Hail Abizar, laki-laki mapan berusia 31 tahun. Belum menikah dan belum punya pacar. Tapi tiba-tiba saja ada anak yang memanggilnya Papa?
"Papa... papa...!" rengek gadis itu sambil mendongak dengan senyum lebar.
Binar penuh rindu dan bahagia menyeruak dari sorot mata kecilnya. Pria itu menatap ke bawah, terpaku.
Siapa gadis ini? pikirnya panik.
Kenapa dia memanggilku, Papa? Aku bahkan belum menikah... kenapa ada anak kecil manggil aku papa?! apa jangan- jangan dia anak dari wanita itu ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yakin
“Eve…” suara Hail berat. “It is you?”
Evelyn terdiam. Napasnya tercekat. Dengan cepat ia menggendong Cala ke pelukannya, hendak pergi. Tapi Hail melangkah cepat dan meraih tangan Evelyn sebelum ia sempat menjauh.
“Evelyn, tunggu—”
“Lepaskan saya." Evelyn menghentakkan tangannya, suaranya serak menahan gemuruh yang hampir meledak.
Rasa sesak tiba-tiba menjalar menghimpit nadinya. Sakit. Evelyn mengeraskan hati, berusaha menekan lagi rasa yang ingin muncul ke permukaan. Tidak, tidak boleh.
'Kenapa aku harus bertemu denganmu lagi?' gumam Evelyn dalam hati.
Hail menatapnya lekat, tak percaya. Wanita yang selama ini dia cari ada dihadapannya. Seperti mimpi ditengah hari bolong.
“Kenapa kamu ada di sini? Dan—Cala… dia—dia anak kita?” Tanya Hail terbata, mata pria itu berbinar lebih terang melihat Cala.
Mata Evelyn mulai berkaca, dan ketegangan makin terasa di lorong kecil itu. Cala memeluk Evelyn erat, sementara Hail masih menahan tangan Evelyn dengan tatapan yang tak sanggup menyembunyikan keterkejutannya.
“Anda salah orang!” bentak Evelyn sambil menarik tangannya sekuat tenaga.
"Aku kenal kamu. Kamu Evelyn Aruma, tetangga apartemenku," sahut Hail menegaskan.
Evelyn diam, tatapanya gelisah menghindar. Tangan wanita itu mengeliat mencoba lepas.Tapi Hail tetap menahan—bukan dengan kasar, hanya cukup kuat agar Evelyn tidak kabur.
"Lepaskan saya, Anda salah orang!"
"Tidak kau-
"Apa Anda tuli?!" Evelyn menyentakkan tangan lebih keras.
Hail terdiam, tapi tidak melepaskan genggamannya. dia seribu persen yakin jika wanita ini adalah Evelyn.
"Kalau mau memang bukan Eve yang ku kenal, coba buka maskermu." Hail menatap dengan tajam.
Mata Evelyn melebar, bukankan itu sama saja dengan bunuh diri.
"Untuk apa saya melakukan itu, kita tidak saling kenal!" tegas Evelyn mencoba mengelak.
Evelyn terusaha menarik tangannya sekuat yang ia bisa, meski hasilnya nihil dia tetap mencoba.Dia harus bisa kabur, dia tidak ingin berada di dekat Hail untuk saat ini. Atau mungkin untuk selamanya.
"Apa kau takut?" Hail menyeringai.
"Jangan banyak bicara, cepat lepaskan saya!" Suara Evelyn mulai meninggi, frutasi.
Hail hanya menyeringai dan semakin mengeratan tangannya. Membuat Evelyn semakin sesulitan.
"Lepas!"
"Coba saja," tantang Hail.
Cala yang melihat dua orang dewasa itu terus berdebat mulai menangis keras, bingung dengan ketegangan yang tak ia mengerti. Isaknya memecah suara di lorong minimarket, membuat beberapa pengunjung mulai menoleh penasaran.
Evelyn menatap Cala yang memeluk lehernya sambil terisak. Ia lalu menoleh menatap hail, seolah memohon untuk melepaskan tangannya.
“Eve… tolong. Kita bisa bicara sebentar saja,” bujuk Hail, suaranya lebih lembut.
Evelyn membuang mukanya, berdecih. Pria ini akan selalu keras kepala, dia tahu dia tidak akan bisa bernegosiasi dengan Hail jika seperti ini. Evelyn lalu menghela napas panjang.
“Kita bicara di luar," ujar Evelyn mengalah.
"Oke." Hail mengangguk, tak bisa menyembunyikan rasa senangnya.
Tanpa banya bicara lagi Hail menarik lembut tangan Evelyn untuk keluar dari mini market. Tentu saja setelah Hail membayar kopi dan es krim untuk putri kecilnya. tak jauh dari minimarket, mereka bertiga duduk di sebuah bangku taman kecil. Hujan sudah reda, hanya menyisakan embun di daun-daun dan aroma tanah basah yang menusuk hidung.
Cala sudah tak menangis, tuan putri itu kini duduk di tengah, memakan es krim bintik-bintik rasa stroberi yang dibelikan sang Papa. Jemarinya belepotan warna merah muda, tapi ia terlihat tenang, nyaman di antara dua orang yang sedang terdiam. Evelyn membuang padangannya ke arah lain, sementara Hail menatapnya dengan binar rindu dan rasa terkejut yang masih belum dapat ia jabarkan. Hail menatap Evelyn lekat. Napasnya masih terasa berat.
“Eve, kemana kau selama ini?” tanyanya pelan, nyaris seperti gumaman. Memecah keheningan dianatara mereka.
"Kenapa kamu ninggalin apartemen begitu saja?” Imbuh Hail lagi
Evelyn menatap lurus ke depan. Mulutnya terkatup rapat, tanganya mengepal kuat diatas celana jeans yang ia pakai.
“Eve…” Hail mencoba lagi, suaranya sedikit gemetar.
Tangannya terulur mengusap lembut surai hitam Cala. Gadis kecil itu menoleh, menatap sang Papa. Tersenyum lebar dengan mulut yang belepotan es krim.
“Cala… dia anak kita, kan?” tanya dengan tatapan yang sudah berfokus pada Evelyn lagi.
Evelyn akhirnya menoleh, sorot matanya tajam, penuh luka.
“Bukan.”
Satu kata itu menghantam dada Hail lebih keras dari yang bisa ia bayangkan.
“Cala hanya anakku. Dia bukan anakmu.” Suaranya tegas, bahkan terlalu tajam.
"Jangan berbohong Eve, katakan saja iya," tukas Hail tidak terima.
Evelyn mengerutkan keningnya, menatap Hail dengan tidak percaya
"Untuk apa aku berbohong. Sudah aku bilang Cala anakku," Sarkas Evelyn.
"Iya dia anakku." Hail tidak memperdulikan lagi ucapan Evelyn yang ia anggap sebagai kebohongan.
Pria berambut blonde itu mala sibuk membersihkan bibir Cala yang kotor karena es krim. Evelyn menghela nafas panjang, kesal. Sangat kesal, kenapa dia bisa bertemu orang sekeras kepala Hail. Apa dia tidak paham bahasa manusia? Harus bagaimana lagi menjelaskan pada pria itu jika Cala bukan anaknya.
"Cala kita pulang." Evelyn menarik lembut tangan Cala dan hendak menggendongnya.
"Cala mau sama Papa," tolak Tuan putri kecil itu dengan merajuk.
Dan dengan cepat Hail mengendong Cala. Evelyn yang melotot kaget. Cala tidak pernah menolak atau membantahnya, tapi kali ini dia lebh memilih Hail? Serius?
"Oke. Cala sama Papa, kita pulang ke rumah Papa mau?" Hail berdiri, menumpu Cala denga satu lengan kekarnya.
"Mau!" seru Cala penuh semangat.
Hail tersenyum penuh kemenangan. Evelyn membuang mukanya kesal.
"Cala .... Pulang sama Mama ya, kita nggak kenal orang ini. Mama pernah bilang kan kita tidak boleh sembarangan ikut orang asing," tutur Evelyn dengan lembut, mencoba membujuk putri kecilnya.
Gadis kecil itu menunduk, menatap Mama dan Papanya bergantian. Bingung. Di satu sisi Cala senang bisa bertemu Papanya, dan Papanya juga sudah mengaku jika dia Papa Cala. Tapi kenapa Mamanya bilang dia orang asing?
"Tapi dia Papa," lirih Cala tak berani menatap Evelyn.
"Bukan, Sayang dia bukan Papa Cala. Ayo sini ikut Mama." Evelyn berdiri mengulurkan tangan pada Cala.
Cala terdiam kebingungan. Evelyn menghela nafas.
"Cala nggak mau sama Mama ya?" Evelyn tertunduk lesu, menghela nafas berat.
Tanpa mengatakan apapun lagi, ia berbalik lalu melangkah menjauh.
"Mama!" Teriak Cala.
Gadis itu meronta turun dari gendongan Hail, Hail pun menurunkan Cala. Gadis kecil itu berlari tergesa menyusul langkah besar Evelyn.
"Mama ... Mama ... !" Pekik Cala ketakutan, dia benar-benar takut Mamanya marah dan meninggalkan dia.
Evelyn berhenti tapi tidak menoleh, sampai Cala menarik tangannya. Evelyn menunduk memeluk Cala yang sudah menangis sesegukan. Sebenarnya Evelyn tidak tega melakukan ini, tapi dia tidak punya pilihan lain.
"Cala mau Mama .... Cala mau sana Mama," ucap Cala sambil menangis.
"Iya, Cala sama Mama ya. Kita pulang." Evelyn mengendong Cala, mereka melangkah kearah jalan pulang.
Dan Hail, apa dia diam? Tentu tidak. Mana bisa dia melepaskan putri kecil dan wanitanya. Dengan langkah pasti Hail mengikuti langkah Evelyn dari jauh. Menatap punggung Evelyn dengan senyum yang tidak bisa Hail sembunyikan.
"Aku tidak akan melepaskan mu lagi, Eve ...."
jangan sampai ada cakra ke dua lagi yaa pakk...
kamu pasti bisa membuktikan kalau papa nya evelyn gak bersalah. dia hanya di fitnah seseorang.
aduduh untung bgt ya ada ob lewat bawa mie goreng jadi hail gak lama² deh di luar nya
eh kebetulan yg disengaja nih, ada OB bawa makanan. jadi alasan hail tepat
sudah saatnya hail berjuang untuk mencari kebenaran untuk ayahnya Eve