Mirai adalah ID game Rea yang seorang budak korporat perusahaan. Di tengah stress akan pekerjaan, bermain game merupakan hiburan termurah. Semua game ia jajal, dan menyukai jenis MMORPG. Khayalannya adalah bisa isekai ke dunia game yang fantastis. Tapi sayangnya, dari sekian deret game menakjubkan di ponselnya, ia justru terpanggil ke game yang jauh dari harapannya.
Jatuh dalam dunia yang runtuh, kacau dan penuh zombie. Apocalypse. Game misterius yang menuntun bertemu cinta, pengkhianatan dan menjadi saksi atas hilangnya naruni manusia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jaehan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sepatu
Part 9
"Vin? Vincent? Kamu kenapa?"
Nero terhenyak. Dipanggil dengan nama yang bukan miliknya, rasanya masih belum terbiasa. "Gak, gapapa. Gimana sepatunya? Pas nomornya?" tanyanya mengalihkan topik.
Mirai mencoba sepatu itu dan terkesima sendiri. "Eh, pas!"
"Ba-bagus, deh!" sahut Nero lekas beralih ke bagian sudut lain yang ada tumpukan dusnya. Setidaknya kalau tidak terlalu dekat denganya ia bisa menenangkan diri.
"Mau dibantu cari buat kamu?" tawar Mirai.
"Boleh. Tolong cari di situ," jawabnya sambil menunjuk sudut paling jauh.
"Oke."
Kini Nero mulai bernapas lega. Celananya perlahan mulai melonggar, tidak sesesak tadi. "Hufh!" Isi pikirannya jadi kalut, karena ke depannya akan terus berduaan dengan gadis itu. Hari ini ia berhasil menahan diri, esok hari belum tentu. Bagaimana pun semua lelaki itu serigala. Sejurus kemudian teringat janjinya sendiri. Gue bukan orang yang suka ingkar janji.
Setengah jam kemudian sepatu yang disukai Nero akhirnya ditemukan. Ruangan yang tadinya rapi kini sudah berantakan. Banyak sepatu dan dus terbuka berserakan di lantai. Mirai bersandar di tumpukan dus. "Kamu benar-benar pemilih, ya!" gerutunya yang kelelahan.
"Iyalah. Kita kan hidup cari yang terbaik."
Mirai meliriknya yang sibuk memainkan sepatu baru berwarna putih bergaris hijau neon di kakinya. Hidup? Besok masih hidup aja udah bagus. "Gak capek hidup kayak gitu?"
"Memangnya kamu gitu?"
Kedua mata Mirai terpejam teringat akan latar belakang kehidupannya. "Ada yang mau nerima aku apa adanya aja udah seneng."
"Eh?"
"Diantara perempuan, aku bukan pilihan yang terbaik." Besar di panti asuhan, tidak diketahui siapa orangtuanya. Orang baik atau jahatkah? Bibit bebet bobotnya tidak jelas. Tidak ada koneksi keluarga. Tak punya wali. Warisan hanya khayalan. Apalagi sekadar nama dibelakang binti di papan kuburan nanti. Nama itu hanya akan menjadi misteri hingga napasnya berhenti.
Nero masih terpaku diam mendengarkannya melanjutkan bicara. Tapi isi pikirannya tetap bermain. Cantik, seksi, baik, udah kerja. Cewek se-perfect itu bukan yang terbaik?
Mirai tersadar lantas mendudukkan diri. "Maaf, aku ngelantur."
"Kalau gitu aku aja yang nerima kamu."
Mirai menatap mata pria itu yang tampak sungguh-sungguh. "Kamu kan cari yang terbaik."
"Iya, bener. Sekarang ini kamu yang terbaik dari semua zombie cewek di sini."
"Hah?" Mirai ternganga, sejurus kemudian ia terpingkal geli hingga air matanya keluar. Nero pun jadi ikut tertawa. "Beneran! Hahaha! Aku gak tau mau seneng apa sedih dengernya!"
Meski ucapannya hanya dianggap gurauan, setidaknya Nero senang gadis itu tidak sedih lagi. Setiap orang memiliki masalahnya masing-masing. Suatu hari gadis ini akan terbuka pada dirinya, cepat atau lambat. Dilihat jam tangan di pergelangan tangan kanannya. Waktu menunjukkan pukul setengah tiga dini hari. "Sebaiknya kita istirahat. Banyak hal yang mesti kita cari buat bekal keluar dari kota ini."
"Oke." Mereka pun sedikit membereskan dus untuk ruang berbaring. Hanya saja Mirai agak heran dengan tempat berbaring Nero yang menyudut jauh darinya. "Kita jauhan?"
Nero tercekat. Bukankah sudah jelas? Dilihatnya raut gadis itu yang kurang senang. Inikan demi kebaikan dia sendiri. "Sebaiknya begini, menghindari kejadian yang diinginkan."
Seketika wajah Mirai merah padam. "Eh?! O-oke, deh!" Lekas saja ia merapatkan blazer lalu berbaring sambil membelakangi Nero. Terdengar tawa cekikikan yang membuat Mirai semakin malu.
Pagi hari Nero terjaga lebih dulu. Jam di tangan menunjukkan pukul sembilan pagi. Kini ia duduk di kursi ditemani map world yang terbentang di meja sambil mengunyah biskuit. Andai aja ada petunjuk kemana harus pergi. Sejujurnya, map ini sangat familiar. Ia tahu semua tempat itu selama bermain game. Kota terdekat dari Dawn adalah Rain. Kalau gak salah di sana ada laboratorium penelitian yang lumayan besar. Mungkin ada petunjuk di sana. Apa ke sana aja?
"Lihat apa?"
Nero tercekat oleh suara serak Mirai yang baru bangun tidur. Baru saja menoleh ke asal suara, dirinya sudah dikejutkan oleh pemandangan luar biasa. Ternyata Mirai telah berdiri tepat di sebelahnya tanpa tiga kancing kemeja teratas terkait. Belahan yang diidamkan semua pria terlihat jelas dalam jarak beberapa senti. Sontak wajah merahnya beralih ke map lagi.
Mirai yang menyadari gelagatnya langsung mundur ke belakang. "Eh, maaf! Semalam gerah banget," jelasnya sambil mengancingkan lagi.
"I-iya. Gapapa," jawabnya gugup yang tertunduk dalam. Rasanya Nero ingin sekali menangis. Kalo ini di anime, pasti gue udah mimisan deres mpe kehabisan darah. Bukan kek keran aer lagi, tapi dah kek aer terjun ngalirnya njiiiir. Astagaaaa, berat banget melon eh cobaan.
Setelah merapikan diri Mirai duduk di seberang Nero sambil mengamati map yang terbuka lebar. Dalam dunia isekai, map merupakan benda berharga apabila sistem benar-benar tidak ada. Saat dicermati, entah mengapa ia familiar dengan posisi tiap kota padahal agak malas mengingat lokasi kota yang menjadi misi dalam game. "Jadi, ke kota mana kita pergi?"
"Rain."
"Ooh." Satu-satunya alasan yang terpikirkan oleh Mirai kenapa Nero menunjuk kota itu karena letaknya yang paling dekat. "Eh, tapi nama-nama kota di dunia ini unik, ya. Semuanya kayak ada hubungannya sama cuaca atau musim gitu. Tapi cuma kota ini yang beda sendiri," komentar Mirai sambil menunjuk kota yang berada di ujung map.
"Santuary City," baca Nero. "Di game aku udah ke sana. Medannya berat banget, soalnya dikelilingi area salju, tapi pas nyampe ke kotanya beneran gak ada apa-apa. Kosong. Bahkan zombie pun gak ada. Aku pikir itu kota untuk event tertentu aja. Tapi event-nya gak pernah rilis."
"Ya, aku juga pernah ke sana. Aneh, sih. Kotanya rapi. Kayak gak pernah terjadi kekacauan gara-gara zombie. Seharusnya kan ada peradaban. Atau pertahanan koloni manusia terakhir." Mirai bangkit sambil berbenah diri.
Nero mengangguk menyetujui. "Mungkin kita perlu cek tempat itu."
Mirai langsung mengerucutkan bibir. "Weh, aku gak kuat dingin."
"Iya, sih. Butuh persiapan matang ke sana. Udah gitu tempatnya jauh dari sini. Kita jalan sepuluh meter aja taruhannya udah nyawa." Tapi tetap saja Nero mempertimbangkan untuk ke sana dengan atau tanpa Mirai. Eksplorasi adalah tindakan utama dalam penyelesaian quest. Petunjuk perlu dicari di semua tempat demi mendapatkan jawaban.
"Oke. Aku dah siap," tukas Mirai sambil mengenakan blazernya. "Kita cari apa dulu?"
Nero mengamatinya dari atas hingga bawah, lagi-lagi dadanya berdebar keras. Rambut hitam panjangnya sudah tersanggul rapi. Sisa make-up kerjanya sepenuhnya hilang, wajahnya jadi terlihat jauh lebih muda seperti gadis berumur awal dua puluhan. Kulitnya putih bersih, tanpa lipstik bibirnya berwarna merah muda. "Kamu anak artis, ya?"
"Eh?" Mirai tercekat. "Kok nanya gitu?"
"Cantik banget," jawabnya serius.
Seketika wajah Mirai memerah. "Biasa aja, kok."
Dahi Nero berkerut. "Kamu punya krisis kepercayaan diri, ya?"
"Maksud kamu apa?"
Nero tersenyum. "Enggak, cuma heran aja. Yuklah, kita cari baju dalam dulu. Cewek pasti lebih riweh soal itu. Belum lagi kalau lagi datang bulan."