NovelToon NovelToon
Istri Muda Paman

Istri Muda Paman

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Hasri Ani

Kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Mala, membuat gadis itu menjadi rebutan para saudara yang ingin menjadi orang tua asuhnya. Apa lagi yang mereka incar selain harta Pak Subagja? Salah satunya Erina, saudara dari ayahnya yang akhirnya berhasil menjadi orang tua asuh gadis itu. Dibalik sikap lembutnya, Erina tentu punya rencana jahat untuk menguasai seluruh harta peninggalan orang tua Mala. Namun keputusannya untuk membawa Mala bersamanya adalah kesalahan besar. Dan pada akhirnya, ia sendiri yang kehilangan harta paling berharga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KEBUSUKAN ERINA

Erina masih mematung di tempat tidur, seolah kata "polisi" yang diucapkan Tama tadi menjadi pemantik ketegangan yang meledak begitu saja di dalam dirinya. Ia buru-buru membuang wajah ke arah lain, mencoba menyembunyikan ekspresi panik yang melintas di wajahnya.

"Mas..." ucapnya pelan, suaranya gemetar dibuat-buat.

"Tolong... jangan lapor polisi."

Tama yang baru saja meletakkan nampan berisi dua cangkir teh dan sepiring roti bakar di atas meja kecil dekat ranjang, langsung menoleh cepat. "Kenapa, Rin? Ini penting. Kita nggak bisa biarkan mereka bebas begitu aja.

Geng begal itu harus dihukum biar jera."

Erina menunduk. Tangannya meremas selimut, matanya dibuat berkaca-kaca, seperti ingin menangis lagi. "Aku takut, Mas. Aku belum siap. Wajah-wajah mereka masih terbayang. Suara tawa mereka, saat menarik tasku... saat mereka menyeret aku keluar dari mobil. Aku... aku trauma, Mas."

Tama terpaku. Kata "trauma" itu menggema kuat dalam pikirannya. Ia menelan ludah perlahan, melihat tubuh istrinya yang tampak menggigil ringan. Ia ingin percaya. Ia ingin sepenuh hati menepis benih ragu yang masih menggantung di relung hatinya.

"Mas tahu ini berat," ujarnya perlahan, duduk di sisi ranjang, mencoba menyentuh tangan Erina. "Tapi kalau

Kita nggak lapor, gimana bisa pelakunya tertangkap?

Mobil kamu juga masih hilang, Rin. Itu bisa jadi petunjuk penting."

Erina cepat-cepat menarik tangannya, berpura-pura takut disentuh karena trauma. "Mas, aku mohon... cukup kita aja yang tahu. Jangan dilaporin, ya? Aku nggak mau diinterogasi, nggak mau dipaksa nginget kejadian itu. Aku belum kuat..."

Ia mengatur napas, menambahkan sedikit sesenggukan agar dramanya terasa lebih hidup. "Aku cuma pengen tenang. Pulih. Lupa semua kejadian buruk itu."

Tama menarik napas panjang. Ia menatap istrinya dalam-dalam, seolah ingin membaca isi hati yang tersembunyi di balik sorot mata berkaca-kaca itu. Namun yang tampak di hadapannya adalah wajah lesu, pucat, dan penuh luka emosi.

beberapa detik hening menyergap di antara mereka.

Akhirnya, Tama mengangguk perlahan. "Baiklah.

Kalau kamu benar-benar belum siap... Mas nggak akan maksa. Tapi janji, kalau nanti kamu berubah pikiran, kita harus segera lapor, ya?"

Erina cepat-cepat mengangguk kecil. "Iya, Mas.

Terima kasih sudah mengerti."

Tama mencoba tersenyum, meskipun hatinya tetap tidak sepenuhnya tenang. Ia mengambil cangkir teh dan menyerahkannya pada Erina. "Minum dulu, teh hangat bisa bantu menenangkan."

Erina menerimanya, pura-pura gemetar saat

Menggenggam cangkir itu. "Makasih, Mas..."

6

92

Sementara Erina menyeruput teh dengan perlahan, dalam pikirannya ia menertawakan kelembutan suaminya.

Betapa mudah Tama diyakinkan. Aktingnya sebagai wanita yang trauma memang tak pernah gagal.

Sementara di sisi lain, Tama menatap wajah istrinya yang tertunduk. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia merasa aneh. Bukankah korban kejahatan justru seharusnya ingin keadilan ditegakkan? Bahkan barang yang hilang, ponsel dan mobil, tak sekalipun dimintanya kembali. Apakah sedalam itu traumanya?

Atau... jangan-jangan...?

"Mas?" suara lembut Erina memecah lamunannya.

Tama tersadar, buru-buru menggeleng pelan. "Maaf, Mas tadi kepikiran aja..."

Erina memiringkan kepala, pura-pura khawatir. "Kepikiran apa?"

"Entah. Perasaan Mas aja. Tapi, sudahlah, yang penting sekarang kamu tenang dulu, ya. Mas temenin kamu hari ini. Setelah mengantar Kemala, Mas langsung pulang, gak ke cafe dulu."

Erina mengangguk manis. "Makasih, Mas. Aku bersyukur punya suami sebaik kamu."

Tama memaksakan senyum. "Sama-sama. Kamu cepet pulih ya, habiskan sarapannya. Apa perlu Mas pamenggenggam cangkir itu. "Makasih, Mas..."

Sementara Erina menyeruput teh dengan perlahan, dalam pikirannya ia menertawakan kelembutan suaminya.

Betapa mudah Tama diyakinkan. Aktingnya sebagai wanita yang trauma memang tak pernah gagal.

Sementara di sisi lain, Tama menatap wajah istrinya yang tertunduk. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia merasa aneh. Bukankah korban kejahatan justru seharusnya ingin keadilan ditegakkan? Bahkan barang yang hilang, ponsel dan mobil, tak sekalipun dimintanya kembali. Apakah sedalam itu traumanya?

Atau... jangan-jangan...?

"Mas?" suara lembut Erina memecah lamunannya.

Tama tersadar, buru-buru menggeleng pelan. "Maaf, Mas tadi kepikiran aja..."

Erina memiringkan kepala, pura-pura khawatir. "Kepikiran apa?"

"Entah. Perasaan Mas aja. Tapi, sudahlah, yang penting sekarang kamu tenang dulu, ya. Mas temenin kamu hari ini. Setelah mengantar Kemala, Mas langsung pulang, gak ke cafe dulu."

Erina mengangguk manis. "Makasih, Mas. Aku bersyukur punya suami sebaik kamu."

Tama memaksakan senyum. "Sama-sama. Kamu cepet pulih ya, habiskan sarapannya. Apa perlu Mas panggil dokter?"

Erina menggeleng lemah. "Gak usah, Mas. Aku cuman pengen istirahat."panggil dokter?"

Erina menggeleng lemah. "Gak usah, Mas. Aku cuman pengen istirahat." Tama mengangguk. Namun dalam hati, ia tahu, rasa curiga itu belum mati. Ia tidak akan melapor ke polisi hari ini. Tapi bukan berarti ia akan berhenti mencari tahu.

"Om, gimana keadaan Tante Erina? Maaf aku belum sempat melihatnya karena takut mengganggu istirahat tante," ucap Kemala saat ia dan Tama sudah berada di dalam mobil menuju kampus.

"Sudah lebih baik. Tadi Tantemu sudah sarapan dan minum obat. Tapi ya gitu, dia gak mau memperkarakan hal ini. Katanya trauma," ucap Tama seraya fokus menyetir.

"Lho, kenapa gak lapor polisi? Ini masalah besar, Om. Orang-orang jahat itu harus dicari dan diberi hukuman setimpal!"

"Ya, Om sih maunya juga begitu. Tapi tante kamu menolak. Katanya dia belum siap jika dimintai keterangan," tutur Tama.

Kemala mengangguk. Entah mengapa ia merasa semuanya janggal. Namun ia memilih untuk memendam sendiri kecurigaannya. Dirinya tidak boleh gegabah.

"Oh iya, nanti gak usah jemput aku ya, Om. Aku pulang bareng Yola!"

"Yola teman baru kamu itu ya?"

Kemala mengangguk.

"Iya, tapi awas jangan sampai pulang sama laki-laki. Kamu tanggung jawab Om sekarang," ucap Tama yang sebenarnya mengandung arti lain. Bukan karena sebuah tanggung jawab yang dia emban, melainkan Tama tidak mau jika Kemala dekat dengan laki-laki apalagi punya pacar.

Belum genap satu bulan tinggal bersama, Kemala sudah mengalami banyak perubahan. Terutama dari cara berpenampilannya yang mulai menyesuaikan dan cukup modis. Rambutnya yang dulu selalu diikat kini nampak di urai. Kemala juga mulai belajar make up dari Sintya. Ia lebih fresh dari pertama kali datang kemari.

Kini, tak ada lagi yang memandangnya sebagai gadis kampungan. Bahkan beberapa cowok mulai mengejar-ngejarnya. Kemala sangat menarik, wajahnya cantik dengan kulit kuning langsat dan wajah oriental. Badannya pas, tidak kurus juga tidak gemuk. Kemala yang dulu pemalu dan introvert, perlahan berubah, ia semakin berani sehingga membuat siapapun terpana.

Sepulang dari mengantar Kemala, Tama berdiri di teras, menatap kosong ke arah langit pagi yang mulai menghangat. Secangkir kopi sudah dingin di tangannya, tak disentuh sejak tadi. Dari arah dapur, Erina sedang sibuk mencuci piring sambil bersenandung pelan.

Sesuatu terasa tidak pas. Terlalu cepat. Terlalu mudah

Baru beberapa jam yang lalu, tepatnya saat subuh Erina menangis sesenggukan, tubuhnya gemetar seperti habis diseret maut. Tapi pagi ini, hanya selang beberapa jam, perempuan itu sudah bisa tersenyum, memasak, mencuci piring, dan bahkan bersenandung. Apakah itu ciri orang trauma?

"Mas, kenapa di luar aja? Kopinya udah dingin, lho," sapa Erina dari ambang pintu, membawa sepotong pisang goreng di atas piring kecil.

aja." Tama menoleh, tersenyum kaku. "Iya. Mas lagi mikir

Erina mendekat, menyodorkan piring. "Coba ini, aku barusan goreng. Pisangnya matang banget."

Tama mengambil satu, mencicipi. "Enak."

Mereka duduk berdampingan di bangku teras.

Sejenak, hening membentang di antara mereka, hingga Tama memberanikan diri bertanya.

"Rin," ujarnya hati-hati, "waktu kejadian itu, kamu masih sempat lihat plat nomor motor salah satu begalnya? Atau ciri-ciri mereka?"

Erina terlihat terkejut sejenak, sebelum cepat-cepat menggeleng. "Enggak, Mas. Semua terjadi cepat banget. Aku juga panik. Lagipula gelap banget di situ."

"Hmm," Tama mengangguk kecil. "Terus, kamu dibawa ke mana? Maksud Mas, setelah kamu keluar dari mobil..."

Erina tampak gugup. "Aku... aku nggak tahu. Aku cuma lari. Masih syok. Aku beberapa kali istirahat di tepi jalan, bahkan di masjid. Hingga akhirnya aku sampai rumah."

Tama menatap lekat wajah istrinya. "Kenapa kamu nggak minta tolong sama orang. Kan nggak mungkin nggak ada orang sama sekali di jalan? Kamu bisa hubungin aku waktu itu?" Erina terdiam sepersekian detik, lalu tertawa canggung. "Mas... Mas nanya kayak interogasi polisi aja. Aku panik waktu itu. Aku takut, bahkan untuk minta tolong sama orang yang lewat. Takut orang-orang yang aku temui juga orang jahat."

Tama tersenyum kecil, tapi dalam hatinya, ia mencatat. Terlalu banyak jeda. Terlalu banyak lubang dan kejanggalan dalam ceritanya.

" Aku cuma pengen pastikan kamu benar-benar aman.

Aku gak bisa bayangin bagaimana kamu semalam, pasti lelah dan ketakutan," kata Tama lembut,

menyembunyikan rasa was-wasnya.

Erina menyandarkan kepala di pundaknya. "Aku tahu, Mas. Dan aku bersyukur. Tapi tolong, jangan paksa aku untuk terus mengingat malam itu. Setiap kali aku coba ceritain, rasanya tubuhku gemetar lagi. Aku nggak mau kembali mengingat itu."

Tama menepuk bahu Erina pelan. "Mas ngerti.

Tapi..."

Ia terdiam.

"Mas cuma nggak mau ada rahasia di antara kita."

Erina menegakkan badan, menatap wajah suaminya.

"Mas, kamu masih curiga sama aku?"

Tama menggeleng, namun tanpa keyakinan penuh.

"Bukan curiga. Mas cuma merasa ada yang belum selesai.

Tapi sudahlah. Kita jalani aja hari ini. Mungkin besok semuanya akan lebih baik."

Erina tersenyum kecil. "Iya, Mas."

Erina menyandarkan kepalanya di bahu suaminya. Disaat yang bersamaan, tatapan Tama beralih pada kaki istrinya.

"Jika Erina berjalan semalaman, pasti kakinya bengkak atau lecet. Tapi kok masih mulus?"

Tama ingin kembali menanyakan hal itu, namun urung ia lakukan. Percuma, Erina pasti punya seribu jawaban untuk menyangkalnya.

Saat Erina beranjak masuk ke rumah lebih dulu, senyumnya berubah menjadi getir. Ia merasa tekanan mulai menghimpit. Tama memang belum bertindak, tapi pertanyaannya mulai tajam, logis, dan jeli. Satu langkah salah saja, semua bisa terbongkar.

Erina menatap lemari tempat ia menyimpan ponsel satunya. Wajahnya mengeras. Ia tahu ia harus segera mengamankan semuanya. Ponsel. Barang bukti. Dan yang terpenting, rencana selanjutnya dengan kekasih gelapnya.

Di luar, Tama kembali menatap langit.

"Aneh sekali," gumamnya pelan

Tama memejamkan mata. Hatinya berdoa agar ia salah. Bahwa Erina tetap perempuan yang ia cintai. Tapi perasaan di dadanya tak bisa dibohongi-semakin hari, semakin banyak lubang dalam sandiwara Erina. Ia merasa ada jarak yang semakin mengikisnya. Bukan karena kedatangan Kemala ke rumah ini, namun perubahan Erina yang makin lama, semakin mencurigakan.

Keesokan hari, langit tampak mendung, seolah menyimpan rahasia besar yang siap terkuak. Tama berdiri di depan pintu rumah, merapikan kerah kemejanya sambil menatap wajah istrinya yang tampak sendu dan sayu.

"Mas ke kafe dulu ya, Rin. Stok beberapa bahan udah habis, tadi malam si Idoy ngabarin," ucap Tama sambil mengenakan jam tangannya.

Erina mengangguk pelan, memeluk suaminya erat-terlalu erat.

"Jangan lama-lama, ya, Mas. Aku masih trauma... kalau nggak ada Mas, aku kayak merasa takut banget," ujarnya dengan suara bergetar. Matanya tampak berkaca-kaca, seperti istri yang benar-benar terguncang.

Tama mengusap punggungnya lembut. "Iya, Mas cepat pulang. Kamu istirahat aja yang banyak."

Setelah memberikan kecupan singkat di dahi Erina, Tama keluar dari kamar. Ia mengetuk pintu kamar Kemala, mengajaknya berangkat bareng.

Namun Kemala menyahut dengan lemas. "Duluan aja, Om. Aku gak masuk kuliah hari ini."

Tama mengerutkan keningnya. "Lho, kenapa? Kamu sakit?"

"Gak apa-apa, cuman pusing aja. Aku mau lanjut tidur, Om!" teriaknya dari dalam.

Tama menjadi khawatir, namun ia juga tidak bisa meninggalkan kewajibannya sebagai pemilik cafe.

"Ya sudah, nanti siang Om pulang ya. Kamu jangan lupa sarapan dan minum obat," ucap Tama sebelum

Beranjak menuju pintu rumah.

Tama masuk ke dalam mobil dan perlahan meluncur keluar dari halaman rumah. Erina yang masih ada di kamarnya dan mendengar jika mobil itu baru saja melaju, langsung menyunggingkan senyum cerah. Aura manisnya seketika lenyap, digantikan rona bebas dan licik.

Ia menegakkan tubuhnya, meregangkan tangan dan menghela napas panjang. "Akhirnya Mas Tama dan Kemala berangkat juga. Aku bebas,' gumamnya puas. Ia tidak tahu jika sebenarnya Kemala tidak berangkat ke kampus hari ini.

Langkahnya ringan keluar dari kamar menuju ruang tamu, lalu duduk di sofa empuk. Tangannya lincah menggulir layar ponsel hitam yang selama ini ia sembunyikan dari suaminya.

Sementara itu, di kamar belakang, Kemala tengah berbaring di tempat tidur. Tubuhnya lemas karena sakit perut akibat datang bulan di hari pertama. Namun, rasa bosan mulai mengusik. Ia menghela napas, lalu bangkit dengan langkah pelan menuju ruang tengah.

Ia tak ingin makan. Tak ingin minum. Ia hanya ingin duduk dan menonton TV, berharap bisa sedikit mengalihkan rasa tak nyaman di tubuhnya. Tapi begitu melewati ruang makan yang terpisah tipis oleh bufet kaca bening dari ruang tamu, langkahnya terhenti.

Suara tawa renyah dan genit yang keluar dari ruang tamu menghentikan niatnya menyalakan televisi. Ia mengenali suara itu. Suara Erina-tantenya. Tapi bukan suara tawa lembut seperti biasanya. Ini... berbeda. Terlalu manja, terlalu menggoda.

Kemala tentu makin curiga. Bukankah tantenya masih lemas akibat kejadian malam kemarin. Tawa Erina yang begitu lepas dan manja, tentu sangat kontras dengan seseorang yang sedang mengalami trauma.

Kemala merunduk di balik bufet kaca. Jantungnya berdetak kencang saat mendengar kalimat demi kalimat keluar dari mulut sang tante.

"Aku kan udah bilang, Tama itu bodoh, Sayang. Dia percaya gitu aja kalau aku dibegal," suara Erina terdengar jelas, penuh kepuasan.

Kemala menahan napas.

"Pokoknya, nanti mobil itu kita jual terus uangnya kita pakai buat senang-senang. Aku bisa minta mobil baru sama Kemala, tenang aja."

Darah Kemala mendidih. Ia menutup mulutnya, menahan desa-han emosi yang hampir keluar.

Lalu terdengarlah tawa Erina yang melengking, disusul kalimat yang menusuk ulu hati. Kata-kata yang begitu menjijikan untuk didengar.

"Ya, aku juga kangen sama kamu. Nanti kalau waktunya pas, kita ketemuan ya! Aku nggak sabar buat dipuasin kamu lagi..."

Degh.

Kemala mundur selangkah, nyaris terhuyung karena lemas.

Air matanya menetes pelan, tapi bukan karena sakit atau sedih. Ini... amarah. Campuran getir dan kekecewaan. Ia merasa dikhianati. Bukan hanya oleh

Erina, tapi oleh semua topeng yang selama ini menutup wajah asli tantenya itu.

Ia membalikkan badan dan memegangi dinding, berusaha menenangkan diri.

"Aku nggak salah dengar... aku nggak halu... Tante Erina... dia beneran selingkuh? Dia bohong dan dia sudah ingkar janji? Dia benar-benar manipulatif?" bisiknya lirih, masih tidak percaya.

Kemala menatap lurus ke arah kamarnya. Tapi sebelum melangkah kembali, ia sempat melirik ke arah Erina yang masih tergelak sambil menempelkan ponsel ke telinga.

Wajah tante yang biasanya tampil lembut itu kini terlihat bengis dalam senyumannya. Senyum penuh tipu daya.

Kemala mengepalkan kedua tangannya, tubuhnya sedikit gemetar karena suhu tubuh dan emosi yang meledak.

"Kau telah salah menilaiku, Tante," gumam Kemala lirih. "Mungkin aku kampungan dan terlihat lemah, tapi aku tidak main-main dengan ancamanku waktu itu. Kau tidak akan mendapatkan secuil pun harta yang aku punya, dan kau akan kehilangan Om Tama. Selain itu, aku akan terus menyelidikimu! Kau akan merasa hidup di neraka di dalam rumahmu sendiri sebelum kebenaran itu terungkap!"

Gadis itu melangkah masuk kembali ke dalam kamarnya, perlahan dan pelan-pelan supaya Erina tidak menyadari keberadaannya. Ia akan membongkar

Kebusukan tantenya, tapi tidak sekarang. Ia ingin Tama memergokinya secara langsung.

"Mulai detik ini, aku akan merebutnya."

Hari ini, Erina boleh merasa menang. Erina boleh saja berpikir jika dia bisa mengelabui semua orang di rumah ini, namun Kemala pastikan kebenaran akan menemukan jalannya.

Kemala bersumpah... ini adalah awal dari kejatuhan sang ratu sandiwara. Tidak peduli jika Erina adalah adik kandung dari ibunya sendiri. Kemala akan membongkar kebusukan tantenya dan menghancurkan hidup Erina dengan tangannya sendiri.

***

1
Towa_sama
Wah, cerita ini seru banget, bikin ketagihan!
✨HUEVITOSDEITACHI✨🍳
Ngakak banget!
im_soHaPpy
Datang ke platform ini cuma buat satu cerita, tapi ternyata ketemu harta karun!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!