Virus itu menyebar seperti isu murahan: cepat, tak jelas sumbernya, dan mendadak membuat semua orang kehilangan arah.
Hanya saja, kali ini, yang tersebar bukan skandal... melainkan kematian.
Zean, 18 tahun, tidak pernah ingin jadi pahlawan. Ia lebih ahli menghindari tanggung jawab daripada menghadapi bahaya. Tapi saat virus menyebar tanpa asal usul yang jelas mengubah manusia menjadi zombie dan mengunci seluruh kota,Zean tak punya pilihan. Ia harus bertahan. Bukan demi dunia. Hanya demi adiknya,Dan ia bersumpah, meski dunia runtuh, adiknya tidak akan jadi angka statistik di presentasi BNPB.
ini bukanlah hal dapat di selesaikan hanya dengan video cara bertahan hidup estetik,vaksin atau status WA.
___
Like or die adalah kisah bertahan hidup penuh ironi, horor, dan humor kelam, tentang dunia yang tenggelam dalam kegilaan.
(update max 2 kali sehari,jika baru 1 kali berarti lagi scroll fesnuk cari inspirasi, beneran,jika pengen lebih beliin dulu kopi 😌)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zeeda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jalan yang tidak di rancang untuk pelarian
Langit mulai berubah warna, bukan karena pagi, tapi karena abu. Kabut samar menggantung rendah, mencium tanah dengan kelembutan yang mencurigakan. Jalanan yang biasa mereka lalui untuk membeli gorengan saat sore kini terasa seperti koridor antara dua dunia, yang dulu mereka kenal, dan yang belum mereka pahami.
Zean berjalan paling depan, memegang tongkat bisbol dari kamar ayahnya, bukan senjata ideal, tapi lebih baik daripada tangan kosong. Di belakangnya, Lira menjejak hati-hati, menggenggam tas selempangnya erat, seolah di dalamnya tersimpan alasan untuk terus berjalan. Johan menyusul, membawa ransel besar yang terlihat berat entah berisi apa,mungkin harapan orang tua?,mungkin,siapa yang tau,atau logistik dan sekadar benda-benda yang terasa penting saat dunia mulai runtuh.
“Kenapa rumah Dini?” tanya Johan lirih, setengah bergumam, setengah sungguh ingin tahu.
“Karena dia pintar,” jawab Zean, tanpa menoleh. “Jika tidak salah ayahnya mantan militer,kayaknya. Atau mungkin polisi. Atau... satpam bank. Ah aku lupa. Tapi dia tipe orang yang selalu siap bahkan sebelum ada alasan untuk bersiap.”
“Jadi kita bertaruh pada paranoid seseorang?.” Tanya Johan.
“Lebih baik daripada bertaruh pada pemerintah.” Sahut Lira singkat.
Mereka menyusuri gang kecil, melangkah di antara bayangan pagar dan pohon. Beberapa motor masih tergeletak, beberapa helm tergeletak seperti kepala yang ditinggalkan. Jendela rumah-rumah di sepanjang jalan tertutup, sebagian terbuka sedikit, seperti mata yang mengintip tapi tak mau benar-benar melihat.
Di tikungan pertama, mereka berhenti. Mengintai dari balik tembok. Sesuatu bergerak di ujung jalan.
Seorang pria, atau sesuatu yang pernah jadi pria, berjalan perlahan, dengan gaya yang tak cocok dengan kehidupan. Langkahnya tidak berpola. Kepalanya terkulai, namun tubuhnya terus maju, seperti tubuh yang lupa punya jiwa.
Johan dan Lira menahan napas, Zean berdiam kaku melihat makhluk itu.
makhluk itu tidak melihat mereka. Tidak menghidu(mencium bau), tidak menoleh. Hanya melintas, lalu menghilang di gang lain.
Lira bergumam pelan, “Oke. Jadi memang bukan cuma satu dua orang aneh. Ini... nyata.”
Zean melangkah terlebih dahulu, menyuruh mereka berdua untuk tetap di tempat sampai dia selesai mengeceknya tepat di gang makluk itu menghilang, mengintip, dan melambaikan tangan untuk maju. Mereka berjalan sangat pelan,suara langkahnya sengaja diredam. “Fokus. Rumah Dini tinggal beberapa blok lagi. Kalau kita tetap diam dan cepat, kita bisa sampai sebelum hal-hal itu sadar kita ada.”
Johan mencibir kecil. “astaga,aku benar benar sampai keringat dingin, Kita kayak tukang paket pengantar nyawa.”
Mereka melanjutkan langkah. Jalanan mulai berubah. Sampah berserakan. Ada bercak darah di dinding. Pintu Garasi yang rusak serta terdapat bekas cakaran, Sepasang sandal anak kecil di tengah trotoar.
Suasana menjadi berat. Bahkan udara terasa lebih kental, seperti menahan mereka agar tidak terlalu cepat mencapai harapan.
"aku tidak menyangka bakal seburuk ini" bisik Johan.
Zean hanya diam, Menatap penuh waspada.
Setiap perjalanan,setiap pemandangan membuat perut mereka mual,dan akhirnya, mereka melihat pagar rumah Dini. Tertutup. Lampu teras menyala, meski hari belum gelap.
Zean mengangkat tangannya, memberi isyarat berhenti. Mereka mengamati sekeliling.
Tak ada gerakan. Tak ada suara.
Zean melangkah maju, perlahan. Mengetuk pagar sekali. Lalu dua kali.
Hening.
Lira bergumam, “Mungkin mereka pergi... atau...”
Pintu rumah terbuka sedikit.
Seseorang mengintip dari balik tirai.
Zean melangkah mundur. “Dini?” panggilnya pelan.
Tirai bergeser. Lalu terdengar suara pintu dikunci.
Kemudian... suara langkah tergesa dari dalam rumah.
Dan suara yang mereka kenal, lelah, tegang, tapi masih seperti Dini, berseru dari balik jendela, “Masuk cepat sebelum kalian bikin zombie tahu rumahku masih ada yang hidup”
Mereka bertukar pandang, dan berlari masuk sebelum penyesalan bisa ikut menyelinap.
Pintu ditutup cepat-cepat, dikunci, diganjal dengan dua palang kayu dan satu rak sepatu. Udara di dalam rumah terasa berbeda,lebih hangat, tapi bukan karena nyaman. Lebih karena sirkulasi yang buruk akibat semua ventilasi ditutup rapat-rapat.
Dini berdiri di depan mereka, masih mengenakan seragam sekolah, tapi sudah kotor di beberapa bagian. Rambutnya diikat sembarangan, dan ada bekas darah kering di lengan bajunya.
“Lira... Zean... syukurlah kalian selamat,” katanya, memeluk Lira singkat.
"aku juga." Ucap Johan berdiri di samping Zean. Dini menatapnya sekilas dan hanya tersenyum tipis.
“Tadi kami melihat sesuatu di jalan," kata Zean. ”Seperti orang, tapi rasanya bukan."
Dini mengangguk. “Aku tahu. Aku lihat dari CCTV. Sini, ikut aku ke ruang belakang.”
Mereka mengikuti Dini melewati ruang tamu yang kini lebih mirip pos komando, ada peta kota tergantung di dinding, beberapa senter, kotak P3K terbuka, dan termos kopi. Di sudut ruangan, ayah Dini duduk di kursi roda, mengenakan jaket militer tua dan mengawasi layar laptop yang menampilkan berbagai feed kamera pengawas.
“Siaga dua puluh empat jam,” bisik Johan sambil mencolek Lira. “Gila. Dia beneran paranoid.”
“Paranoid menyelamatkan kami,” gumam Dini tanpa menoleh, entah mendengar atau hanya menjawab isi kepala mereka.
Mereka duduk di ruang belakang. Hening sesaat. Lalu Lira bicara duluan.
“Dini... kamu lihat berita terakhir? Kami nonton tadi malam, tapi siarannya putus. Setelah itu... dunia kayak berubah.”
Dini menatap mereka satu per satu. “Kalian belum tahu separuhnya.”
Ia mengambil remote dan menyalakan layar besar di ruang belakang. Rekaman siaran darurat mulai diputar. Gambar buram, suara kadang tersendat, tapi cukup jelas untuk membuat mereka bergidik.
Rekaman dari rumah sakit. Orang-orang mengamuk. Menyerang. Menyantap.
Rekaman dari jalan. Polisi kalah jumlah. Tentara mundur.
Dan suara penyiar terakhir yang sempat terdengar sebelum layar jadi abu-abu:
“Pusat kendali menyatakan seluruh zona Jakarta dan sekitarnya dalam status runtuh total. Jangan percaya siapa pun yang tampak sakit. Jangan keluar rumah. Jangan.”
Layar mati.
Tak ada yang bicara.
Akhirnya Zean bersuara, pelan, kering, seperti suaranya harus melewati lumpur sebelum sampai ke mulut. “Jadi... ini bukan cuma ketidakbecusan pemerintah.”
Dini menggeleng. “Ini akhir yang selama ini semua orang kira hanya ada di film.”
Ayah Dini bersuara dari ruang tamu. Suaranya berat, jelas, penuh kendali.
“Dan kalau kalian masih ingin hidup lebih dari seminggu, kita harus mulai membicarakan rencana berikutnya.”
Ayah Dini masuk perlahan dengan kursi rodanya. Suaranya tenang, tapi nadanya seperti seseorang yang pernah memberi komando di medan tempur.
“Sekarang bukan saatnya panik, bukan pula saatnya menunggu bantuan. Kalau memang ada yang datang, itu keajaiban. Tapi jangan bertaruh pada keajaiban.”
Zean menelan ludah. “Jadi... apa yang harus kita lakukan?”
Ayah Dini menatap mereka bergantian. “Kumpulkan semua yang masih bisa dipercaya. Teman, tetangga, siapa pun. Tapi pastikan mereka bukan yang... sudah berubah.” Ia tidak menyebut kata 'zombie'. Tak perlu.
“Lalu kita cari tempat bertahan. Tempat yang punya sumber air, bisa dipertahankan, dan cukup jauh dari pusat keramaian.”
Dini mengeluarkan secarik peta. “Aku sudah tandai beberapa lokasi. Gudang logistik di utara, sekolah alam di pinggiran kota, dan... satu vila tua milik pamanku yang kosong sejak pandemi lalu.”
Lira mendekat, menunjuk ke salah satu titik di peta. “Ini... dekat rumah Ayu. Mungkin dia masih selamat.”
Johan, yang dari tadi diam, mendesah. “Kita bahkan belum tahu siapa yang masih hidup. Jalan ke mana pun itu berisiko. Dan... kita cuma remaja.”
Ayah Dini menatapnya tajam. “Remaja, ya. Tapi kalian lebih cepat berpikir daripada sebagian besar orang dewasa yang kutahu. Kalau kalian bisa tetap tenang, kalian bisa bertahan. Kalau kalian panik, selesai.”
Zean mengangguk pelan. “Berarti... langkah pertama, kita cari yang lain.”
“Johan,” Dini memanggil, “kau kenal jalan tikus, kan? Jalan belakang rumah warga, gang kecil, rute yang nggak dilewati banyak orang?”
Johan mengangkat bahu. “Aku biasa kabur dari guru piket lewat sana. Bisa dicoba.”
“Bagus. Kita bentuk dua tim. Tim pencari dan tim bertahan.
.
Dan dunia di luar itu... tak pernah lagi benar-benar sama.
dunia yang mereka kenal akan sepenuhnya hilang. Dan mereka harus berjalan menembus puing-puingnya, mencari arah,atau setidaknya, alasan untuk tetap berjalan.
Dan sialnya... mereka benar-benar akan melakukannya.