Wulan masih tidak percaya bahwa dia telah reinkarnasi ke dalam tubuh seorang perempuan yang cantik namun tidak bahagia. Dia adalah istri dari kapten yang tampan dan berkuasa, namun dingin dan tidak peduli dengan istrinya.
Wulan mempunyai janji dengan jiwa aslinya, yaitu mengubah takdir hidup sang kapten agar jatuh cinta dengan tubuh istrinya yang bermana Livia. Tapi bagaimana caranya? Kapten tersebut sangat dingin dan tidak peduli dengan istri.
.
Namun, semakin Wulan mencoba untuk mendekati sang kapten, semakin dia menyadari bahwa kapten tersebut memiliki luka yang dalam dan tidak mudah untuk diobati.
Wulan harus mencari cara untuk menyembuhkan luka tersebut agar sang kapten dapat membuka hatinya dan jatuh cinta dengan Livia.
Bagaimana kelanjutan cerita Wulan? Apakah dia berhasil mengubah takdir hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aira azahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 18
"Kenapa kamu berubah seperti ini? Adakah aku memintamu berubah? Pernahkah aku mengeluh dengan sikap manjamu?" tanya Alex, mencoba menatap Livia yang tampak menghindari matanya.
Suara Alex terdengar lebih bergetar dari yang direncanakan. Ia tidak sedang marah, tetapi ada sesuatu yang menyesakkan di dadanya, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.
Livia tersenyum kecil, senyum yang lebih terlihat seperti luka yang dipaksa untuk ditutupi. "Kamu memang tidak pernah mengatakan hal itu," balasnya dengan nada yang nyaris terdengar tenang. Tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya bagai pisau tajam yang menyayat Alex pelan-pelan. "Tapi dengan sikapmu—sikap tidak pedulimu, dan bagaimana kamu membiarkan mereka menginjak harga diriku di depan semua orang ... di situlah kamu memintaku untuk berubah. Tanpa perlu kamu mengatakan apa pun."
Alex mencoba menelan rasa bersalah yang menggantung di tenggorokan. "Apa dia benar? Apakah sikapku selama ini benar-benar seperti itu? Tidak peduli? Tapi bukankah aku tetap berada di sisinya? Bukankah aku bertahan demi kami?" Napasnya terasa semakin berat, seperti udara di sekitar menolak untuk masuk ke paru-paru.
"Kamukan tahu ... kenapa kita menikah?" tanya Alex akhirnya, mencoba mencari pijakan dalam kekacauan ini. Meski, di hatinya tahu, itu mungkin pertanyaan yang salah untuk diajukan sekarang.
Livia menarik napas dalam, ekspresinya berubah menjadi dingin, hampir tak berperasaan, meskipun Alex tahu di baliknya pasti ada badai yang bergejolak.
"Karena aku menjebakmu malam itu," kata Livia, suaranya penuh dengan penyesalan yang selama ini tidak pernah diketahui ada di dalam dirinya. "Makanya kita menikah ... dan itu tidak berdasarkan cinta. Rupanya kita bahkan tidak melakukan apa pun malam itu." Ia berhenti sejenak, seperti sedang mengumpulkan keberanian untuk menyelesaikan kalimat yang akan menghancurkan. "Aku sudah berpikir matang-matang, Alex. Jauh lebih baik kita berpisah." Kata-katanya bagaikan palu yang memukul langsung ke dada.
Alex mengepalkan tangan, mencoba menahan rasa perih yang tiba-tiba menyebar di dalam diri. "Berpisah? Itu berarti dia menyerah. Dia benar-benar menyerah. Tapi … kenapa ada bagian dalam diriku yang merasa bahwa ini semua salahku? Bahwa aku adalah akar dari semua yang salah di antara kami? Apakah aku terlalu lama membiarkan jarak tumbuh di antara kami?" pikirnya menatap sang istri, tapi Livia hanya memandang ke tempat lain, seolah-olah sudah tidak ada lagi ruang untuk di hatinya.
"Aku tidak melakukan perpisahan itu, Via. Aku seorang kapten sekarang ini, posisiku sangat kuat dalam pangkatku. Usia pernikahan kita sangat muda saat ini," kata Alex menatap istrinya yang menunduk.
"Sampai kapan aku menunggu, Lex? Aku ingin bercerai secepatnya, kalau bisa." Livia memberanikan diri menatap wajah Alex.
"Dua tahun, kita akan berpisah." Alex langsung menjawabnya.
"Apa?!" Livia terduduk lemas mendengarnya. "Dua tahun sangat lama sekali, Alex! Keburu hamil aku."
"Hamil? Selama kamu menjadi istriku, jangan pernah menjalin hubungan dengan pria manapun. Mengerti? Aku tidak segan-segan membunuh pria itu." Alex yang kesal, langsung mengancam perkataan istrinya.
"Aku harus mencari buku nikah itu, untuk mengajukan gugatan cerai tanpa sepengetahuannya. Tapi di mana?" pikir Livia, menahan kepalanya karena pusing. "Bukannya kamu senang berpisah denganku, Lex? Pertama kamu tidak malu mempunyai istri sepertiku ini, iyakan? Dulu aku mengakuinya, seringkali melakukan kesalahan dengan sikapku."
"Pernahkah aku tidak datang? Kamu marah karena aku menambah kontrak kerja? Asalkan kamu tahu, aku mempunyai pekerjaan yang sangat banyak. Tanpa mengenal lelah, aku di sana, mempercepat semuanya agar bisa pulang cepat. Saat mendengar kabar kamu mogok makan, aku ingin cepat-cepat pulang untuk menjelaskan semuanya. Beruntung kamu berubah seperti ini, kalau tidak ... aku akan membawamu ke tempat kerjaku! Iya, aku salah dan minta maaf kepadamu. Sebagai suami memang dingin, tidak pernah membelamu di depan orang-orang yang membicarakan tentangmu. Aku melakukan itu agar kamu kuat mental sebagai istri dari seorang kapten. Permisi!" Alex menutup pembicaraannya tanpa basa-basi, meninggalkan Livia sendirian.
Suara pintu yang tertutup keras menyayat hatinya. Livia memandang ruangan yang sepi sambil menggigit bibir. "Kenapa aku menangis?" bisiknya lirih, mencoba memahami perasaan sendiri. Napas terasa berat, seolah ada sesuatu yang membebani. Kata-kata Alex tadi terus berputar di pikirannya.
"Sebagai seorang kapten, dia selalu memiliki alasan, selalu membela tindakannya. Tapi, kenapa hati ini tetap saja merasa perih? Apakah aku terlalu berharap? Ataukah aku yang salah memahami dia selama ini? "Tapi... kenapa ini terasa berbeda? tanya Livia pada diri sendiri, hampir putus asa mencari jawabannya.
Biasanya, Livia selalu mencoba menerima semua penjelasan Alex, tapi kali ini hatinya seperti menolak untuk berdamai. Ada rasa sakit yang lebih dalam dari sekadar marah. "Perasaan ini ... apa sebenarnya? Apakah aku mulai lelah? Ataukah ini caraku merindukan sosok suami yang sesungguhnya, yang memelukku dalam rapuhnya malam, bukan sekadar memintaku menjadi kuat sendirian? Ada apa denganku? Jangan sampai terjebak dalam lingkungan pernikahan ini, aku tidak mau!"
Livia membuang semua perkataan perkataan Alex tadi. Mengalihkan dengan pekerjaannya belum selesai, tapi ia merasa lelah dan memutuskan untuk berbaring.
Tiba-tiba terdengar pintu luar terbuka, Livia segera mengambil gunting di laci. "Dia kembali?" mengintip di celah pintu, ia segera berbaring di atas ranjang dan berpura-pura tidur.
Alex membuka pintu kamar Livia, menatap seorang wanita berbaring di sana. Ia segera melepaskan kemeja yang dikenakannya, masuk ke dalam kamar mandi.
Livia mendengar suara gemercik air. Ia tahu, suaminya tengah mandi malam-malam ini. "Dia tidak berniat untuk tidur bersamaku kan?" gumamnya pelan, menyentuh dadanya berdegup kencang.
Alex selesai dengan mandinya, hanya berbalut dengan anduk milik sang istri. Duduk di tepi ranjang, pelan-pelan berbaring di samping Livia.
Livia semakin erat memegang selimutnya, merasakan lelang kekar melingkar di perutnya. Ia semakin ketakutan, takut suaminya melakukan hal yang aneh-aneh.
"Aku tahu, kalau kamu tidak tidur. Kenapa harus berbohong," bisik Alex memeluk istrinya semakin erat.
"Hentikan Alex! Apa yang kamu lakukan?" Livia meronta dipeluk suaminya. "Lepas! Lepas!"
Alex mengunci tubuh Livia dan langsung mengubah posisi di atas tubuh istrinya itu. Mencekal kedua tangan Livia, menahannya di atas kepala. "Kenapa takut Livia? Aku adalah suamimu yang berhak atas dirimu ini!"
"Tidak! Aku tidak mau disentuh kamu, Kapten! Lepas! Keluar dari tempat tinggalku!" Livia terus meronta-ronta, sangat takut dengan suaminya.
Namun, Alex menyukai ketakutan Livia sekarang ini. "Takutlah Livia. Semakin takut, maka aku menyukainya."
"Dasar pria tidak waras! Lepaskan aku! Aaaaaaaa .....!" Livia berusaha melepaskan cengkeraman kuat itu, walaupun satu tangan suaminya.
Alex yang gemes melihat istrinya, mencium leher Livia dengan paksa. "Jejakku sangat indah, bukan?"
Livia menatap wajah suaminya itu. "Iiisss ... menyebalkan sekali, menjauh dari atas tubuhku! Aku tidak mau diperkosa olehmu!"