Wulan masih tidak percaya bahwa dia telah reinkarnasi ke dalam tubuh seorang perempuan yang cantik namun tidak bahagia. Dia adalah istri dari kapten yang tampan dan berkuasa, namun dingin dan tidak peduli dengan istrinya.
Wulan mempunyai janji dengan jiwa aslinya, yaitu mengubah takdir hidup sang kapten agar jatuh cinta dengan tubuh istrinya yang bermana Livia. Tapi bagaimana caranya? Kapten tersebut sangat dingin dan tidak peduli dengan istri.
.
Namun, semakin Wulan mencoba untuk mendekati sang kapten, semakin dia menyadari bahwa kapten tersebut memiliki luka yang dalam dan tidak mudah untuk diobati.
Wulan harus mencari cara untuk menyembuhkan luka tersebut agar sang kapten dapat membuka hatinya dan jatuh cinta dengan Livia.
Bagaimana kelanjutan cerita Wulan? Apakah dia berhasil mengubah takdir hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aira azahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 15
"Ak-aku .... sudah melupakan soal itu, Ma. Tapi untuk berpisah .... mungkin sudah waktunya, tidak bisa untuk dihindari lagi. Aku minta maaf,"kata Livia tersenyum manis.
Nadia menghapus air matanya. "Mama akan membujuk Alex untuk menghentikan perceraian ini. Menginginkan kalian membuka lembaran baru, hanya itu. Ya sudah, Mama mau pulang dulu. Kamu hati-hati di sini, ya? Kalau ada apa-apa nanti, jangan sungkan meminta bantuan Mama."
Livia mengangguk pelan. Ia mengantar ibu mertuanya sampai masuk ke dalam mobil beliau, melambaikan tangan untuk melepas kepergiannya. "Huuuu .... akhirnya bisa tenang juga, beliau sudah pergi dari sini. Bagaimana nanti, ya? Takutnya suamiku tidak mau berpisah denganku ini. Isss .... tidak perlu memikirkan soal itu, fokus dengan usaha ini dan balas dendam kepada mereka. Heheheh .... siap-siap kalian saling menusuk dari belakang."
Tawa Wulan pecah, yang jiwa ada di tubuh Livia ini.
**********
Malam minggu yang dinantikan akhirnya tiba. Tamu-tamu berdatangan satu per satu ke kediaman keluarga Verick, membawa suasana hangat yang penuh canda dan tawa.
Dara baru saja turun dari mobil ketika besannya, segera menghampiri dengan senyum tipis dan ajakan masuk. Namun, ia tidak bisa mengabaikan pandangan tajam dari Rekha dan anaknya—mereka jelas tidak menyukai kehadirannya di sini.
“Di mana Livia, Jeng?” tanya Nadia sambil melirik ke mobil yang Dara tumpangi, seolah mencari menantu kesayangannya yang tak juga terlihat.
Dara menghela napas sebelum menjawab dengan senyum ramah yang dihafal di depan cermin. "Entahlah, tadi katanya sudah di jalan. Aku sengaja tidak menjemput Livia dari tempat tinggal barunya karena dia melarangku. Katanya, dia akan langsung bertemu di pesta. Aku juga sudah mengirim pesan kepadanya."
Dalam hati Dara mencemooh senyum manis yang terlukis di wajahnya. “Semoga saja dia tidak muncul,” batinnya dingin, mencoba menenangkan gemuruh rasa kesal yang selama ini mengendap di dasar hatinya. Kehadiran anaknya hanya akan menjadi beban lebih bagi suasana, sejujurnya, sudah cukup menguras kesabaran.
“Baiklah, mungkin masih dalam perjalanan,” ucap Nadia, mencoba menenangkan kegelisahan yang samar terpancar dari ekspresinya.
Dara tahu, ketidakhadiran Livia mungkin membuat besannya was-was, tetapi entah mengapa, ia tidak bisa menahan rasa lega yang mulai merayap ke dalam hati.
“Yuk, kita bergabung dengan yang lain di dalam,” ajak Nadia sambil memamerkan senyuman sopan khasnya.
Dara mengikuti langkahnya masuk, menyembunyikan harapan kecil bahwa malam ini berjalan lebih mudah tanpa kehadiran Livia yang selalu membawa suasana rumit ke dalam kehidupan.
Seorang pria dengan jas hitam rapi menuruni anak tangga dengan langkah penuh keyakinan. Wajah tampannya memikat perhatian semua orang di ruangan itu, terutama para wanita—meskipun mereka tahu ia adalah pria beristri. Tapi siapa peduli? Tatapan mereka tetap terpaku pada pesonanya, pada postur tubuh kekar yang bahkan didekorasi dengan tato hingga ke tangannya.
Sesaat orang tertegun, bertanya-tanya apakah karisma seperti itu pantas dimiliki oleh seorang pria seperti dia.
"Selamat malam, Kapten Alex, apa kabarmu?" Suara ramah Bill, menyambut Alex. Jabat tangan mereka mengisi udara dengan kehangatan yang palsu, setidaknya bagi siapapun.
"Kabarku sangat, sangat baik, Paman Bill," jawab Alex, senyumnya tipis namun penuh percaya diri. Ia melihat paman menepuk bahunya, seolah menyiratkan sebuah pengakuan atas keperkasaannya. Tapi ia hanya diam, menahan getir yang entah berasal dari rasa kagum, cemburu, atau bahkan amarah.
Nadia membawa besannya mendekati anaknya. "Alex, kamu harus menyapa ibu mertuamu," katanya lembut, seperti memberi perintah tanpa langsung mengatakannya. Ada nada rindu dalam suaranya, seakan momen ini adalah bagian dari ilusi keluarga harmonis yang sedang diusahakannya.
"Selamat malam, Ma. Bagaimana kabar Mama?" tanya Alex, kali ini dengan nada sopan. Ia berbicara kepada ibu mertuanya dengan kehati-hatian yang terlatih. Ia mengamati geraknya, nada bicaranya, namun ada sesuatu yang aneh.
Dara tidak bisa menyingkirkan perasaan bahwa sikapnya ini hanya topeng yang dikenakan untuk menyenangkan orang lain.
"Kabar Mama sangat baik sekali," jawab Dara dengan senyuman yang lembut, senyuman yang begitu tulus. Ia bertanya-tanya apakah senyuman itu akan tetap seperti itu jika tahu segalanya—tentang apa yang ada di balik Alex yang begitu sempurna di mata banyak orang. "Senang melihatmu kembali lebih awal. Jauh lebih baik seperti ini," lanjutnya dengan harapan terpancar di matanya.
Jeni hanya berdiri di samping, diam tanpa kata. Alex tak pernah memandangnya sama seperti Alex memandang orang lain. Seakan-akan Jeni hanyalah sosok yang kasat mata baginya. Tapi itu tidak lagi mengejutkan baginya semua sudah mulai menjadi pola yang familiar.
"Syukurlah, kalau kabar Mama sangat baik. Aku sangat senang mendengarnya. Di mana Livia?" tanya Alex sambil menyapu ruangan dengan pandangan, mencari sosok yang biasanya menyambutnya lebih dulu. Rasanya aneh, tak ada bayangannya.
"Iya, di mana Livia? Apa Jeng Dara sudah menelponnya?" Nadia ikut bertanya dengan raut ingin tahu, matanya menatap besan di hadapannya, seolah mencari petunjuk.
"Nomornya tiba-tiba tidak aktif. Tidak tahu kenapa? Mungkin ada sesuatu terjadi menuju ke sini," jawab Dara dengan senyum tipis di wajahnya. Tapi senyuman itu terasa ada sesuatu di baliknya. "Senang hatiku, Livia menghindari pesta ini. Itulah yang aku inginkan," batinnya mendadak muncul dengan nada bahagia, mencoba mengolah kata-kata tadi.
"Jangan-jangan ... kamu sengaja mengurung anakmu di tempat tinggal barumu, Dara? Takutnya anakmu itu membuat masalah di pesta ini dan membuat Alex risih, ya? Iya, kan?" Suara Rekha, seseorang yang selalu mengintai momen seperti ini, tiba-tiba terdengar. Ia melangkah ke arah mereka dengan senyum liciknya yang khas, membuat seisi ruangan tertuju pada obrolan.
Alex menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk tenang meskipun hati berkecamuk. Pertanyaan Rekha yang pedas, senyumnya yang menyindir—semua itu seperti menyalakan bara di situasi yang sudah tegang.
Semua orang di ruangan ini menatap mereka seolah mereka sedang menunggu pertunjukan Mereka tidak paham bahwa ini bukan panggung drama.
Alex melirik Dara, mencari jawaban di wajahnya. "Apa benar dia menyembunyikan sesuatu? Apakah mungkin dia melakukan hal seperti itu pada Livia? Tidak, ini semua harus dijelaskan," batinnya tidak bisa hanya berdiri diam di tengah bisik-bisik dan tatapan mereka semua.
"Aku melihat Livia di tempat supermarket baru saja," sahut pria yang mendekatinya.
"Di mana kamu bertemu dengannya, Sammy?" tanya Lila, kepada anak laki-lakinya itu.
"Supermarket barusan tadi, berarti Tante Dara tidak mengurung Livia. Masalahnya dandanan Livia biasa saja, dia mengenakan pakaian biasa dan bukan baju pesta. Sepertinya mau pergi ke tempat lain," jawab Sammy menatap semua orang.
Rekha langsung malu mendengarnya, pasti semua orang mempercayai Dara tidak mengurung anaknya sendiri.
"Sepertinya anakku punya acara sendiri, atau ada janjian dengan rekan bisnis. Nomornya sudah aktif," kata Dara menelpon anaknya dan langsung menekan pengeras suara.
Namun, Dara terus menelpon anaknya beberapa kali. Walaupun hasilnya nihil, tidak ada jawaban atau pesan dibalas. "Mungkin anakku sibuk dengan pekerjaannya, kita bisa menikmati pesta tanpa anakku. Iyakan?"
Nadia menggeleng kepalanya. Sekarang paham sekali, kalau Livia menghindari dan teringat kata-katanya menolak untuk di jemput.