Dua keluarga yang terlibat permusuhan karena kesalahpahaman mengungkap misteri dan rahasia besar didalamnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MagerNulisCerita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meminta Penjelasan
Sore hari di kediaman Wijaya
Tiara baru tiba di rumah setelah seharian menjalani kuliah.
“Assalamualaikum, Tiara pulang,” ucapnya sambil melangkah masuk.
“Waalaikumsalam. Eh, Adik sudah pulang,” jawab Anindita dari ruang tamu.
Melihat ibunya, Tiara langsung menghampiri dan menyalami tangan sang ibu.
“Papah belum pulang, Mah? Kakak juga?” tanya Tiara.
“Papah ada di belakang, seperti biasa sedang menyiram tanaman. Kalau Kak Micha sepertinya di kamar, dan Kak Nathan belum pulang dari jogging. Memangnya kenapa? Cari Papah dan Kakak?” tanya Anindita.
“Enggak, Tiara cuma nanya saja, Mah. Ya sudah, Tiara mau ke atas dulu bersih-bersih,” ujar Tiara.
“Iya. Jangan sampai ketiduran ya, nanti terlewat makan malam. Mama sudah masak bareng Mbok Dharmi tadi untuk makan malam kita,” pesan Anindita.
“Oke, Mah. Aman,” jawab Tiara sambil menaiki tangga menuju kamarnya.
Setelah selesai merapikan kamar dan membersihkan diri, Tiara langsung menyusul ayahnya di taman belakang. Perbincangannya dengan Naura tadi siang membuat pikirannya penuh tanda tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi tujuh belas tahun lalu. Karena itu, ia ingin menanyakannya langsung pada sang ayah.
Melihat Tiara datang, Hendra sudah bisa menebak putrinya ingin bicara.
“Loh Dek, sudah pulang? Tumben lama pulangnya,” ucap Hendra tanpa menghentikan siraman air ke tanaman.
Tiara menyalami tangan ayahnya, lalu duduk di dekat beliau.
“Pah, Tiara boleh tanya sesuatu?” tanya Tiara pelan dengan namun serius.
“Boleh. Soal apa?” Hendra menoleh.
“Pah… sebenarnya apa yang terjadi antara keluarga Wijaya dan keluarga Hutomo? Kenapa bisa sampai bermusuhan?” Tiara bertanya hati-hati.
Hendra menatapnya penuh makna. “Kamu tahu dari mana soal ini, Dek?”
“Dari Naura, Pah. Kebetulan Naura cucu keluarga Hutomo. Tapi dia nggak bilang macam-macam kok, hanya menjelaskan kenapa keluarga kita bisa bermusuhan. Tiara sudah dengar versi Hutomo, jadi Tiara ingin dengar juga dari sisi kita sebagai keluarga Wijaya,” jelas Tiara.
Hendra menarik napas panjang, suaranya sedikit berat. “Akhirnya kamu tahu juga…”
Ia menggandeng Tiara dan mengajaknya duduk di bangku taman, lalu mulai menceritakan kilas balik peristiwa tujuh belas tahun lalu—awal dari tragedi yang memutus hubungan kedua keluarga.
Beberapa waktu berlalu hingga akhirnya cerita itu selesai. Dari penjelasan ayahnya, Tiara semakin yakin bahwa keluarga Wijaya tidak mungkin terlibat. Pasti ada pihak lain yang ingin memecah belah keluarga Wijaya dan Hutomo.
“Ya, kurang lebih seperti itu ceritanya. Semoga kamu bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi. Dan satu lagi… Papah nggak pernah melarang kamu berteman dengan siapa pun, selama orang itu baik. Termasuk berteman dengan Naura. Kalau dia baik, Papah pasti mendukung,” ujar Hendra.
Tiara mengangguk. “Iya, Pah. Terima kasih… Papah sudah mengerti. Naura itu anaknya baik kok. Ceria, ramah, dan agak cerewet sedikit.”
Tiara memeluk ayahnya, kemudian melepaskannya perlahan.
“Sepertinya dia nurun sifat ibunya. Papah, Mama, Om Angga, sama Tante Melissa dulu itu teman akrab. Jadi Papah cukup tahu sifat mereka,” ujar Hendra.
Belum sempat Tiara menjawab, Nathan muncul.
“Pah, dicari Kakek. Katanya nunggu di ruang tamu.”
“Ya sudah, Papah masuk dulu ya. Kalau kamu mau tetap di sini, nggak apa-apa,” ucap Hendra.
“Iya, Pah. Tiara masih mau di sini sebentar,” jawab Tiara.
Hendra pun beranjak masuk ke rumah, sementara Tiara masih termenung memandangi hamparan tanaman di taman.
Sementara itu, di kediaman keluarga Hutomo
Sejak pertemuan pagi tadi antara Angga dan Hendra, pikiran Angga tidak tenang. Percakapan penuh emosi itu membuat bayangan masa lalu kembali menghampirinya. Ia terus bertanya-tanya apakah selama ini dirinya salah menuduh keluarga Wijaya.
“Apa aku sudah melakukan kesalahan selama ini…?” batinnya.
“Ngga… Ngga… Ngga!” panggil Pak Hutomo.
“Eh… Pah? Ada apa?” Angga tersentak. Ia terlalu larut dalam lamunan hingga tak menyadari ayahnya sudah di dekatnya.
“Kamu kenapa? Apa yang kamu pikirkan?” tanya Pak Hutomo.
“Enggak kok, Pah. Nggak ada apa-apa. Cuma kepikiran soal hasil tender tadi pagi,” jawab Angga.
“Ya sudah, mungkin memang belum rezeki kita memegang tender besar itu. Wijaya Group dari dulu memang kuat, jadi wajar kalau kita sering berada di bawah bayangan mereka. Ngomong-ngomong, perkembangan pembangunan rumah sakit kita gimana? Sudah sampai tahap mana?” tanya Pak Hutomo.
“Perkembangannya signifikan, Pah. Sudah hampir rampung dan rencananya akan mulai beroperasi awal bulan depan,” jawab Angga.
“Syukurlah. Papah cuma ingin mewujudkan impian mendiang mamahmu, Ngga…” suara Pak Hutomo mulai bergetar.
Masih di rumah Hutomo, di ruang kerja Marvino.
Detektif yang disewa Marvino beberapa bulan ini mengabarkan perkembangan terbaru. Menurut laporan, pelaku pernah terlihat berbicara dengan pria misterius di Hotel Kebanga. Namun akses CCTV hotel itu sulit, banyak rekaman penting sudah hilang.
Marvino menghela napas. Ia hanya ingin kematian kakaknya jelas tanpa keraguan.
“Lanjutkan pencarian. Fokus pada saat dan sebelum Kak Arnold masuk tol,” perintah Marvino, lalu menutup telepon.
Keesokan harinya
Saat Hendra tengah disibukkan tumpukan berkas, sebuah pesan masuk dari Shela.
Kita bisa bertemu di Kafe Cempaka, Jl. Cempaka IV, Jakarta. Besok sore pukul 15.40.
Hendra membalas:
Oke, saya akan datang lebih awal.
Tak lama kemudian ia menghubungi Alvaro melalui telepon.
“Halo, Alvaro. Tolong besok kamu gantikan saya bertemu Shela di Kafe Cempaka, jam 15.40. Kamu pura-pura jadi saya, ya.”
“Baik, Pak. Oh iya, bagaimana perkembangan pencarian rekaman CCTV yang tersisa?” tanya Hendra.
“Semua rekaman CCTV sudah kami dapatkan, Pak. Tinggal kami periksa. Secepatnya akan kami selesaikan, semoga hasilnya sesuai harapan,” jawab Alvaro.
Di tempat lain, mobil yang ditumpangi Naura tiba-tiba mogok. Karena takut terlambat ke kampus, ia mencoba memesan ojek online, tapi tak ada satupun yang menerima.
“Duh, bagaimana ini, Non… Sepertinya butuh waktu lama. Akinya habis, dan Bapak nggak bawa cadangannya,” ujar Pak Mamat.
“Ya sudah, nggak apa-apa Pak. Naura tunggu sambil coba pesan ojek online,” jawab Naura.
Tak lama kemudian, muncul seorang pria asing.
“Kenapa mobilnya, Mbak?” tanya pria itu.
“Oh, ini Mas… mobil kami mogok,” jawab Naura.
“Mbak mau ke mana?”
“Mau ke Kampus Hijau, Mas.”
“Kebetulan, saya juga mau kuliah. Ikut saya saja, Mbak.”
“Waduh, nggak usah Mas… Takutnya merepotkan,” ujar Naura ragu.
“Nggak apa-apa, Mbak. Daripada nunggu lama terus terlambat. Sayang waktunya,” bujuk pria itu.
Setelah cukup lama mempertimbangkan, akhirnya Naura mengangguk menerima tawarannya.
“Pak Mamat, Naura duluan ya.”
“Oke Non, nanti kalau mobil sudah jadi Bapak langsung susul ke kampus,” ujar Pak Mamat.
Naura lalu naik ke motor pria asing itu. Sepanjang perjalanan, mereka tak banyak bicara, sesekali saja saling bertanya hal-hal dasar tentang Kampus Hijau.