Dinikahi Om Dari Sang Penghianat

Mira duduk di depan kaca, memandangi wajahnya yang tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Stres, tekanan publik, dan reputasi yang runtuh membuatnya kehilangan segalanya—pekerjaan, kontrak, bahkan kepercayaan orang tuanya.

Ia membuka Instagram, menatap akun yang kini hanya tersisa sepertiga dari jumlah pengikut sebelumnya. Komentar negatif terus mengalir. Ia menghapus satu per satu, tapi rasa sakit itu tak ikut terhapus.

“Semua ini gara-gara Alya…” bisiknya lirih, penuh dendam.

Namun ia tahu, berkonfrontasi langsung hanya akan membuatnya terlihat kalah. Maka Mira pun mengganti strategi: berpura-pura menyesal.

Sementara itu, Alya tengah sibuk mempersiapkan peluncuran program sosial “Perempuan Bangkit” bersama tim yayasan. Ia semakin dikenal bukan hanya sebagai istri Davin, tapi sebagai pembicara dan motivator yang menginspirasi perempuan-perempuan muda.

Namun pagi itu, ia menerima kiriman bunga dengan kartu bertuliskan:

 “Alya, aku minta maaf. Aku sadar sudah melakukan banyak kesalahan. Izinkan aku bicara sekali saja. Tanpa kamera. Tanpa penghakiman. —Mira.”

Alya terdiam cukup lama. Di benaknya, pertanyaan muncul, "Benarkah ini tulus? Atau sekadar bagian dari permainan baru?"

Davin menyarankan agar ia mengabaikan saja. “Orang seperti Mira akan selalu cari panggung, Ly. Dia bukan datang untuk damai, tapi untuk merusak kedamaianmu.”

Namun, Alya merasa ini adalah ujian. Ia tak ingin menghindar. Ia ingin menuntaskan semuanya, dengan cara yang ia tentukan sendiri.

“Kalau dia datang untuk bermain kotor lagi, aku akan pastikan dia pulang dengan luka dari kebenaran.” ujar Alya

Pertemuan mereka terjadi di sebuah kafe kecil yang ditutup khusus oleh Davin demi keamanan Alya. Hanya mereka berdua yang hadir, tanpa kamera, tanpa wartawan, dan tanpa suara publik.

Mira datang dengan pakaian serba hitam, tanpa riasan. Matanya bengkak. Tapi Alya tahu, akting Mira bisa sangat meyakinkan.

“Alya…” katanya pelan, suaranya serak. “Aku… minta maaf.”

Alya hanya mengangguk singkat. “Teruskan.”

“Aku cemburu. Aku iri sejak dulu. Kamu selalu disukai dosen, punya nilai bagus, dan disukai banyak cowok. Dan waktu tahu kamu deket sama Raka, aku makin benci.”

“Karena kamu juga suka Raka?” tanya Alya tajam.

Mira mengangguk. “Iya. Tapi dia pilih kamu. Lalu… kamu nikah sama Om Davin. Aku merasa kamu ambil semua yang jadi milikku. Tapi ternyata… itu semua bukan salah kamu. Aku yang rakus.”

Mira mengusap air matanya. Tapi Alya tetap diam, menunggu niat sebenarnya muncul.

Mira menunduk. “Aku kehilangan segalanya, Ly. Aku cuma… minta maaf. Tolong maafkan aku…”

Alya menghela napas. “Aku bukan Tuhan yang bisa ampuni dosa. Tapi aku manusia yang belajar dari luka. Dan aku tidak menyimpan dendam, Mira. Tapi aku tidak akan melupakan.”

Mira tampak terpukul oleh jawaban itu. Tapi saat ia bangkit berdiri dan pergi, matanya menyiratkan sesuatu, "belum selesai. Ini belum akhir"

Benar saja.

Malam itu, akun gosip @HotGossip kembali mengunggah video—seorang perempuan mirip Alya tertangkap kamera di sebuah hotel dengan pria tak dikenal. Video itu buram dan tidak jelas, tapi caption-nya tajam:

 “Istri crazy rich malah check in bareng pria muda? Kabar retaknya rumah tangga Alya dan Davin makin kencang!”

Publik mulai gaduh lagi. Hashtag #AlyaSelingkuh jadi trending.

Tapi Davin tak panik. Ia langsung meminta IT tim internal menyelidiki mendata video dan menelusuri sumber unggahan pertama. Hanya butuh dua jam, mereka tahu jawabannya: akun palsu yang terhubung ke IP Clara. Dan video itu... hasil editan lama dari footage seorang model di Thailand yang di-deepfake dengan wajah Alya.

Davin langsung menyusun siaran pers, lengkap dengan bukti forensik digital dan pernyataan pakar IT. Alya tampil dalam konferensi pers dengan tenang.

 “Ini bukan sekadar pencemaran nama baik. Ini pembunuhan karakter secara digital. Saya tidak akan diam kali ini. Kasus ini akan kami bawa ke ranah hukum.”

Davin melanjutkan, “Dan kami telah melaporkan Clara serta pihak-pihak yang terlibat, termasuk Mira, karena dugaan kerja sama menyebarkan konten palsu.”

Media kembali berpihak pada Alya. Banyak yang menyoroti keberaniannya menghadapi fitnah yang berulang-ulang. Simpati pun mengalir.

Clara melarikan diri ke luar kota. Tapi polisi berhasil menangkapnya seminggu kemudian.

Sementara Mira? Ia datang ke kantor Davin dengan wajah panik.

“Aku gak tahu Clara bakal upload video itu! Aku gak ikut-ikut kali ini, om Davin! Tolong jangan laporin aku!” seru Mira

Davin menatap Mira dingin. “Kamu pikir dunia selalu bisa dimanipulasi dengan air mata, Mira?”

Ia memanggil staf keamanannya. “Keluarkan dia. Dan pastikan dia tidak pernah bisa masuk ke lingkaran hidup kami lagi.”

Malam itu, Alya dan Davin duduk di balkon rumah, menikmati teh hangat dan udara sejuk.

“Kau tahu, dulu aku kira aku lemah,” kata Alya sambil tersenyum kecil.

 “Tapi sekarang, aku tahu, aku adalah badai yang tak bisa dihentikan oleh fitnah atau kebencian.” lanjut Alya

Davin menatap istrinya dengan bangga. “Dan aku bangga menjadi bagian dari hidupmu.”

Alya tersenyum. “Sekarang aku tahu, Mira datang bukan untuk meminta maaf. Dia datang untuk menyabotase. Tapi satu hal yang mereka lupa…”

“Apa itu?” tanya Davin.

“...aku bukan Alya yang dulu.” jawab Alya

...----------------...

Angin sore menyapu pelataran villa pribadi milik Davin yang terletak di daerah pegunungan. Alya dan Davin memutuskan untuk sejenak menjauh dari hiruk-pikuk kota, dari konflik yang baru saja mereda, dan dari semua drama masa lalu.

Namun, di saat ketenangan mulai menyapa kembali rumah tangga mereka, sesuatu datang dari arah yang tak pernah mereka duga.

Seseorang dari keluarga Davin yang sudah lama tak muncul… kini kembali ke Indonesia.

Namanya Leonard Hakim—adik ipar Davin dari adik almarhum istrinya. Pria muda ini tinggal di London sejak kecil dan baru saja menyelesaikan pendidikan magister di bidang bisnis internasional. Wajahnya rupawan, gaya bicaranya santai, dan senyumnya selalu menawan.

Namun yang paling mencolok, ia sangat memperhatikan Alya.

Pertemuan pertama mereka terjadi saat makan malam keluarga di kediaman Davin.

“Jadi ini istri Om Davin?” tanya Leonard sambil tersenyum. “Wah, Om memang gak pernah kehilangan selera ya.”

Alya hanya menanggapi dengan senyum canggung. Tapi Davin tertawa ringan.

Leonard tampak sangat ramah. Tapi sejak malam itu, Alya merasakan tatapan matanya agak… lain.

Selama beberapa minggu berikutnya, Leonard sering datang ke rumah. Kadang pura-pura ingin berdiskusi soal bisnis dengan Davin, kadang membawa makanan dari luar, dan kadang hanya datang untuk “main dengan anjing peliharaan.”

Tapi satu hal yang konsisten, perhatian intensnya pada Alya.

“Kak Alya suka teh peppermint, kan? Aku belikan khusus dari Inggris.”

“kak Davin nggak pernah cerita ya, Kak Alya bisa melukis? Aku liat lukisan di ruang kerja, bagus banget!”

Alya mencoba tetap ramah dan menjaga batas. Tapi ia tahu betul, ini bukan sekadar kekaguman biasa.

bersambung