NovelToon NovelToon
Cinta Beda Alam : Ternyata Istriku Jin

Cinta Beda Alam : Ternyata Istriku Jin

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Cinta Beda Dunia / Cinta Terlarang / Mata Batin / Romansa / Reinkarnasi
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Bagaimana jika wanita yang kau nikahi... ternyata bukan manusia?
Arsyan Jalendra, pemuda miskin berusia 25 tahun, tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Wulan Sari—wanita cantik misterius yang menolongnya saat nyaris tenggelam di sungai—adalah awal dari takdir yang akan mengubah dua alam.
Wulan sempurna di mata Arsyan: cantik, lembut, berbakti. Tapi ada yang aneh:
Tubuhnya dingin seperti es bahkan di siang terik
Tidak punya bayangan saat terkena matahari
Matanya berubah jadi keemasan setiap malam
Aroma kenanga selalu mengikutinya
Saat Arsyan melamar dan menikahi Wulan, ia tidak tahu bahwa Wulan adalah putri dari Kerajaan Cahaya Rembulan—seorang jin putih yang turun ke dunia manusia karena jatuh cinta pada Arsyan yang pernah menyelamatkan seekor ular putih (wujud asli Wulan) bertahun lalu.
Cinta mereka indah... hingga rahasia terbongkar.
Ratu Kirana, ibunda Wulan, murka besar dan menurunkan "Kutukan 1000 Hari"—setiap hari Arsyan bersama Wulan, nyawanya terkuras hingga mati

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 9: Persiapan Pernikahan Sederhana

Arsyan nggak pernah bayangin dia bakal nikah secepat ini.

Tapi sekarang—dua minggu setelah lamaran di tepi sungai—dia udah duduk di rumah kontrakan kecilnya, nungguin Bhaskara sama Dzaki yang katanya mau bantuin urus pernikahan.

Pernikahan sederhana. Karena Arsyan nggak punya apa-apa selain gerobak soto sama hati yang penuh cinta.

"Gas, serius lo cuma mau nikah di masjid kecil? Nggak mau sewa gedung atau minimal... rumah makan gitu?" tanya Bhaskara sambil ngunyah pisang goreng hasil beli dari warung tetangga.

Arsyan menggeleng. "Nggak usah, Bhas. Yang penting nikahnya sah. Lagian... Wulan juga nggak minta yang mewah-mewah."

Dzaki yang duduk di sudut sambil baca tasbih nyeletuk, "Mas Arsyan... Wulan itu... keluarganya mana? Wali nikahnya nanti siapa?"

Arsyan terdiam.

Itu pertanyaan yang sejak kemarin menghantuinya. Wulan bilang dia yatim piatu—nggak punya keluarga di dunia manusia. Tapi kalau nggak ada wali... gimana nikahnya?

"Kata Wulan... dia izin pakai wali hakim. Soalnya... dia nggak ada keluarga."

Bhaskara dan Dzaki saling pandang. Mereka nggak bilang apa-apa, tapi Arsyan tau—mereka khawatir.

"Udah deh, jangan dipikirin. Yang penting do'ain gue lancar aja," kata Arsyan sambil nyoba senyum, meskipun dadanya sebenernya sesak.

Malamnya, Arsyan ngobrol sama ibunya.

Ibunya duduk di kursi kayu tua, tangan melipat kain sarung yang baru dicuci. Matanya lelah—tapi masih penuh kehangatan.

"Nak... ibu udah denger dari tetangga. Kamu mau nikah?"

Arsyan mengangguk pelan. "Iya, Bu."

"Sama Wulan itu?"

"Iya."

Ibunya diam lama. Jari-jarinya berhenti melipat kain. "Ibu... ibu nggak kenal dia, Nak. Kamu yakin?"

"Yakin, Bu. Sangat yakin."

"Keluarganya?"

"Dia... nggak punya keluarga, Bu. Yatim piatu."

Ibunya menatap Arsyan dalam—tatapan yang mencari kebenaran. "Nak... ibu nggak mau kamu kenapa-kenapa. Kamu... kamu anak satu-satunya ibu."

Arsyan berlutut di depan ibunya, pegang tangannya yang keriput dan kasar. "Bu... maafin aku kalau aku bikin Ibu khawatir. Tapi... aku cinta dia, Bu. Aku... aku nggak bisa hidup tanpa dia."

Ibunya mengelus kepala Arsyan pelan. Tangannya gemetar sedikit. "Kalau kamu memang cinta... ibu nggak bisa larang. Tapi Nak... janji sama ibu. Jaga dirimu. Dan jaga dia."

"Aku janji, Bu."

Ibunya memeluk Arsyan—pelukan yang lama, erat, penuh do'a.

Dan Arsyan ngerasa—ini adalah pelukan terakhir dari ibu untuk anak laki-lakinya yang masih bujangan.

Besoknya, Arsyan ketemu Wulan di tempat biasa—tepi sungai, tempat mereka pertama kali jatuh cinta.

Wulan dateng dengan wajah yang... berbeda. Lebih pucat. Mata agak sembab, kayak habis nangis.

"Mbak... kenapa? Lo sakit?"

Wulan menggeleng cepat, tersenyum—tapi senyumnya nggak nyampe mata. "Nggak, Mas. Aku cuma... capek."

Arsyan nggak percaya. Dia duduk di sebelah Wulan, pegang tangannya yang dingin. "Mbak... jujur sama aku. Ada apa?"

Wulan diam lama. Lalu dia bisik pelan, "Mas... aku takut."

"Takut apa?"

"Takut... takut nanti pas kita nikah... ada yang dateng."

"Yang dateng siapa?"

Wulan menatap Arsyan—mata berkaca-kaca. "Keluargaku, Mas. Mereka... mereka nggak setuju aku nikah sama manusia. Mereka... mereka pasti bakal dateng. Dan... dan aku nggak tau mereka bakal buat apa."

Arsyan jantungnya langsung dingin. Tapi dia kuatkan dirinya. Dia pegang wajah Wulan dengan dua tangan, menatap matanya dalam.

"Mbak... dengerin aku. Apapun yang terjadi... aku nggak akan ninggalin lo. Mau keluarga lo dateng, mau mereka marah, mau apapun—aku tetep mau nikah sama lo. Ngerti?"

Wulan menangis—air matanya jatuh tanpa suara, basahi pipi putihnya.

"Mas... kenapa Mas begitu baik sama aku? Padahal... padahal aku bawa masalah..."

"Karena aku cinta lo, Mbak. Dan cinta itu... nggak pernah takut sama masalah."

Wulan memeluk Arsyan erat—tubuhnya gemetar, dingin, tapi penuh kerinduan.

Dan Arsyan peluk balik—peluk sekuat tenaganya, seakan dia takut Wulan bakal hilang kapan aja.

"Mas..." bisik Wulan lirih di bahu Arsyan. "Kalau nanti... kalau nanti aku harus pergi... Mas jangan lupa sama aku, ya?"

"Lo nggak akan kemana-mana, Mbak. Kita bakal nikah. Kita bakal hidup bareng. Dan kita bakal tua bareng."

Wulan nangis lebih keras.

Karena dia tau—janji Arsyan mungkin... nggak bisa terwujud.

Tiga hari sebelum pernikahan, cuaca tiba-tiba berubah.

Langit mendung terus. Angin kencang. Petir menyambar meskipun nggak hujan.

Tetangga-tetangga kampung mulai bisik-bisik. "Kok cuacanya aneh ya? Kayak ada yang nggak beres."

Dzaki dateng ke rumah Arsyan pagi-pagi, muka panik. "Mas Arsyan... ini... ini pertanda."

"Pertanda apa?"

"Alam gaib lagi nggak stabil. Mungkin... mungkin keluarga Wulan udah tau. Mereka lagi... marah."

Arsyan jantungnya berdegup kencang. Tapi dia berusaha tenang. "Zak... lo bisa bantuin aku?"

"Bantuin gimana?"

"Jaga aku. Pas nikah nanti... lo, Bhas, sama Kyai Hasan... kalian harus jaga aku sama Wulan. Apapun yang terjadi."

Dzaki menatap Arsyan lama. Lalu dia mengangguk tegas. "Oke. Aku janji."

Malam sebelum pernikahan, Arsyan nggak bisa tidur.

Dia duduk di teras rumah, menatap langit yang penuh awan hitam. Bulan nggak keliatan. Bintang juga nggak ada.

Ya Allah... aku nggak tau ini bener atau salah. Tapi... kalau Engkau meridhoi... tolong... tolong kuatkan aku.

Tiba-tiba, ada suara.

Suara lembut, familiar, dari arah belakang.

"Mas..."

Arsyan noleh cepat—Wulan ada di sana. Pake baju putih panjang, rambut terurai, wajah pucat tapi cantik.

"Mbak—kenapa lo di sini? Kan besok kita nikah, nggak boleh ketemu dulu—"

"Aku... aku harus ketemu Mas. Sebentar aja."

Wulan duduk di sebelah Arsyan. Tangannya gemetar. Napasnya terengah—kayak habis lari jauh.

"Mbak... lo kenapa? Lo keliatan lemah banget—"

"Mas... aku mau bilang sesuatu."

Arsyan menatap Wulan—jantungnya berdetak nggak teratur.

"Apa?"

Wulan menatap mata Arsyan dalam—mata yang penuh air mata, penuh cinta, penuh... penyesalan.

"Mas... kalau besok terjadi sesuatu yang... yang nggak terduga... aku mau Mas tau satu hal."

"Apa, Mbak?"

"Aku... mencintai Mas. Lebih dari apapun. Lebih dari nyawaku. Lebih dari... kerajaanku."

Arsyan mau ngomong—tapi Wulan taroh jari di bibir Arsyan, minta diam.

"Apapun yang terjadi besok... jangan benci aku, ya?"

"Mbak, lo ngomong apa sih? Lo bikin aku takut—"

"Janji, Mas. Janji jangan benci aku."

Arsyan pegang tangan Wulan erat. "Aku janji. Aku nggak akan pernah benci lo. Nggak akan pernah."

Wulan tersenyum—senyum yang sedih, tapi lega.

Lalu dia cium kening Arsyan pelan—ciuman yang dingin, tapi penuh cinta.

"Terima kasih, Mas. Terima kasih... udah cinta aku."

Dan sebelum Arsyan sempet nanya apa-apa—Wulan menghilang.

Lenyap kayak asap.

Ninggalin aroma kenanga yang perlahan pudar di udara malam.

Arsyan duduk sendirian di teras—tangan masih terangkat, masih ngerasain kehangatan tangan Wulan yang udah nggak ada.

Dan untuk pertama kalinya... Arsyan nangis.

Nangis keras, sendirian, di bawah langit gelap yang nggak ada bulan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!