novel fiksi yang menceritakan kehidupan air dan api yang tidak pernah bersatu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Syihab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ruang Tanpa Cahaya
Cai terbangun dengan napas tersengal. Tubuhnya terasa ringan, seolah gravitasi di tempat ini belum memutuskan apakah akan menahan atau melepaskannya. Ia mengerjap, membiarkan pandangan menyesuaikan dengan kegelapan yang pekat.
Gelap itu bukan gelap biasa—ini gelap yang hidup, bergerak pelan seperti kabut hitam menyelimuti udara.
“Sena?” panggilnya pelan.
Ada jeda panjang, diikuti suara serak yang dipenuhi kelelahan.
“…Cai?”
Cai langsung bangkit. Ia berlari beberapa langkah ke arah suara, lalu menemukan Sena terduduk di lantai hitam licin yang tampaknya tidak memiliki tekstur apa pun.
Cai berlutut di sampingnya. “Kau baik-baik saja?”
Sena mengangguk tipis. “Tidak seratus persen. Tapi aku masih hidup. Itu cukup.”
Keduanya tertawa kecil—tawa gugup, tawa lega, tawa yang hanya muncul setelah hampir ditelan ketakutan mereka sendiri.
Cai membantu Sena berdiri. Begitu tangan mereka bersentuhan, Sena merasakan aliran hangat yang menenangkan mengalir dari Cai.
“Terima kasih,” kata Sena pelan.
“Untuk apa?”
“Untuk tetap mencariku bahkan di tengah ujian itu…”
Cai tersenyum lirih. “Aku tidak pernah berhenti.”
Mereka berdiri sejenak, memandang sekeliling, mencoba memahami ruang yang baru mereka masuki.
Ruang itu luas—atau mungkin tidak memiliki batas sama sekali. Lantai gelap seperti obsidian membentang sejauh mata memandang. Tidak ada langit, tidak ada tanah, tidak ada titik rujukan.
Hanya kegelapan, dan diri mereka berdua.
Cai memejamkan mata sejenak. “Tempat ini terasa… aneh.”
“Lebih dari aneh,” balas Sena, mengamati sekeliling dengan penuh kewaspadaan. “Tempat ini seperti… menunggu kita melakukan sesuatu.”
---
Langkah pertama saja sudah membuat gema yang terlalu panjang. Suara itu menggulung, memantul, kemudian hilang bagai diserap ruang yang lapar.
Cai menoleh. “Suaranya… seperti dipelintir.”
Sena mengetukkan kakinya lagi. Gema itu memanjang, menjadi samar, lalu berubah menjadi bisikan-bisikan asing sebelum akhirnya tenggelam.
Cai merinding. “Apa kau dengar itu?”
Sena mengangguk. “Aku tidak suka tempat ini.”
Mereka mulai berjalan beriringan. Tidak ada tujuan jelas, tapi mereka tahu bahwa ruang ujian tidak akan melepaskan mereka tanpa memberikan sesuatu lebih dulu.
Setelah beberapa menit berjalan, permukaan lantai mulai berubah. Cahaya samar biru dan merah muncul jauh di depan, bergetar seperti nyala lilin yang hampir padam.
Cai memperlambat langkahnya. “Apa itu?”
Sena mendekat sedikit. “Tidak tahu… tapi kurasa kita harus ke sana.”
Mereka mendekat dengan hati-hati, dan ketika cahaya itu semakin jelas, mereka menyadari sesuatu: cahaya itu bukan benda. Cahaya itu adalah… retakan.
Retakan tipis memanjang di lantai, bercahaya biru dan merah yang dua warnanya saling melilit seperti arus dan api yang bertemu.
Cai berjongkok, menatapnya. “Ini warna dimensi kita.”
Sena ikut berjongkok. “Ya… tapi kenapa ada di sini?”
Tiba-tiba retakan itu berdenyut, dan bisikan halus mengalir keluar darinya.
“Seles… ai…”
“Har… mon…”
“Pe… cahan…”
Cai menelan ludah. “Ini bukan bahasa manusia.”
“Bukan juga bahasa api atau air…” Sena memiringkan kepala. “Tapi rasanya… aku pernah merasakannya.”
Cai menatapnya. “Di mana?”
“Di inti dunia api,” jawab Sena dengan suara pelan. “Suara halus yang muncul saat Aku Merah menguasai ruang. Tapi… ini berbeda. Ini seperti berasal dari sesuatu yang… lebih tua.”
Retakan itu tiba-tiba merenggang sedikit, dan dentuman halus terdengar seperti jantung yang berdetak.
Cai mundur. “Sena, kita harus—”
BLAAAR.
Retakan itu meledak dalam kilatan cahaya—tapi bukan cahaya menyakitkan—melainkan cahaya yang seolah menarik sesuatu keluar dari diri mereka.
Cai berteriak, memegangi kepala. Ia merasakan sesuatu terhisap dari dalam dadanya—seperti kekuatannya ditarik paksa.
Sena pun terjatuh berlutut, tubuhnya bergetar hebat. Api dalam dirinya menyala tanpa kendali, membentuk spiral merah di sekitar tubuhnya.
“Aaaaargh—Cai!!”
Cai menyentuh bahu Sena. “Aku di sini! Bertahan!”
Tapi sentuhan itu justru membuat arus biru dari tubuh Cai tertarik ke retakan. Warnanya mengalir seperti benang air yang ditarik keluar.
Cai merasakan dadanya kosong. Lemas. Pusing.
Sena berusaha meraih tangan Cai, tetapi api dari tubuhnya malah berhamburan, panasnya tak bisa dikendalikan.
“Aku… tidak bisa… menghentikannya…” Sena memersempit mata, berusaha mengendalikan nyalanya.
Retakan itu semakin besar. Bisikan yang keluar berubah menjadi teriakan lirih:
“Per… satu… an…”
“Pe… cahan…”
“A… kar…”
Cai membeku.
“Akar?” ulangnya pelan. “Sena… apakah menurutmu—”
Tetapi sebelum ia sempat melanjutkan, retakan itu menyemburkan cahaya besar yang membungkus keduanya.
Segalanya hilang.
---
Saat Cai membuka mata, ia sudah berada di tempat yang sama sekali berbeda.
Ia berdiri di tengah lautan air yang tenang—hanya saja lautan itu menggantung di udara seperti kubah, tidak menyentuh tanah. Langitnya gelap tanpa bintang, hanya dihiasi lingkaran cahaya biru yang berputar perlahan.
“Ini…” Cai mendesah. “Bukan dunia air.”
“Kau benar.”
Suara Sena terdengar dari belakangnya.
Cai berbalik cepat. Sena berdiri beberapa langkah darinya—namun sesuatu berbeda. Api di tubuh sena tidak merah keemasan seperti biasa. Api itu biru.
“Sena?”
Sena menatap tangannya sendiri. Cahaya biru berkedip lembut dari sela jarinya.
“Aku tidak merasakannya sebagai api…” katanya pelan. “Aku merasakannya sebagai… cairan panas. Seperti magma yang berubah menjadi air panas.”
Cai mendekat, memeriksa. “Api Biru? Tapi itu tidak mungkin. Api Biru hanya muncul ketika—”
“Meskipun aku ingin menyangkalnya,” sela Sena, “rasanya seolah kekuatanku sedang menyatu dengan punyamu.”
Cai terdiam.
Ia menatap ke bawah—dan terkejut melihat tubuhnya sendiri dikelilingi aliran air merah yang berputar perlahan seperti pita.
“…Ini bukan kekuatan air biasa,” Cai berbisik.
“Air Merah,” gumam Sena. “Seharusnya tidak mungkin bagi air memiliki warna merah kecuali… jika sudah melewati suhu tinggi. Tapi ini bukan panas.”
Cai menyentuhnya. Air merah itu dingin.
Cai dan Sena saling menatap dengan ngeri dan tak percaya.
“Kita… tertukar sebagian,” kata Cai.
“Tidak hanya tertukar,” koreksi Sena. “Kekuatan kita… mulai menyatu.”
Sebelum mereka bisa memproses lebih jauh, suara berat bergema dari atas mereka.
Suara seperti dua getaran—air dan api—bertumpuk menjadi satu.
“Anak air. Anak api.”
Cahaya biru dan merah jatuh dari langit, membentuk sosok besar yang tidak memiliki bentuk tetap—kadang seperti manusia, kadang seperti binatang, kadang seperti arus dan kobaran sekaligus.
“Kalian telah melewati ketakutan kalian… namun ujian persatuan belum dimulai.”
Cai menelan ludah. “Persatuan?”
Sosok itu melayang rendah, mendekati mereka.
“Dua dimensi kalian berasal dari sumber yang sama.”
Cai dan Sena membeku.
“…Apa?”
Sosok itu menatap mereka dengan mata bercahaya biru-merah.
“Air dan Api… bukan musuh. Mereka adalah saudara yang dipisahkan oleh kehendak para leluhur.”
Sena mundur selangkah, tak percaya. “Tapi bagaimana mungkin? Semua catatan dalam dunia api mengatakan—”
“Catatan itu disunting oleh mereka yang takut pada kedamaian.”
Cai merasakan jantungnya berdetak keras.
Sosok itu mengangkat lengannya yang terbuat dari aliran energi.
“Dan sekarang, kalian berdua… memikul tugas untuk menyatukan kembali akar yang telah diputus.”
Cai dan Sena saling memandang—ketakutan, kekagetan, dan sesuatu yang lebih dalam dari itu.
“Kalau kami menolak?” tanya Sena, suaranya berat.
Sosok itu tersenyum samar, meski tanpa wajah.
“Maka kekuatan kalian akan saling menghabisi… sampai hanya salah satu dari kalian yang tersisa.”
Cai merasakan darahnya membeku.
Sena mengepalkan tangan. “Tidak. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.”
Sosok itu mengangguk pelan.
“Maka bersiaplah… karena perjalanan kalian baru saja dimulai.”
Cahaya biru-merah meledak di sekitar mereka, menandai dimulainya ujian yang jauh lebih sulit.
Dan di tengah gemuruh cahaya itu—keduanya saling menggenggam tangan.
Tak ada lagi keraguan. Tak ada lagi jarak.
Apapun yang menanti mereka setelah ini… mereka akan menghadapinya bersama.