Nadira Elvarani yakin hidup pahitnya akan berakhir setelah menerima lamaran Galendra, lelaki mapan yang memberinya harapan baru.
Tapi segalanya berubah ketika ia terlibat skandal dengan Rakha Mahendra—anak bos yang diam-diam menginginkannya—menghancurkan semua rencana indah itu.
Di antara cinta, obsesi, dan rahasia, Nadira harus memilih: hati atau masa depan yang sudah dirancang rapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon itsclairbae, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 — Dalam Pelukan yang Salah
Nadira hanya menatap wajah Rakha setelah memanggil nama lelaki itu. Tidak ada percakapan yang terucap di antara mereka dalam waktu yang cukup lama, hingga akhirnya Rakha membuka suara.
“Saya tidak akan memaksa kamu cerita, tapi izinkan saya tetap di sini sampai kamu merasa tenang,” ucap Rakha lembut.
Padahal, sejak tadi ia sudah berada di sana, menemani Nadira tanpa penolakan. Perempuan itu tengah bertarung dengan dirinya sendiri. Ia ingin menyuruh Rakha pergi, tetapi ada bagian dalam dirinya yang justru berharap lelaki itu tetap tinggal.
“Butuh pelukan?” tanya Rakha lagi. Kali ini, ia menawarkan sesuatu yang mungkin bisa lebih menenangkan Nadira dibanding sekadar genggaman tangan.
Nadira mengangguk pelan, lalu memeluk tubuh Rakha tanpa berkata apa-apa. Ia hanya menangis—menumpahkan seluruh kesedihan dan luka yang sejak tadi ia pendam—dalam pelukan lelaki itu.
Andai ia punya seseorang untuk dipeluk saat terpuruk, andai orang tuanya peduli, mungkin ia tidak akan membiarkan dirinya dipeluk oleh lelaki yang pernah merenggut kehormatannya.
“Galen selingkuh,” dua kata itu akhirnya keluar di tengah tangis Nadira.
Rakha terkejut mendengarnya. Ia tidak menyangka Galendra adalah alasan di balik kehancuran Nadira yang kini menangis dalam pelukannya.
“Semua baik-baik saja. Galen sudah tahu tentang kita dan tidak mempermasalahkannya. Kami akan menikah. Tapi tadi…” Nadira menghentikan ucapannya, tidak sanggup melanjutkan. Ia terlalu hancur untuk mengucapkan bahwa tadi ia melihat Galendra berciuman dengan perempuan lain.
Mungkin Rakha juga akan menertawakannya jika tahu ia menangis hanya karena itu—karena mereka berdua bahkan telah melakukan sesuatu yang jauh lebih dari sekadar ciuman.
Rakha tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Kata-kata Nadira bahwa Galendra sudah mengetahui yang terjadi di antara mereka dan tidak mempermasalahkannya—bahkan mereka memutuskan untuk tetap menikah—telah menghancurkan harapannya untuk memiliki Nadira.
Namun di sisi lain, Nadira kini hancur karena Galendra berselingkuh. Dua hal yang tidak pernah ia duga akan terjadi, dan sama sekali tidak masuk dalam rencananya.
“Pernikahan kami sebentar lagi, tapi Galen selingkuh.” Tangis Nadira semakin pecah.
Rakha hanya bisa memeluknya, mencoba menenangkan. Ia ingin mengatakan bahwa dirinya ada di sana, siap menggantikan Galendra, tetapi mungkin kalimat itu justru akan memperumit perasaan Nadira saat ini.
“Apa aku egois?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja di sela tangis Nadira. “Aku masih ingin menikah dengan Galen, setelah semua yang terjadi antara kita.”
Rakha menghela napas panjang. Dirinyalah yang egois—menjebak Nadira dalam situasi yang ia tahu tidak pernah diinginkan perempuan itu. Namun, soal perselingkuhan Galendra, itu di luar kendali mereka.
“Menangislah sampai kamu merasa lega. Setelah itu, saya tidak akan mengizinkan kamu menangis lagi,” ucap Rakha lirih. Tangannya menepuk-nepuk pelan punggung Nadira, sementara tangan lainnya mengusap rambut perempuan itu dengan lembut.
Setelah lama menangis dalam pelukan Rakha, akhirnya emosi Nadira mereda. Entah karena kelelahan, atau karena ia memang sudah kehabisan tenaga.
Ia lebih dulu melepaskan pelukan itu, lalu mengusap air mata yang masih membasahi pipinya.
“Maaf, dan terima kasih,” ucap Nadira lirih sambil menunduk. Ia merasa malu menatap Rakha setelah semua yang terjadi.
Rakha menatap Nadira sejenak, lalu mengangkat tangan dan memegang dagunya, mengarahkan wajah Nadira agar kembali menatapnya.
“Masih ingin menangis, hm?” tanyanya lembut, menatap manik mata Nadira yang memerah karena terlalu lama menangis.
Pandangan Nadira terkunci. Ia hanya menggeleng pelan dan membiarkan dirinya menatap lelaki itu tanpa berkata apa-apa.
“Bagus, jangan menangis lagi, oke?” ucap Rakha lembut. Dengan hati-hati, ia merapikan rambut Nadira, menyingkirkan helaian kecil yang menutupi wajah perempuan itu.
Sikapnya tenang dan dewasa, layaknya seorang kakak yang menghibur adiknya yang patah hati. Padahal, kenyataannya Rakha lima tahun lebih muda dari Nadira.
Mereka saling menatap cukup lama, hingga perlahan pandangan Nadira bergeser ke bibir Rakha. Baru kali ini ia menyadari ada tahi lalat kecil di bawah bibir kanan lelaki itu.
“Kenapa?” tanya Rakha, heran melihat Nadira terdiam dan terus menatapnya—atau lebih tepatnya, bibirnya.
Nadira tidak menjawab. Namun, entah dorongan dari mana, ia perlahan mendekatkan wajahnya ke wajah Rakha. Semakin dekat... lebih dekat lagi... hingga akhirnya, bibir Nadira menyentuh bibir Rakha tanpa peringatan.
Rakha tersenyum. Ia tidak peduli apakah ciuman itu tulus atau sekadar pelampiasan—ia menyukainya. Bibir Nadira telah menjadi candu baginya, meski ini baru ketiga kalinya mereka berciuman.
“Aku tidak tahu harus marah atau berterima kasih pada orang yang sudah membuatmu seperti ini,” gumam Rakha dalam hati.
Ia sempat mengira bibir mereka hanya akan bersentuhan sejenak. Namun ternyata, Nadira melumat bibirnya—canggung dan tampak amatir, tapi sekali lagi, ia menyukainya.
Ciuman itu tidak berlangsung lama. Nadira segera menjauh, menjaga jarak seolah baru menyadari apa yang baru saja ia lakukan.
“Maaf...” bisiknya, nyaris tidak terdengar. Ia tidak berani menatap wajah Rakha.
Baru saja, Nadira menjadikan lelaki yang secara tidak langsung adalah atasannya sebagai pelampiasan atas luka hatinya.
“Tidak perlu minta maaf,” ucap Rakha sambil tersenyum. Ia lalu mencolek dagu Nadira, mengarahkan wajah perempuan itu agar menatapnya.
Cup!
Kali ini Rakha yang memberi kecupan. Singkat, ringan, namun berbeda—bukan karena paksaan atau pengaruh obat. Ia melakukannya karena Nadira yang lebih dulu mencium bibirnya, dan tadi ia belum sempat membalas.
“Kamu tahu? Saya sangat suka bibirmu,” bisiknya pelan, lalu kembali mengecup bibir Nadira. Masih hanya sebuah kecupan singkat, tetapi cukup untuk membuat kesadaran Nadira kembali.
Tadi, ia sempat larut dalam luka yang ditorehkan Galendra. Namun sekarang, kesadarannya perlahan kembali. Rasa malu mulai menguasai dirinya—terutama karena ia sadar telah mencium bibir Rakha lebih dulu.
Keheningan menyelimuti mobil itu setelahnya. Nadira ingin sekali kabur dari sana dan kembali ke apartemennya, tetapi tubuhnya seakan berkhianat. Ia hanya diam, tidak mampu bergerak sedikit pun.
Rakha terkekeh pelan, memecah kecanggungan yang melingkupi mereka. Ia tidak menyukai suasana seperti itu dan berusaha bersikap senormal mungkin.
“Tidak perlu sekaku itu, Nadira. Saya bisa menerima semua yang terjadi barusan,” ucap Rakha sambil tersenyum lembut.
Nadira menoleh, menatap Rakha. Senyuman itu—senyuman yang sama yang pernah ia lihat beberapa tahun lalu—masih semanis dulu. Senyuman yang sempat membuatnya tertarik dan jatuh hati, meski terus ia sangkal hingga hari ini. Senyuman yang pernah muncul di kamarnya, menjadi awal dari keputusannya untuk menjaga jarak aman dari lelaki itu.
“Jangan luluh hanya karena senyuman itu, Nadira,” bisiknya dalam hati, berusaha mengingatkan dirinya sendiri.
Bagaimanapun, meskipun Galendra telah berselingkuh dan berciuman dengan perempuan lain, Nadira masih belum memutuskan untuk membatalkan pernikahan mereka yang akan berlangsung tiga minggu lagi. Ia tetap calon istri lelaki lain.