Kakak macam apa yang tega menjual keperawanan adiknya demi melunasi utang-utangnya?
Di wilayahku, aku mengambil apa pun yang aku mau, dan jelas aku akan mengambil keperawanan si Rainn. Tapi, perempuan itu jauh lebih berharga daripada sekadar empat miliar, karena menaklukkan hatinya jauh lebih sulit dibandingkan menaklukkan para gangster di North District sekalipun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Poker Room
...୨ৎ R E M Y જ⁀➴...
Aku keluarkan kartu Jack of Hearts dan menyeringai. “Satu kartu,” gumamku santai.
Vloo, salah satu anak buahnya Cavell menyodorkan satu kartu ke arahku. Tapi saat aku lihat hasilnya, mengeluh dan dia cuma kasih senyum minta maaf.
Malam ini kita main di rumah Cavell. Sudah jadi kebiasaan, tiap minggu gantian siapa yang jadi tuan rumah. Terakhir kali giliranku, jadi sekarang gantian dia.
“Kamu tuh enggak punya muka poker,” goda Farris, senyum jahilnya muncul sambil menyeringai puas. Dia lempar satu keping lagi ke tumpukan taruhan yang sudah makin menumpuk. “Aku tambahin seratus juta lagi buat kamu.”
“Sialan,” celetukku sambil garuk kepala. Sudah beberapa ronde ini, aku apes banget, kalah terus, dan yang lain malah makin senang memperhatikanku babak belur.
Cavell yang duduk di seberang juga menyipitkan mata waktu Braun sama Tully akhirnya fold. Farris cekikikan seperti bocah yang baru saja dapat skin herro gratis.
“Kalau aku nemuin kamu curang, darah kamu tumpah di meja ini,” suara Cavell berat dan tenang tapi mengancam banget.
Farris angkat tangan santai. “Aku enggak pernah curang, Bro.”
“Oke lah,” gumamku waktu sadar kartuku ampas banget. Aku pun menyerah, dorong kartu ke tengah meja. “Aku butuh minum.”
Vloo langsung jalan ke arah bar kecil di pojokan ruangan, menuangkan Whisky untukku. Sementara itu Cavell masih mengimbangi taruhan Farris. Dua-duanya saling pandang adu nyali, sampai akhirnya Farris melempar dua keping tambahan lagi.
“Setan,” gerutu Cavell sambil bangkit.
Farris malah cekikikan puas dan mengumpulkan semua keping taruhan. Cavell langsung mendengus, “Tunjukin kartu mu.”
Begitu Farris buka, Aku sampai melotot. Kartu paling jelek yang pernah aku lihat.
“Kamu mau mati malam ini, Farr?” tanyaku tajam.
Dia cuma menyeringai. “Ini semua soal poker face, Bro.”
Braun masuk obrolan sambil mengemil, “Gimana bisnis kalian pada?”
“Lancar,” jawab Tully. “Aku baru beli printer baru, uang palsu ngalir lagi.”
Enggak heran, mencetak uang palsu sudah jadi sumber pencaharian utamanya Tully dari dulu.
“Kalau aku sih aman-aman aja,” timpal Braun. “Pengiriman senjatamu bakal mendarat minggu depan, jadi kamu bakal sibuk.”
“Noted.” Aku ambil gelas Whisky yang Vloo taruh di depanku. “Thanks, Braun.”
Dia senyum puas. “Sama-sama, brengsek.”
Cavell yang dari tadi diam tiba-tiba memperhatikanku lama. Tatapannya dalam banget, seperti lagi memikirkan sesuatu.
“Ada apa?” Aku akhirnya bertanya.
“Salah satu orang kamu ngutang setengah miliar ke aku.”
“Siapa?”
“Amilio Santoro.”
Berengsek.
Aku menatap satu per satu wajah di meja. Cavell, Braun, Tully, lalu berhenti di Farris. “Dia juga ngutang ke kalian?”
Tiga-tiganya geleng-geleng bareng.
Aku balik ke Cavell. “Dia emang lagi aku urus.”
Cavell menyeringai miring. “Udah aku kirim orang buat beresin.”
Mataku langsung menyipit. “Di mana?”
“Di rumahnya, lah.”
Rainn Margot.
“Enggak boleh ada yang nyentuh adiknya!” Aku perintahkan langsung. Nada suaraku dalam, enggak bisa ditawar.
Cavell angkat alis. “Kenapa?”
Aku tahu, Cavell itu orang paling dingin dan kejam di antara kita. Dia enggak bakal mikir dua kali buat menghabisi satu keluarga cuma gara-gara satu orang yang salah langkah.
Tapi karena di meja ini semuanya bisa aku percaya, akhirnya aku bicara juga, pelan tapi tegas, “Karena aku bakal nikahin dia.”
Hening.
Seketika ruang tamu berubah seperti ruang sidang. Jarum yang jatuh pun pasti terdengar. Empat pasang mata langsung memelototiku, shock.
Cavell yang pertama sadar, tapi ekspresinya campur aduk antara enggak percaya dan bingung.
“Hah. Kamu bilang, kamu mau nikah?”
“Ya,” jawabku datar, “Tapi enggak bakal ada pesta mewah, gaun putih, atau undangan segala macam. Rainn bukan tipe yang suka pamer. Jadi jangan harap dapat undangan.”
Aku melirik Cavell, nada suaraku tajam dan tegas. “Sekarang telepon anak buahmu. Aku pingin kamu pastiin mereka enggak nyentuh calon istriku.”
Sudut bibir Cavell langsung naik sedikit, senyum licik muncul di wajahnya. Dia keluarkan HP dari saku jas, menyeringai. “Aku enggak nyangka, kamu ternyata tipe cowok yang maksa cewek buat nikah.” Sambil bicara begitu, dia menekan salah satu nomor di HPnya. Begitu tersambung, suaranya berubah dingin, nyaris datar, “Jangan sentuh adiknya Santoro.”
Dia dengarkan suara dari seberang, terus keluarkan desahan berat. “Siapa?” Ada jeda sebentar. Terus dia bicara pelan, “Bawa Torra ke sini.”
Begitu panggilan ditutup, dia taruh HP di meja. “Mereka udah di rumah Amilio Santoro.”
Aku ambil napas dalam banget, dada sudah mulai panas. “Dan?”
“Torra nyeret-nyeret dia,” jawab Cavell santai, “Tapi dia masih hidup.”
Darahku langsung naik ke ubun-ubun. Rasanya, bara kebencian sudah menyulut di dada, panas dan tajam. Aku langsung berdiri.
“Kamu mau ke mana?” tanya Farris.
“Aku mau pastiin istriku baik-baik aja,” jawabku datar, tapi sorot mataku sudah seperti pisau waktu aku nengok ke Cavell. “Biarin Torra di sini. Aku bakal urus dia nanti. Habis aku balik.”
Cavell juga berdiri, suaranya tenang tapi berat, “Aku ikut.”
Tully, Braun, dan Farris pun ikut bangkit. Farris menceletuk, “Kita semua enggak mau ngelewatin momen kayak gini, Bro.”
Aku tahu, hal kayak gini enggak bakal bikin hubungan aku sama Cavell rusak. Tapi untuk Torra?
Aku enggak janji dia bakal bisa bangun besok pagi.
Begitu kita semua jalan keluar ruangan, Cavell menyuruh Vloo, “Kalau Torra datang, suruh dia tunggu.” Vloo langsung jawab cepat, “Siap, bos.”
Kita keluar rumah, dan aku lihat mobil Farris parkir di belakang G-Wagon ku. Aku langsung bicara, “Farris, kamu nyetir.”
Aku duduk di kursi penumpang depan, Cavell, Braun, sama Tully naik ke kursi belakang. Begitu mesin menyala, Farris langsung setel musik dari speaker mobil, dan suara opera tiba-tiba memenuhi kabin.
Aku noleh pelan, merasa aneh. “Serius, Farr? Opera?”
Dia mengurangi volume sedikit, menyengir santai. “Aku dengarin pas berangkat tadi.”
Braun cekikikan. “Bocah aneh banget, sumpah.”
“Thanks,” jawab Farris sok pede.
“Itu bukan pujian,” gumamku pelan sambil menghirup napas panjang.
Lima belas menit kemudian, mobil berhenti di depan rumah Rainn. Aku enggak menunggu mesin mati, aku langsung keluar dari mobil. Langkahku cepat, berat, dan penuh amarah. Di belakang, aku dengar langkah kaki mereka menyusul.
Aku ketuk pintu depan keras-keras, tanganku sudah mengepal. Beberapa detik kemudian, suara lembut terdengar dari dalam. “Siapa di sana?”
“Remy.”