Arion adalah segalanya yang diinginkan setiap wanita dan ditakuti setiap pria di kampus. Tampan, karismatik, dan pemimpin Klan Garuda yang tak terkalahkan, ia menjalani hidup di atas panggung kekuasaan, di mana setiap wanita adalah mainannya, dan setiap pertarungan adalah pembuktian dominasinya. Namun, di balik pesona mautnya, tersembunyi kekosongan dan naluri brutal yang siap meledak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dnnniiiii25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9
Malam itu pekat, diselimuti keheningan yang menyesakkan, seperti rahasia yang terpendam di balik tembok-tembok kusam universitas. Pikiran Arion berpacu, berkelebat antara bayangan-bayangan di video Adam, bisikan Serena yang penuh dendam, dan wajah Luna yang penuh harapan sekaligus kekecewaan.
Jaring yang ia coba uraikan justru terasa kian melilit, dan yang paling mengganggu adalah fakta bahwa beberapa benang jaring itu berasal dari orang-orang yang ia kenal, bahkan pernah ia sentuh. Rasa mual itu kembali, kali ini lebih pekat, bukan karena jijik pada orang lain, melainkan pada dirinya sendiri.
Paginya, ponsel Arion bergetar, pertanda balasan dari Luna. "Di mana?"Arion mengetik cepat.
"Studio Seni, Aku akan menunggumu", Tidak butuh waktu lama Luna tiba di studio. Raut wajahnya tegang, matanya gelap oleh kekhawatiran.
"Apa yang terjadi? Siapa yang dekat? Apakah Kenzie atau Adrian?". Arion menggeleng, lalu menarik Luna untuk duduk di sofa tua yang ada di sudut studio.
Ia membuka laptop, memutar kembali potongan video yang menunjukkan Serena berinteraksi dengan Dekan Anwar dan pengusaha-pengusaha itu, Ia juga menunjukkan screenshot dari pesan Serena yang mengancam dirinya, Luna menatap layar, pupil matanya membesar karena terkejut.
"Serena? Tapi dia...dia temanmu, kan? Dia juga sering datang ke pameran seni kampus"
"Dia bukan temanku," Arion meralat, suaranya dingin.
"Dia seseorang yang kupikir bisa kumainkan Sama seperti wanita-wanita lain." Ia merasa getir mengucapkan kalimat itu di hadapan Luna.
"Tapi dia bagian dari klub ini, Dia bukan hanya cemburu, Dia terlibat", Luna menghela napas, menutup wajahnya dengan kedua tangan.
"Ini gila, Aku tidak percaya, Dia... dia mahasiswi Sastra. Dia punya idealisme."
"Idealisme bisa dibeli Luna," Arion berkata, nada suaranya pahit.
"Atau dikorbankan demi kekuasaan, Atau mungkin, dia memang sudah busuk dari dalam."Arion lalu menjelaskan bagaimana ia melihat Serena menari menggoda Dekan Anwar di video lain, bagaimana Serena tampak terlalu profesional dalam permainan itu.
Luna mendengarkan dengan seksama, namun ada sesuatu yang lain di matanya, Sesuatu yang lebih dari sekadar keterkejutan. Ada rasa sakit.
"Jadi dia juga salah satu yang kau... 'mainkan'?"Arion membuang muka, Ia tidak bisa bohong.
"Ya" Keheningan menyelimuti ruangan, Luna bangkit, berjalan menjauh dari Arion menuju lukisan-lukisan abstraknya, Arion bisa merasakan jarak yang tiba-tiba membentang di antara mereka, lebih dingin daripada malam di luar.
"Kau tahu, Arion," Luna memulai, suaranya pelan, gemetar.
"Aku selalu tahu siapa dirimu, Aku melihatmu Dari dulu, Aku melihat bagaimana kau menari di antara mereka, mengambil apa yang kau inginkan, Aku membenci bagian itu darimu.
"Tapi aku juga melihat sesuatu yang lain. Sesuatu yang membuatku percaya kau berbeda"
"Sesuatu yang membuatku berharap", Ia berbalik, menatap Arion dengan mata yang berkaca-kaca.
"Tapi melihat semua ini, mengetahui bahwa kau bahkan bisa tidur dengan mereka, orang-orang yang terlibat dalam kebusukan ini". Arion bangkit, melangkah mendekat.
"Luna, itu dulu, Sebelum aku tahu."
"Sebelum kau tahu? Atau sebelum kau bertemu denganku?" Luna membalas, suaranya meninggi.
"Apa bedanya Arion? Kau masih saja sama, Kau masih menggunakan wanita, kau masih bermain-main dengan hati mereka, Hanya saja, kali ini ada bahaya yang lebih besar."
Arion meraih tangan Luna. "Aku tahu aku tidak sempurna, Aku tahu aku masih brengsek, Tapi aku mencoba Luna, Aku mencoba untuk berubah Demi ini, Demi kita."
Luna menarik tangannya, air mata mulai mengalir di pipinya.
"Jangan katakan kita Arion, Kau tidak tahu apa itu kita,,, Kita bukan hanya sekadar janji di tengah bahaya, Kita butuh kepercayaan, Dan kau baru saja menghancurkan sebagian kecil yang kubangun untukmu."
Arion merasakan hatinya perih, Ini lebih menyakitkan daripada pukulan Rex, Ini adalah konsekuensi dari permainan yang ia kira ia kuasai, Ia mendekat memeluk Luna dari belakang, merasakan tubuh gadis itu bergetar.
"Aku minta maaf Luna, Aku minta maaf, Aku tidak punya alasan, Tapi aku tidak bisa membiarkanmu pergi, Tidak sekarang, Tidak setelah semua ini", Arion mencium lembut rambut Luna, lalu beralih ke tengkuknya mencoba memberikan kenyamanan mencoba menyampaikan penyesalan, Ia tahu ini tidak adil, ia tahu ini manipulatif, tapi ia tidak bisa melepaskan Luna.
Luna tidak melawan, tapi juga tidak membalas pelukan Arion, Ia hanya terdiam membiarkan tubuh Arion menempel di punggungnya, membiarkan kehangatan Arion meresap, sebuah jeda yang rapuh di tengah badai emosi.
"Kita butuh Serena Luna" Arion berbisik suaranya serak.
"Kita butuh dia untuk membongkar jaring ini, Dia tahu lebih banyak."Luna menghela napas panjang.
"Bagaimana kau akan membuatnya bicara? Dengan pesonamu lagi? Dengan janji palsu lagi?"Arion menggeleng.
"Aku tidak tahu, Tapi aku akan mencari cara Tanpa melukai siapa pun lagi, Aku janji."
Malam itu Arion dan Luna kembali merencanakan strategi dengan Profesor Hadi, Kenzie, dan Adrian, Atmosfernya tegang, namun juga penuh determinasi. Profesor Hadi terkejut mendengar keterlibatan Serena.
"Serena dia mahasiswi yang cerdas, Sangat berbakat," Profesor Hadi merenung.
"Tapi dia juga memiliki ambisi yang tinggi, Ini menjelaskan mengapa dia tiba-tiba sering berada di lingkaran Dekan Anwar."Mereka memutuskan untuk mencoba mendekati Serena secara diam-diam. Mencari tahu apa motifnya, apa yang dia inginkan, Mungkin ada cara untuk memanfaatkannya.
Di saat yang sama, Clarissa dan Tania kembali dengan laporan baru, Kali ini mereka datang dengan wajah pucat.
"Arion kami melihat sesuatu," Clarissa berbisik, tubuhnya gemetar.
"Kami melihat Elara, Dia,,, dia juga ada di pesta itu, Dan dia terlihat sangat ketakutan."
Elara, mahasiswi yang mengirim pesan menggoda pada Arion, kini menjadi korban lain dalam permainan dekan Anwar.
Tania menambahkan, "Kami mencoba bicara dengannya, tapi dia langsung lari, Dia terlihat seperti baru saja melihat hantu."
Arion mengepalkan tangan, Jaringan ini semakin meluas, Korban semakin banyak, Dan kini beberapa di antaranya adalah wanita yang pernah ia sentuh, pernah ia cicipi, Rasa bersalah itu menusuk lebih dalam, Arion menatap Luna, dan Luna menatapnya kembali, tatapan itu menuntut lebih dari sekadar janji, Ia menuntut tindakan.