Ye Fan, pemuda 15 tahun dari Klan Ye—klan kelas tiga di Kota Pelangi—dikenal sebagai anak ajaib dalam seni pedang. Namun hidupnya hancur ketika klannya diserang oleh puluhan pendekar tingkat ahli yang mengincar pusaka mereka, Pedang Giok Langit.
Seluruh klan terbantai. Hanya Ye Fan yang selamat.
Dengan luka di jiwanya dan kemarahan yang membakar hatinya, ia bersumpah untuk menjadi lebih kuat, merebut kembali Pedang Giok Langit, dan membalaskan dendam Klan Ye yang telah musnah.
Ikuti perjalanan Ye Fan di PENDEKAR PEDANG Halilintar!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DANTE-KUN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33: Penyerapan Pil Darah Phoenix
Setelah kobaran api terakhir memakan habis tubuh pria itu, Ye Fan berdiri diam, membiarkan angin malam membawa pergi sisa abu yang menempel di ujung bajunya.
Api padam perlahan, meninggalkan bara merah yang memudar seperti napas terakhir dari sebuah rahasia yang mati bersama pemiliknya.
Tidak ada perasaan bersalah.
Tidak ada penyesalan.
Hanya ketenangan dingin seorang pendekar muda yang sudah terlalu sering melihat kematian sejak malam saat klan Ye musnah.
Ia kembali ke penginapan dengan langkah perlahan, seolah sedang menginjak bayangan masa lalunya sendiri.
Begitu pintu kamar tertutup, Ye Fan langsung duduk di atas lantai kayu, posisi bersila.
Tangannya merogoh kantong pakaian dan mengeluarkan sebuah pil berwarna merah tua yang tampak seperti bara padat—Pil Darah Phoenix.
Pil itu pemberian dari tetua Sekte Pedang Surgawi, hadiah yang seharusnya tak ternilai…
Namun bagi Ye Fan, itu lebih dari sekadar pil:
“Ini satu-satunya hal yang bisa mempercepat jalanku menuju balas dendam.”
Tanpa ragu sedikit pun, Ye Fan menelan pil itu.
Rasa panas langsung menyebar dari tenggorokannya menuju dada—bukan panas yang menyakitkan, tetapi seperti aliran darah baru yang dibakar oleh kehidupan kedua.
Ye Fan mengatur napasnya, lalu mengaktifkan Manual Pemurnian Langit.
Saat energi pil itu mulai meledak liar di dalam tubuhnya, Ye Fan segera menenangkan diri, mengarahkan arus panas itu dengan jalur tenaga dalam yang telah ia hafal sejak kecil.
Namun ... pil ini berbeda.
Dalam tubuh Ye Fan, aliran energi bergerak seperti sungai lava yang berkelok, menghantam titik meridian satu per satu, memurnikan, memperbaiki, memperkuat.
Rasa sakit datang bergelombang seperti pedang yang menggores daging…
Lalu disusul rasa hangat seperti tangan lembut ibunya di masa kecil.
Waktu berjalan tanpa terasa.
Lilin di sudut ruangan habis.
Satu malam berlalu.
Kemudian hari berganti dua kali.
Dan Ye Fan tetap duduk.
Pada hari ke-3 pagi hari, Ye Fan akhirnya membuka mata.
Napasnya keluar dalam satu hembusan panjang, seperti kabut tipis yang membawa seluruh sisa racun dan luka lama keluar dari tubuhnya.
Ia berdiri perlahan, merasakan perubahan yang sangat jelas:
Luka-luka lamanya…
hilang.
Ototnya terasa lebih ringan namun lebih kuat.
Pernafasan internalnya mengalir lebih cepat dan lebih stabil dari sebelumnya.
Dan yang paling mengejutkan—racun-racun lemah tak lagi dapat mempengaruhinya.
Ye Fan mengepalkan tangan.
“Pil ini … bukan sekadar obat. Ini berkah yang tak terhitung nilainya.”
Senyum kecil—langka dan hampir tak terlihat—terbentuk di sudut bibirnya.
Untuk seorang Ye Fan yang dingin, itu lebih dari sekadar tanda bahagia.
Ia keluar dari penginapan mewah itu dengan langkah ringan, membayar sisa tagihan sebelum penjaga sempat menegurnya.
Udara pagi terasa segar, namun baginya … udara itu mengingatkan pada bara balas dendam yang terus menyala.
“Kelompok Istana Kaisar Jiwa…”
“Di mana pun kau bersembunyi, aku akan menemukanmu.”
...
Sementara itu di sebuah Aula yang begitu megah hingga tampak seperti singgasana para dewa, namun suasananya lebih mirip liang kubur yang menelan cahaya. Pilar-pilar hitam menjulang dengan ukiran simbol kuno yang tampak seperti mata-mata terkutuk yang memandang siapa pun yang masuk.
Di tengah ruangan, sebuah meja bundar dari batu obsidian memancarkan pantulan redup dari nyala lilin yang berkerlap-kerlip. Sepuluh kursi besar mengelilinginya.
Dan di kursi-kursi itu … duduk sepuluh siluet.
Tidak ada wajah.
Tidak ada bentuk jelas.
Hanya bayangan hitam yang terasa hidup, seolah-olah kegelapan di tubuh mereka berasal dari sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar cahaya redup.
Ketika mereka berbicara, suara-suara itu terdengar seperti gema yang keluar dari dalam gua purba—berlapis, dingin, nyaris tidak manusiawi.
Siluet di kursi paling ujung menggerakkan jarinya pelan di atas meja, menimbulkan gema seperti gesekan logam.
“Nama itu muncul lagi … Ye Fan.”
Suara lain, lebih berat dan dalam, bergema dari sisi kiri:
“Bocah sialan itu seharusnya lenyap bersama klannya malam itu.”
Bayangan ketiga mencondongkan tubuh, suaranya menyerupai bisikan ribuan serangga:
“Mata-mata kita melaporkan … anak itu berhasil mendapatkan Pedang Petir Fenglei dari Lembah Sungai Naga.”
Sepuluh pasang mata yang tak terlihat itu seakan menatap tajam ke tengah meja secara bersamaan.
Cahaya lilin bergetar hebat, seperti ketakutan.
Siluet lain mengetukkan kukunya ke meja, tiap bunyi berdentang layaknya tetesan darah yang jatuh ke batu.
“Kelompok Dewa Ular sudah kita arahkan ke sana. Seharusnya mereka yang mengambil pusaka itu.”
“Namun bocah itu…”
suara lain melanjutkan, dingin seperti angin dari malam,
“…mencuri takdir dari tangan mereka.”
Sebuah desahan lirih keluar dari salah satu bayangan. Suara itu bukan kekaguman, melainkan rasa terganggu.
“Pedang Petir Fenglei … bukan pusaka biasa. Melainkan salah satu dari delapan Pusaka Penguasa”
“Takdirnya seharusnya kembali ke tangan kita, bukan jatuh ke bocah belasan tahun.”
Tiba-tiba, seorang siluet mengetukkan tongkat panjang ke lantai.
Dentuman itu menggetarkan seluruh aula, membuat ukiran kuno di dinding berdenyut seperti hidup.
“Dan klan Ye … jangan lupa. Mereka memiliki Pedang Giok Langit yang sudah kita sit—”
Siluet di sampingnya memotong dengan suara menyeringai:
“Klan itu sudah kita binasakan. Tak ada lagi yang tersisa … kecuali bocah itu.”
Keheningan berat menyelimuti ruangan.
Masing-masing dari mereka merasakan satu hal yang sama:
Kesalahan.
Klan Ye seharusnya musnah total.
Namun satu anak hidup … dan sekarang menjadi duri yang menusuk kehormatan mereka.
Siluet pemimpin—yang duduk di kursi tertinggi—akhirnya berbicara.
Suaranya tenang, tetapi menyimpan kekuatan yang seolah mampu menghancurkan seluruh kota hanya dengan satu kata.
“Kirim lima pendekar ahli tingkat awal.”
“Yang terbaik.”
“Bunuh bocah itu.”
“Dan rebut Pedang Petir Fenglei.”
Suara lain menambahkan,
“Jangan lupakan Chu Ling. Gadis itu bepergian bersama Ye Fan menuju Kota Mawar Putih.”
“Temukan … dan hancurkan. Dan jangan lupakan untuk mengambil Kitab Naga Air dari wanita itu.”
Sepuluh bayangan itu tidak bergerak, namun aura mereka berubah.
Seolah-olah kegelapan di dalam aula itu menjadi lebih tebal, lebih berat, lebih lapar.
Lilin satu per satu padam tanpa disentuh angin, seakan dikunyah oleh kekuatan tak terlihat.
Dalam gelap gulita yang tersisa, hanya suara bising samar-samar seperti kain panjang yang diseret perlahan…
Tanda bahwa mereka telah pergi.
Yang tertinggal hanyalah meja obsidian … dan hawa menyeramkan, seperti kematian sedang menunggu untuk berjalan di jalan kota.