"Bagaimana rasanya... hidup tanpa g4irah, Bu Maya?"
Pertanyaan itu melayang di udara, menusuk relung hati Maya yang sudah lama hampa. Lima tahun pernikahannya dengan Tama, seorang pemilik bengkel yang baik namun kaku di ranjang, menyisakan kekosongan yang tak terisi. Maya, dengan lekuk tubuh sempurna yang tak pernah dihargai suaminya, merindukan sentuhan yang lebih dalam dari sekadar rutinitas.
Kemudian, Arya hadir. Duda tampan dan kaya raya itu pindah tepat di sebelah rumah Maya. Saat kebutuhan finansial mendorong Maya bekerja sebagai pembantu di kediaman Arya yang megah, godaan pun dimulai. Tatapan tajam, sentuhan tak sengaja, dan bisikan-bisikan yang memprovokasi h4srat terlarang. Arya melihatnya, menghargainya, dengan cara yang tak pernah Tama lakukan.
Di tengah kilau kemewahan dan aroma melati yang memabukkan, Maya harus bergulat dengan janji kesetiaan dan gejolak g4irah yang membara. Akankah ia menyerah pada Godaan Sang Tetangga yang berbaha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUA
Suara dentingan kaleng dan getaran mesin motor yang dipanaskan menembus pagi yang dingin, menjadi melodi khas kehidupan sehari-hari Tama. Pukul tujuh pagi, saat sebagian besar orang masih berkutat dengan sarapan atau kemacetan menuju kantor, Tama sudah berjibaku di bengkelnya. Bengkel "Maju Jaya" namanya, sebuah nama ambisius untuk sebuah bangunan semi-permanen dengan atap seng berkarat dan lantai semen yang selalu lengket oleh tumpahan oli. Di sana, di antara tumpukan ban bekas, perkakas yang berserakan, dan bau bensin yang menyengat, Tama menemukan dunianya.
Ia mengelap tangannya yang belepotan oli dengan kain lap lusuh, mengamati sebuah motor matic yang sedang dibongkarnya. Kampas remnya sudah aus. "Wah, ini sih bahaya, Pak," gumamnya pada diri sendiri, membayangkan jika pemiliknya terus mengendarai motor dengan kondisi seperti ini. Tanggung jawabnya bukan hanya memperbaiki mesin, tapi juga memastikan keselamatan pengendaranya. Itu prinsip Tama. Prinsip yang selalu ia pegang sejak kecil, saat ia mulai mengutak-atik mesin motor ayahnya.
Tama memejamkan mata sesaat, menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma khas bengkel yang baginya sudah seperti parfum. Aroma ini mengingatkannya pada masa lalu, pada impian masa muda. Dulu, ia bermimpi memiliki bengkel besar, lengkap dengan showroom motor-motor custom. Ia ingin menjadi montir terbaik di kota, punya karyawan banyak,dan hidup berkecukupan. Cukup untuk membahagiakan Maya.
Senyum tipis tersungging di bibirnya saat memikirkan Maya. Istrinya. Wanita cantik yang ia kenal sejak SMP. Maya selalu punya senyum yang meneduhkan, mata yang berbinar penuh semangat. Ia ingat bagaimana ia jatuh cinta pada Maya yang sederhana, tidak seperti gadis-gadis kota lainnya yang sibuk memikirkan penampilan. Maya selalu apa adanya. Dan itu yang paling ia suka.
"Mas Tama! Ada paket!" Suara Rian, tetangga bengkel sekaligus teman lamanya, membuyarkan lamunannya.
"Oh, iya, Rian. Tolong taruh di meja saja," sahut Tama.
Rian masuk ke dalam, menaruh bungkusan di meja kerja Tama yang juga berantakan. "Tumben, Mas, bengong pagi-pagi? Mikirin apa? Motor racing terbaru?" Rian terkekeh.
Tama menggeleng. "Bukan. Mikirin... ini." Ia
menunjuk motor yang dibongkarnya. "Kampas rem sudah begini, bisa celaka pemiliknya."
"Oh, standar lah itu. Namanya juga orang, Mas.
Nunggu rusak parah baru dibawa ke bengkel," kata Rian santai, menyalakan sebatang rokok. "Ngomong-ngomong, tadi di depan rumahmu rame ya? Ada tetangga baru?"
Tama mengerutkan kening. "Tetangga baru? Oh, iya, sepertinya. Aku belum lihat jelas." Ia teringat Maya yang pagi tadi sempat menarik diri dari jendela. Pasti itu yang dilihat Maya.
"Iya, kelihatannya orang kaya tuh. Barangnya mewah-
mewah," Rian mengepulkan asap rokok. "Mobilnya saja sudah mobil Eropa. Kayaknya bukan orang sembarangan."
Tama hanya mengangguk. Orang kaya. Tetangga.
Baginya, itu tidak terlalu penting. Prioritasnya adalah bagaimana agar hari ini ia bisa mendapatkan cukup uang untuk membayar tagihan listrik yang sebentar lagi jatuh tempo.
"Oh ya, Mas, motor pak RT sudah selesai belum? Dia butuh sore ini katanya," Rian mengingatkan.
"Belum, Yan. Nanti siang aku kerjakan. Ini masih tanggung motor matic ini," jawab Tama, kembali fokus pada pekerjaannya.
Rian pamit undur diri, kembali ke kios pulsa miliknya di sebelah. Tama kembali tenggelam dalam kesibukannya, pikirannya melayang-layang antara suara mesin, tumpukan oli, dan harapan samar untuk masa depan.
Dulu, saat pacaran dengan Maya, Tama sering membayangkan hidup mereka berdua. Rumah sederhana tapi bersih, tawa riang anak-anak, dan ia pulang kerja disambut senyum manis Maya. Ia akan jadi suami yang baik, ayah yang bertanggung jawab. Memberikan segalanya yang terbaik untuk keluarganya. Namun, realitas seringkali lebih kejam dari impian.
Pernikahan mereka tidak buruk. Tidak ada pertengkaran besar yang melukai, tidak ada kekerasan, tidak ada kata-kata kasar. Semuanya datar. Terlalu datar. Seperti jalan tol yang lurus, tanpa tikungan atau tanjakan yang memacu adrenalin. Datar, tapi kadang membuat bosan.
Ia tahu Maya mendambakan anak. Ia juga mendambakannya. Tama sering membayangkan menggendong bayi kecil, mengajarkan anak laki-lakinya mengutak-atik mesin, atau mendandani anak perempuannya dengan pita rambut. Tapi takdir berkata lain. Setiap kali ia melihat raut wajah Maya yang sendu saat topik anak muncul, hatinya ikut teriris. Ia sudah mencoba berbagai cara, membawa Maya ke pengobatan tradisional, membelikan berbagai ramuan. Tapi hasilnya nihil. Akhirnya ia pasrah. Mungkin memang belum rezeki. Ia berusaha meyakinkan Maya bahwa mereka akan baik-baik saja, bahkan tanpa kehadiran seorang anak. Bahwa mereka masih punya satu sama lain.
Ia tahu Maya juga menginginkan lebih dari sekadar hidup pas-pasan. Ia sering melihat mata Maya yang berbinar saat melewati toko perhiasan, atau saat melihat model baju baru di majalah bekas. Tapi Tama tak mampu memberikan itu. Penghasilannya dari bengkel hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sewa rumah, makan sehari-hari, listrik, air. Itu saja sudah memeras keringat. Untuk modal mengembangkan bengkel saja ia masih kesulitan. Ia pernah mencoba meminjam uang dari bank, tapi jaminannya tidak cukup.
Ia merasa bersalah. Merasa tidak mampu membahagiakan Maya sepenuhnya. Apakah itu sebabnya Maya terkadang terlihat murung? Apakah ia terlalu sibuk dengan motor-motornya sehingga tidak menyadari kesepian Maya? Tama menghela napas. Ia hanya bisa memberikan apa yang ia punya. Tenaga dan kesetiaan. Ia tidak pernah berpikir untuk macam-macam di belakang Maya. Baginya, Maya adalah satu-satunya. Istrinya.
Siang itu, bengkel lumayan ramai. Beberapa pelanggan datang silih berganti. Tama bekerja tanpa henti, keringat membasahi kaosnya. Setiap rupiah yang ia hasilkan adalah perjuangan. Ia membayangkan uang itu akan berubah menjadi beras di dapur, listrik yang menyala, dan mungkin, jika beruntung, sebuah camilan kecil untuk Maya di malam hari.
Saat jam makan siang, Maya datang mengantarkan bekal. Sebuah rutinitas yang juga sudah berjalan lima tahun. Nasi dan lauk pauk sederhana yang ia siapkan dengan penuh perhatian.
"Mas, makan dulu," kata Maya, meletakkan rantang di
meja.
Tama tersenyum. "Wah, pas sekali. Perutku sudah keroncongan." Ia segera mencuci tangan di keran dekat bak, lalu duduk bersila di lantai, membuka rantang.
"Wah, sayur asem kesukaan Mas."
"Iya, tadi pagi Mas keluar cepat, jadi cuma sempat masak ini," jawab Maya, duduk di dekatnya, mengipasi Tama dengan tangannya.
"Enak sekali, Yank. Kamu memang yang terbaik."
Tama makan dengan lahap.
Maya hanya tersenyum tipis. Ia memperhatikan Tama makan. Tangan suaminya yang besar, kasar, dan selalu berbau oli. Punggungnya yang lebar, selalu terlihat lelah. Ia tahu Tama bekerja keras. Ia menghargai itu. Tapi mengapa ia merasa semakin jauh?
"Oh ya, Mas, tadi pagi kan ada tetangga baru ya?" Maya mencoba memecah keheningan.
Tama mengangguk. "Iya, Rian tadi juga bilang. Kayaknya orang kaya. Mobilnya mewah-mewah, katanya."
"Iya, aku sempat lihat truk pengangkut barangnya. Banyak sekali." Maya berhenti sejenak. "Rumahnya bagus sekali, Mas. Megah."
"Ya, alhamdulillah kalau begitu. Lumayan, ada tetangga baru. Jadi makin ramai kompleks kita," kata Tama santai, tanpa terlalu banyak minat. Baginya, kekayaan tetangga bukan urusannya. Yang penting, mereka tidak membuat masalah.
"Iya," Maya bergumam, pikirannya melayang pada sosok pria tegap yang ia lihat tadi pagi. "Aku tadi sempat lihat pemiliknya. Kelihatannya..." Maya ragu sejenak. Bagaimana ia harus mendeskripsikan sensasi yang ia rasakan saat melihat pria itu? "...baik." Hanya itu yang terlintas.
Tama tidak terlalu memperhatikan. Ia sudah menghabiskan makanannya. "Ah, sudah kenyang. Terima kasih ya, Yank. Kamu memang istri idaman." Ia mengelus kepala Maya.
Maya tersenyum getir. Istri idaman? Mungkin iya, jika idaman seorang suami adalah istri yang pasrah dengan keadaan, tidak banyak menuntut, dan pandai memasak. Tapi bagaimana dengan idamannya sendiri? Idaman akan sentuhan yang membakar, tatapan yang memuja, dan percakapan yang tak membosankan?
"Mas kerja lagi ya. Banyak motor yang antre," kata Tama, beranjak dari duduknya.
"Iya, Mas. Aku juga mau pulang. Masih ada cucian,"
Balas Maya.
Mereka berpisah di depan bengkel. Tama kembali tenggelam dalam dunia oli dan mesinnya, sementara Maya berjalan pulang, kembali ke rumah yang terasa hampa.
Saat melewati rumah tetangga baru, Maya melirik lagi. Beberapa pekerja masih terlihat menata barang. Dan di teras, pria tadi sedang berbicara di telepon, membelakanginya. Dari belakang pun, aura dominan pria itu terasa. Postur tubuhnya yang proporsional, bahu lebar, dan gerakan yang santai namun berwibawa.
Seolah merasakan tatapan Maya, pria itu tiba-tiba berbalik. Mata mereka bertemu. Sepasang mata gelap yang tajam, namun memancarkan sesuatu yang sulit dimengerti. Ada kilatan penasaran di sana. Sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya. Senyum yang begitu menawan, begitu mengintimidasi, sekaligus begitu... mengundang.
Maya merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia segera membuang pandangan, berjalan cepat melewati rumah itu. Pipinya terasa panas. Apa-apaan ini? Ia tidak pernah merasa seperti ini hanya karena bertatapan dengan seorang pria. Ada sesuatu yang berbeda dari pria itu. Sesuatu yang berbahaya, namun sangat menarik.
Sesampainya di rumah, Maya langsung menuju kamar mandi, menyalakan keran dan membasuh wajahnya yang terasa hangat. Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Mata itu, senyum itu... seolah masih terbayang.
"Siapa sebenarnya dia?" bisik Maya pada dirinya sendiri.
DI FOLLOW YAA😌😌
gak bakal bisa udahan Maya..
kamu yg mengkhianati Tama...
walaupun kamu berhak bahagia...
lanjut Thor ceritanya