjukkan bayangannya.
“Suster… keluarga saya hancur karena kejadian itu.” ujar yoonjae lagi. Suster Song Hee mengalihkan pandangannya, menatap gelapnya langit. Butuh waktu lama sebelum akhirnya ia bicara lagi.
“Saya… saya sudah lama ingin mengubur ini. Tapi setiap malam… wajah ibu kalian… tangis kalian… terus menghantui saya,” suaranya bergetar.
"Jadi kejadian itu memang di rencanakan seseorang?" Ujar Yoonjae, dahulu dia mungkin anak kecil yang tidak bisa banyak melangkah dan berpikir tapi kini dia pria dewasa dan dia harus mencari di mana adiknya berada seperti permintaan terakhir kedua orang tuanya sebelum meninggal.
“Hari itu… semua terlihat normal… sampai… sampai dia datang…” ucapan suster song hee di potong cepat.
“Siapa?” potong Yoonjae cepat Suster Song Hee menggeleng pelan, matanya berkaca-kaca.
“Orang tua kalian orang baik seperti nya. Tapi… tidak semua keluarga besar kalian seperti itu.” ujar suster Song hee. Yoonjae terdiam. Napasnya memburu, wajah ayahnya, ibunya, Jihoon, Minjoon… semua berkelebatan di kepalanya. Namun satu sosok lain perlahan muncul di pikirannya.
“Jangan bilang… ini ada kaitannya dengan… kakek saya?” suara Yoonjae mulai bergetar, amarah dan rasa sakit bercampur jadi satu. Suster Song Hee menunduk dalam. Butiran air mata jatuh perlahan membasahi pipinya.
“Maafkan saya, Nak… saya… saya terlalu takut saat itu. Dia… dia memaksa… saya tidak berdaya… saya...” ucapan suster song hee kembali terpotong. Yoonjae menegakkan tubuhnya, suaranya tegas memotong,
“Katakan suster. Malam ini, saya tidak akan pergi sebelum semuanya jelas." Ujar Yoonjae mantap.
"Apa yang terjadi pada orang tua kalian sekarang?" Ujar suster itu mulai mengalihkan pembicaraan, yoonjae menghela nafas berusaha bersabar lalu menjelaskan semuanya.
“Beberapa bulan setelah adik kami—Ara—hilang, Eomma jatuh sakit parah. Mungkin karena terlalu banyak berpikir… terlalu hancur menanggung kehilangan. Dan akhirnya, dia berpulang kepada Sang Pencipta.” Nada suaranya mulai pecah di ujung kalimat, tapi ia tetap berusaha bicara dengan tenang.
“Tak lama setelah kepergian Eomma, Appa juga ikut sakit. Dia tidak sanggup menanggung duka kehilangan istri dan putri bungsunya… dan akhirnya, dia pun menyusul Eomma. Sejak saat itu, hidup kami… tidak pernah sama lagi.” Tatapan Yoonjae perlahan meredup. Ia menunduk sebentar, mengingat kembali masa kecil yang penuh kehilangan.
“Bertahun-tahun kami hidup tanpa kasih sayang orang tua. Jihoon-hyung yang paling tua akhirnya mengambil alih bisnis keluarga. Aku, Minjoon, dan kadang Samcheon, Sukmo, Halmeoni, serta Harabeoji ikut mengasuh kami. Tapi keluargaku… hancur, Suster. Semuanya berubah karena hilangnya Ara.” Ia menatap lurus pada wanita tua itu.
“Suster pasti tahu sesuatu, bukan? Tidak mungkin bayi itu hilang dengan sendirinya di ruang rawat!” Ujar nya yang membuat suster Song Hee terdiam cukup lama. Jemari tuanya meremas ujung syal wol yang melingkari lehernya, seolah mencari keberanian dari kain itu. Matanya bergetar, menatap tanah dengan pandangan kosong.
“Saya… saya tahu! Tapi saat itu… saya terlalu pengecut… terlalu takut. Dan terlalu takut untuk berpikir jernih,” ucapnya akhirnya, suaranya pelan, nyaris seperti bisikan. Yoonjae menahan napas. Matanya menyipit, sorot keteguhan terpancar kuat.
“Tahu apa, Suster? Apa yang sebenarnya terjadi?” ujar Yoonjae sudah tidak sabar ingin mendengar kenyataan tersebut, walaupun dia tahu kenyataan ini pahit tapi setidaknya dari sinilah semua awal dari pencarian yang sebenarnya akan di mulai. Wanita itu mengusap matanya yang basah, lalu memandang Yoonjae penuh rasa bersalah.
“Saya... Saya ingat jelas malam itu. Seorang pria dari keluargamu datang, mengenalkan diri sebagai perwakilan keluarga besar. Dia tunjukkan surat, katanya ada pemeriksaan khusus untuk bayi kalian, prosedur dari keluarga, bukan rumah sakit..." Ucapan nya terhenti tapi Yoonjae tidak langsung menyela, dia hanya diam menunggu wanita tua itu melanjutkan ucapannya.
"Saya bodoh, Nak. Saya percaya begitu saja. Saya serahkan bayi itu ke tangan mereka... mereka meyakinkan kami semua bahwa bayi itu akan dibawa ke ruang observasi. Tapi saat saya tanya ke ruang observasi… bayi itu tidak pernah sampai di sana. Saat saya kembali ke ruangan rawat… semuanya sudah kacau. Orangtuamu panik… dan saya… saya sadar saya sudah terlibat dalam permainan kotor mereka tanpa saya sadari..." Ujar suster song hee pada akhirnya yang membuat Yoonjae mengernyit, hatinya makin tak tenang.
Suster Song Hee menghela napas berat, suaranya bergetar, ada rasa berat dan penyesalan karena telah teledor saat itu. Tapi saat dia ingin mengatakan itu sejak lama juga dia tidak tahu di mana keluarga dari bayi itu tinggal meskipun dia sudah berusaha bertanya pada pihak rumah sakit tapi pihak rumah sakit tetap tidak mau memberitahukan data pribadi pasien pada sembarangan orang hingga akhirnya dia menunggu hingga saat ini dengan bayang bayang penyesalan yang tidak pernah hilang karena telah gagal menjaga bayi yang seharusnya aman di rumah sakit itu .
“Siapa? Katakan siapa yang menyuruh Anda, Suster…” ujar yoonjae setengah memaksa suster Song Hee menatap Yoonjae, butuh waktu sebelum akhirnya dia berani mengucapkan nama itu.
“Yang menyuruh saya… adalah Harabeoji-mu… tapi dia tidak sendiri, ada satu pasangan muda yang juga ikut terlibat.” ujar nya yang membuat Yoonjae terdiam. Rasanya jantungnya berhenti berdetak sesaat. Nama itu… orang yang selama ini dia hormati, sekaligus orang yang dia curigai diam-diam… kini disebut langsung dari mulut suster Song Hee.
"Harabeoji..?" Lirih Yoonjae.
"Itu yang dia katakan... dia bilang dia Kakek dari bayi itu," ujar suster Song hee, tangan Yoonjae terkepal keras seolah ini semua validasi dari semua kecurigaan nya terhadap pria tua yang selama ini membantu mengurus nya, kecurigaan nya pada sang kakek sebenarnya bukan sekedar kecurigaan hal itu di landasi dengan ketidaksukaan sang kakek pada bayi atau anak perempuan dan saat adik bungsunya lahir benar saja bayi tak berdosa itu hilang.
Dan pelaku nya kakek nya sendiri...