Jessy Sadewo memiliki segalanya: kecantikan mematikan, kekayaan berlimpah, dan nama yang ditakuti di kampus. Tapi satu hal yang tak bisa dia beli: Rayyan Albar. Pria jenius berotak encer dan berwajah sempurna itu membencinya. Bagi Rayyan, Jessy hanyalah perempuan sombong.
Namun, penolakan Rayyan justru menjadi bahan bakar obsesi Jessy. Dia mengejarnya tanpa malu, menggunakan kekuasaan, uang, dan segala daya pesonanya.
My Forbidden Ex-Boyfriend adalah kisah tentang cinta yang lahir dari kebencian, gairah yang tumbuh di tengah luka, dan pengorbanan yang harus dibayar mahal. Sebuah roman panas antara dua dunia yang bertolak belakang, di mana sentuhan bisa menyakitkan, ciuman bisa menjadi racun, dan cinta yang terlarang mungkin adalah satu-satunya hal yang mampu menyembuhkan — atau justru menghancurkan — mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21
Udara di kamar kos yang sempit itu terasa bergetar, masih dipenuhi oleh kehangatan ciuman mereka yang baru saja usai. Napas mereka masih sedikit tersengal, saling berbaur dalam jarak yang dekat. Lampu neon di langit-langit memancarkan cahaya putih yang jernih, menerangi setiap detail wajah mereka.
Jessy menarik diri beberapa sentimeter, cukup untuk menatap langsung ke mata Rayyan yang gelap. Pipinya merona merah muda, sebuah pemandangan yang langka dan memesona di wajahnya yang biasanya begitu percaya diri.
"Kamu kok ngeliatin aku begitu?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar, mengandung rasa malu yang tak biasa. Matanya, yang seperti dua permata hazel, berkedip-kedip, seolah mencoba membaca pikiran di balik tatapan Rayyan yang intens dan tak terbaca.
Rayyan tidak segera menjawab. Dia hanya menatapnya, memandangi setiap detail wajah Jessy yang begitu dekat. Garis alisnya yang sempurna, hidungnya yang mancung, bibirnya yang masih merah dan sedikit bengkak karena ciuman mereka. Sebuah senyum tipis, hampir tak terlihat, akhirnya mengembang di bibirnya yang tegas. Itu adalah senyum yang jarang, sebuah ekspresi yang hanya untuk Jessy.
Tapi di dalam hatinya, badai sedang berkecamuk. Jantungnya berdebar kencang, menggemakan suara yang hanya bisa didengarnya sendiri. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa aku makin cinta ke kamu? gumamnya dalam hati, sebuah pengakuan yang takkan pernah bisa diucapkannya dengan lantang. Perasaan itu menakutkan, seperti terjun ke jurang tanpa mengetahui dasarnya.
Untuk mengalihkan gejolak dalam dirinya, Jessy mengalihkan pandangannya dan merebahkan tubuhnya di atas kasur single Rayyan. Begitu punggungnya menyentuh permukaan kasur, dia mengerutkan kening.
"Kamu nggak sakit badannya tidur di kasur sekeras ini?" tanyanya, polos, sambil sedikit menggeliat. Kontras antara kasur mewahnya yang seperti awan dengan permukaan keras ini begitu nyata.
Rayyan, yang masih berdiri di samping tempat tidur, menghela napas pelan. "Adanya cuma ini," jawabnya, suaranya datar. Lalu, melihat ekspresi Jessy yang mulai berpikir, dia cepat-cepat menambahkan dengan nada memperingatkan, "Dan... stop untuk mikir bawain aku kasur baru."
Jessy terkekeh, suaranya ringan dan menggoda. "Oke... oke..." ujarnya, menyerah, meski matanya masih berbinar dengan ide-ide yang mungkin saja masih ada di kepalanya.
Rayyan lalu duduk di tepi kasur, sebelum akhirnya juga merebahkan tubuhnya di samping Jessy. Kasur itu memang sempit, membuat bahu mereka bersentuhan. Kehangatan tubuh Jessy terasa melalui hoodie yang dikenakannya.
Tiba-tiba, Jessy berbalik menghadapnya, menopang kepalanya dengan telapak tangan. Matanya yang penuh rasa ingin tahu menatap profile Rayyan yang tampan.
"Eh... Ada yang mau aku tanyain," ujarnya tiba-tiba, suaranya serius.
Rayyan menoleh, bertemu tatapannya. "Apa?" balasnya, mencoba terdengar biasa saja.
"Dulu... Kenapa kamu terus nolak aku?" tanya Jessy, polos, tanpa menyadari bom emosional yang baru saja dia lemparkan.
Deg.
Jantung Rayyan seolah berhenti berdetak. Pikirannya langsung melesat ke masa lalu, ke gambar ibu mereka yang terpukul, ke bangku kayu yang hancur, dan ke rasa tidak berdaya yang membakar. Apa yang harus dia katakan? Haruskah dia mengungkapkan kebenaran pahit itu? Membuka luka lama yang bisa menghancurkan segala kemajuan yang telah mereka capai?
Diamnya yang terlalu lama membuat Jessy tidak sabar. "Kenapa diam?" godanya, mencoba mencairkan ketegangan. Dia mendekatkan wajahnya, matanya menyipit penuh selidik. "Kamu suka cewek lain ya? Atau kamu sebenarnya udah punya pacar terus sok setia?" celotehnya terus mengalir, mencoba menebak-nebak.
Rayyan menarik napas dalam. Dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya, belum sekarang. "Karena belum punya perasaan apa-apa ke kamu," jawabnya akhirnya, suaranya rendah. Itu adalah kebenaran, meski bukan kebenaran yang utuh.
Jessy mendengus, tak puas. "Masa sih? Cowok lain kalau liat aku langsung terpesona. Cuma kamu doang yang malah jutekin aku," cercanya, sedikit tersinggung mengingat kembali penolakan-penolakan Rayyan di masa lalu.
Rayyan memalingkan wajahnya, menatap langit-langit kosong. "Kayaknya ke semua orang yang belum aku kenal aku cuek deh," balasnya, berusaha mencari alasan yang masuk akal.
Tapi Jessy tidak mudah dibohongi. "Kamu nggak kenal aku waktu itu? Aku Jessy Sadewo lho," ujarnya, nada suaranya meninggi, menekankan identitasnya yang seharusnya membuat siapa pun langsung mengenalinya.
Mendengar itu, Rayyan justru terkekeh. Suara tawanya yang dalam dan jarang terdengar bergema di kamar kecil itu. Dia menoleh kembali ke arah Jessy, matanya berbinar dengan cahaya yang hangat. "Iya, Jessy Sadewo yang sekarang udah naklukin hati aku," ucapnya, sebuah pengakuan yang membuat jantung Jessy berdebar kencang.
Wajah Jessy langsung berseri. "Hebat ya aku. Kamu harus kasih aku piala," godanya bangga.
Rayyan tersenyum. "Iya, aku punya banyak di rumah," balasnya, merujuk pada piala-piala kompetisinya.
"Percaya deh yang pialanya banyak," sahut Jessy, lalu, dengan spontanitasnya yang khas, dia melontarkan pertanyaan yang selama ini mengganjal. "Jadi, kapan kamu mau ajak aku ke rumah?"
Seketika, senyum di wajah Rayyan memudar. Ekspresinya menjadi serius. "Jes, kita udah bahas ini kan. Sampai aku sudah di titik pencapaianku supaya setara untuk kamu. Kita akan tutupi hubungan ini," ujarnya, mengulang alasan yang selalu dia berikan.
Jessy mengerutkan kening. "Tapi Mami, Papi, dan Gio juga udah tau hubungan kita. Kalau sekadar orang tua yang tau nggak masalahkan?" bantahnya, tak mengerti mengapa Rayyan begitu bersikeras untuk merahasiakan hubungan mereka dari ibunya.
Rayyan menghela napas, konflik batin terpancar jelas di matanya yang gelap. "Nanti ada waktunya, Jes. Untuk saat ini, kita nikmati waktu bersama dulu aja berdua," ujarnya, suaranya lembut namun penuh ketegasan.
Kemudian, dengan gerakan yang tiba-tiba dan penuh intensitas, dia membalikkan posisi mereka. Sekarang, dialah yang di atas, menatap langsung ke mata Jessy yang terkejut namun tak melawan. Badannya yang tegap menaungi tubuh Jessy, menciptakan ruang intim mereka berdua di atas kasur sempit itu.
Dia menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba menenggelamkan dirinya dalam mata Jessy. "Aku cuma mau kamu tau," ucapnya, suaranya rendah, serak, dan penuh dengan emosi yang selama ini dia pendam. "Aku..." dia terhenti, seolah mencari kekuatan untuk mengucapkan kata-kata yang begitu besar. "Aku cinta kamu."
Tiga kata itu menggantung di antara mereka, penuh dengan makna dan kejujuran yang tak terbantahkan. Sebelum Jessy bisa merespons, sebelum air mata kebahagiaan di matanya sempat jatuh, Rayyan sudah menunduk. Bibirnya menemukan bibir Jessy dalam sebuah ciuman yang dalam, lembut, dan penuh penyerahan. Ciuman ini berbeda—ini bukan tentang gairah yang meluap, tetapi tentang pengakuan, tentang sebuah janji yang tak terucap, dan tentang cinta yang akhirnya berani disebut namanya. Di kamar kosnya yang sederhana, di atas kasur yang keras, Rayyan Albar akhirnya membiarkan dirinya jatuh sepenuhnya, dan kali ini, dia tidak berusaha untuk bangun.
***
Tiga minggu menjelang ujian skripsi. Udara di kosan Rayyan terasa pengap, bukan hanya karena sirkulasi udara yang buruk, tetapi juga karena beban yang menindih pundaknya. Tumpukan kertas print-out, buku referensi, dan coretan-coretan rumus memenuhi setiap sudut meja kerjanya yang kecil. Layar laptopnya yang kini sudah lancar, dipenuhi oleh kode program dan grafik yang rumit, sebuah proyek sistem manajemen energi yang ambisius.
Konsentrasi adalah barang mewah. Suara obrolan penghuni kos lain, deru motor dari jalanan, bahkan langkah kaki di koridor, semuanya terasa seperti pengganggu yang menjengkelkan. Kepalanya penuh, dan waktu seakan berlari lebih cepat.
Dengan keputusan yang matang, Rayyan memutuskan untuk pulang ke rumah ibunya di pinggiran Jakarta. Setidaknya di sana, di antara aroma mentega dan kayu manis, dia bisa menemukan ketenangan yang dia butuhkan. Dia mengemasi laptop dan beberapa buku penting, meninggalkan kekacauan di kosannya tanpa penyesalan.
---
Keesokan harinya, ponselnya yang sederhana bergetar di atas meja kayu di kedai sang ibu. Nama "Jessy" berkedip di layar.
"Kok kamu pulang kerumah nggak bilang-bilang aku? Aku tadi ke kosan kamu nggak ada orang," keluh Jessy begitu sambungan tersambung, suaranya mengandung nada kecewa yang jelas.
Rayyan menghela napas, matanya masih tertuju pada paragraf yang sedang dia baca. "Di kosan berisik banget, Jes. Aku nggak bisa konsentrasi," jawabnya, jujur. "Belum lagi anak-anak yang minta bantuan ini dan itu. Kerjaan aku jadi nggak selese-selese." Itu adalah alasan yang valid. Reputasinya sebagai mahasiswa berprestasi seringkali membuatnya menjadi tempat bertanya, dan belakangan ini, dia tidak punya energi untuk itu.
"Tapi kan aku jadi nggak bisa ketemu kamu," protes Jessy, suaranya cemberut. Rayyan bisa membayangkan ekspresinya—bibir yang menyungging, alis yang berkerut.
Dia mencoba menenangkannya. "Sabar ya, sayang. Sampai aku selesaiin skripsi ini nanti, kita ngedate lagi," bujuknya, suaranya lembut, sebuah nada yang hanya dia gunakan untuk Jessy.
"Ah... Tapi itu masih lama banget. Aku udah kangen," keluh Jessy, dan Rayyan bisa mendengar kerinduan yang tulus dalam suaranya. Itu membuat dadanya berdesir hangat, sekaligus merasa bersalah.
Kemudian, dengan spontanitas khasnya, Jessy mengajukan ide. "Gimana kalau kamu kasih tau aja alamat rumah ibu kamu? Nanti aku samperin."
Jantung Rayyan berdebar kencang. Pikiran itu saja sudah seperti mimpi buruk. Ibunya dan Jessy di ruangan yang sama? Dengan segala sejarah yang belum terselesaikan? "Nggak bisa," jawabnya cepat, tegas, tanpa meninggalkan ruang untuk negosiasi. Dia tahu betul sifat Jessy. "Dan jangan coba-coba tanya ke Kemahasiswaan soal data diri aku," tambahnya, memotong niat yang mungkin sudah terlintas di kepala Jessy.
Dari seberang telepon, terdengar helaan napas kesal. "Huft!" suara itu penuh kekecewaan dan frustrasi.
Rayyan mencoba mengalihkan perhatiannya. "Kenapa kamu nggak cari kegiatan lain aja selama liburan ini?" tanyanya, berharap Jessy bisa menemukan sesuatu yang menyibukkan.
"Kegiatan apa?" sahut Jessy, suaranya terdengar malas. "Kegiatanku paling travelling sama makan-makan. Bosen..." Keluhannya polos, mencerminkan dunia yang serba ada dan mudah yang biasa dia jalani.
Rayyan menggeleng pelan. Dunia mereka memang berbeda. Baginya, liburan adalah kemewahan yang tidak bisa dia ambil saat ini. "Sabar ya... Beberapa minggu lagi kok," ujarnya sekali lagi, mencoba menanamkan harapan sebelum akhirnya menutup telepon dengan perasaan campur aduk.
---
Di sisi lain kota, di rumah mewah keluarga Sadewo, Jessy melemparkan ponselnya ke atas kasur baldu. Rasa kesal dan kebosanan menyelimutinya. Ruangan yang luas dan mewah tiba-tara terasa seperti sangkar emas. Tanpa Rayyan, hari-harinya terasa hampa dan tidak memiliki tujuan.
Dia berjalan turun ke lantai bawah, kakinya yang telanjang menyentuh lantai marmer yang dingin. Suara obrolan lembut menarik perhatiannya. Di ruang keluarga, ibunya, Lina, sedang duduk di sofa velvet dengan seorang pria paruh baya yang tidak asing.
"Om Deri!" sapa Jessy, wajahnya sedikit cerah melihat sang paman dari pihak ibunya.
"Hay, Jes! Apa kabar? Udah gede banget sekarang," sambut Deri dengan hangat, matanya berbinar melihat keponakannya.
Jessy terkekeh kecil sambil duduk di sofa sebelah ibunya. "Masa mau kecil terus, Om?" godanya ringan.
Lina tersenyum pada adiknya. "Oh, yowis, coba tanyain langsung ke Jessy ne..." ujarnya, memberikan isyarat pada Deri.
Deri mengangguk, lalu menoleh pada Jessy dengan senyum bisnisnya. "Jes, Om Deri ada proyek nih. Kamu mau nggak?" tawarnya, matanya berbinar.
Jessy, yang sedang dilanda kebosanan, langsung tertarik. "Proyek apa, Om?"
"Starlight lagi cari talent buat video klipnya Arya Nata. Kamu minat nggak?" ujar Deri, menyebut nama penyanyi yang sedang sangat fenomenal.
Mata Jessy membelalak. "Arya Nata yang penyanyi itu, Om?!" serunya, tidak bisa menyembunyikan kegirangannya. Energinya yang tadi lesu langsung melonjak.
"Iya, yang lagi naik daun. Dia butuh model buat video klip terbarunya. Mintanya yang fresh dan belum pernah dipake di label manapun. Om rasa Jessy cocok deh," jelas Deri, yang memang bekerja sebagai produser di label musik ternama yang menaungi Arya Nata. Dia tahu keponakannya memiliki pesona dan kecantikan yang natural dan mencolok.
"Mau banget, Om!" jawab Jessy tanpa ragu, antusiasme berapi-api di suaranya. Ini adalah sesuatu yang baru, sesuatu yang menyenangkan, dan yang paling penting, sesuatu yang akan menyibukkannya dari rasa rindu pada Rayyan.
Deri tersenyum lebar. "Nanti kamu adu acting-nya sama dia juga kok," tambahnya, memberikan nilai plus yang membuat Jessy semakin bersemangat. Berakting dengan Arya Nata? Itu seperti mimpi menjadi kenyataan.
"Jadi kapan kita mulainya?" tanya Jessy, tidak sabar untuk segera memulai petualangan barunya.
"Besok kita reading dulu ya. Nanti Om jemput," jawab Deri, menutup kesepakatan dengan mudah.
Saat Deri dan Lina melanjutkan obrolan mereka, Jessy duduk di sofa dengan senyum lebar di wajahnya. Kebosanannya hilang, digantikan oleh semangat baru. Mungkin, jarak dengan Rayyan untuk sementara bukanlah hal yang buruk. Mungkin, ini adalah kesempatannya untuk bersinar dengan caranya sendiri, dan siapa tahu, ini bisa membuat Rayyan melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Sebuah tekad baru mulai mengakar dalam hatinya. Dia akan menunjukkan pada Rayyan bahwa Jessy Sadewo bukan hanya gadis manja yang menunggu, tetapi seseorang yang juga bisa meraih mimpinya sendiri.
kudu di pites ini si ibu Maryam