Dunia ini bernama Loka Pralaya, satu dunia di antara banyak dunia lain di alam semesta ini, sebuah tempat penuh misteri. Di tempat ini, desiran anginnya adalah nafas yang memberi kehidupan bagi penghuninya. Energinya berasal dari beragam emosi dan perasaan segenap makhluk yang ada di dalamnya. Keharmonisan yang mengikat alam ini, mengabadikan keberadaanya di antara banyak dunia lain di alam semesta. Senyum ramah adalah energi yang membangun, menumbuhkan benih-benih yang di tanam di tanahnya, kebaikan kecil yang dilakukan akan memberi dampak besar bagi kelangsungan dunia ini. Pepohonannya adalah mata dan telinga bagi segala peristiwa yang berlangsung di dalamnya. Batu-batu yang berserakan di pantai, menjadi penyimpan memori abadi bagi kejadian-kejadian penting yang terjadi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Margiyono, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menuju Lereng Sembuyan
Malam itu, ketika matahari sudah benar-benar tenggelam di ufuk barat, agak jauh dari lokasi Gubuk Manah berdiri, terdapat sebuah bangunan rumah yang tak kalah megahnya dengan Gubuk Manah. Dilihat dari bentuknya, dapat dipastikan bahwa rumah itu adalah milik seorang pejabat penting di kampung Londata. Seperti halnya semua rumah yang ada di kampung Londata, sumber cahaya yang digunakan untuk penerangan berasal dari dedaunan Meditrana yang sudah dibuat menjadi lentera dan lampu. Daun Meditrana ini sudah dikenal baik sebagai alat penerangan, karena daunnya dapat memancarkan cahaya kuning keemasan pada malam hari, sehingga sangat cocok digunakan sebagai lentera ataupun lampu penerangan.
Di rumah itu, beberapa penjaga nampak berdiri di depan gerbang masuk, ada pula penjaga yang berada di pendopo rumah. Sementara di halaman rumahnya yang luas terparkir beberapa Lesung Orembai dengan desain yang mewah dan terlihat anggun diterpa cahaya daun meditrana yang memancarkan cahaya kuning keemasan pada malam itu.
Suasana ruangan di dalam rumah itu juga tak kalah menawan, dengan aksesoris unik yang semuanya dibuat dengan ketrampilan tinggi, berasal dari bahan-bahan alami, beberapa kursi dan meja yang berjajar di sana memberikan kesan sakral, beberapa hiasan dan senjata juga terlihat terpajang dengan rapi.
Jauh lebih masuk ke dalam rumah itu, nampak Luh Gandaru tengah berbicara serius dengan kedua anak kembarnya, Banu dan Bani.
“Bagaimana hasil kerja kalian hari ini?” tanya Luh Gandaru kepada kedua anaknya. Banu dan Bani tampak saling berpandangan satu sama lain, mereka nampak sedang berpikir siapa yang akan menjawab pertanyaan ibu mereka terlebih dahulu.
“Banu?” tanya Luh Gandaru kemudian, sepertinya ia menangkap tingkah kedua anaknya yang agak ragu untuk menentukan siapa yang akan menjawab pertanyaan itu.
“Apakah Bei Tantra bersedia memenuhi undangan kita? Tanya Luh Gandaru kemudia.
“Iya Bu, saya pastikan Bei Tantra pasti akan datang!” jawab Banu singkat. “Saya sendiri yang menyampaikan pesan Ibu kepada Bei Tantra.” Kata Banu selanjutnya.
“Bagus, itu yang aku harapkan, dan kamu Bani? Bagaimana dengan Bei Rangga?” tanya Luh Gandaru setelah mendengar jawaban dari Banu.
“Bei Rangga pasti datang bu, tapi, .. “ Bani terhenti sejenak seperti memberi jeda kepada ibunya untuk mengunggunya melanjutkan ucapannya.
“Ada Apa dengan Bei Rangga Bani?” tanya Luh Gandaru mengerutkan dahinya.
“Sepertinya Bei Rangga agak keberatan dengan undangan Ibu.” Jelas Bani kemudian.
“Ragu?, coba katakan lebih jelas, Bani!” kata Luh Gandaru penasaran mendengar jawaban Bani.
“Saya tidak tahu pasti Bu, saya hanya membaca ekspresinya saja.” Jawab Bani
“Apa ada hal lain yang dikatakan Bei Rangga kepadamu, Bani?” tanya Luh Gandaru kemudian.
“Tidak ada Bu, dia hanya diam saja saat saya menyampaikan pesan Ibu.” Jawab Bani
“Oh, begitu rupanya,” jawab Luh Gandaru, sepertinya ia ingin melanjutkan ucapannya.
“Tadi siang, Fonda Ono datang ke pusat produksi Lesung Orembai,“ kata Luh Gandaru mengalihkan pembicaraan.
“Fonda Ono?” tanya Banu mendengar ucapan Ibunya.
“Iya,” jawab Luh Gandaru terhenti sejenak, “Dan Ibu sudah bicara banyak kepadanya, terutama tentang kejadian akhir-akhir ini di Kampung Londata.” Ucap Luh Gandaru menjawab pertanyaan Banu.
Banu dan Bani saling pandang, mereka sedang menunggu kelanjutan ucapan Ibunya itu.
“Berarti, Fonda Ono sudah tahu tentang keberadaan orang asing itu?” tanya Bani, “lalu apa pendapatnya Bu?” lanjut Bani.
Luh Gandaru tidak langsung menjawab pertanyaan Bani, ia berdiri dari tempat duduknya, sejurus kemudian ia melangkah menuju sebuah meja yang terdapat di ruangan itu. Ia menarik laci yang ada di meja itu, dan mengambil sebuah bungkusan kain bercorak yang terdapat tali di bagian atasnya sebagai penutup, nampaknya itu semacam tas kecil yang digunakan untuk menyimpan sesuatu. Kemudian ia membuka bungkusan itu kemudian mengeluarkan beberapa batu yang ada di dalamnya, ukurannya tidak terlalu besar, kira-kira seukuran bola Golf.
“Batu Zato ini, “ kata Luh Gandaru seraya memadangi batu yang ada di genggamannya, “merekam semua kejadian di pondok utara,” kata Luh Gandaru seperti hendak memastikan bahwa Banu dan Bani mendengarkan dengan baik apa yang akan dikatakan selanjutnya.
“Kalian pasti tahu, betapa pentingnya keberadaan batu ini.” Ucap Luh Gandaru sambil memandangai kedua anaknya dengan tatapan serius. “Aku ingin kalian membawa batu ini kepada Fonda Ono, “ kata Luh Gandaru menatap kedua anaknya dalam-dalam. “Dan kalian harus memastikan, tak ada seorangpun yang tahu.” Ucap Luh Gandaru.
Nampaknya Banu dan Bani sudah paham betul apa yang dimaksud oleh ibu mereka. Dengan sikap penuh perhatian keduanya menganggukkan kepalanya.
“Malam ini, “ kata Luh Gandaru kemudian, “kalian harus berangkat, aku sudah memberitahu Fonda Ono,” kata Luh Gandaru, ia melanjutkan: “dia akan menunggumu di perbatasan Kampung Londata dan Padang Gandeswara.” Luh gandaru berhenti sejenak, dengankan Banu dan Bani masih menunggu kelanjutan dari ucapan ibunya itu. “Tapi, kalian jangan menempuh rute biasa, itu akan menimbulkan kecurigaan.” Ucap Luh Gandaru. Banu dan Bani saling tatap, sepertinya mereka sedang menerka-nerka arah pembicaraan ibunya.
“Sebaiknya kalian pergi dulu ke arah timur, sehingga siapapun yang melihat kalian akan menyangka kalian sedang melakukan tugas jaga rutin di pondok jaga timur.”
Luh Gandaru terhenti sejenak, “setelah melewati pondok jaga timur dan sudah sampai di pinggiran hutan Kalpavana, kalian baru berbelok ke arah selatan menyusuri jalur sungai Kinara, “ lanjut Luh Gandaru, “Jalur sungai itu sepi, dan aku rasa tak ada yang akan melihat pergerakan kalian.” Ucap Luh Gandaru.
Banu dan Bani mendengarkan arahan ibunya itu dengan penuh konsentrasi, telinga mereka fokus mendengarkan supaya tidak ada pesan yang terlewat.
“Fonda Ono akan menunggu kalian di lereng Gunung Sembuyan, tepatnya di pinggiran hutan Wulang.” Kata Luh Gandaru mengakhiri kalimatnya. Kemudian Luh Gandaru menyerahkan bungusan itu kepada Banu.
“Ingat!” kata Luh Gandaru, “aku mengandalkan kalian, jangan sampai gagal.” Pungkas Luh Gandaru.
Banu mengangguk penuh kesiapan, dirinya yakin mampu melaksanakan perintah ibunya itu dengan baik. Sementara Bani memperhatikan Kakaknya dengan tatapan yakin. Keduanya segera bersiap untuk melaksanakan perintah ibunya itu.
Malam semakin larut, Banu dan Bani tidak berjalan melalui pintu utama, di sana banyak penjaga yang sedang melaksanakan tugasnya, mereka memilih jalan belakang rumah itu, dan di sana kedua ekor burung Garudyn hitam mereka sudah menunggu. Dengan langkah pasti mereka berdua menaiki burung-burung itu, dan tak lama kemudian bayangannya sudah lenyap di telan kegelapan malam.
Awalnya mereka bergerak ke arah timur, kepakan sayap dari kedua burung itu menderu membelah gelapnya malam, dan seperti yang sudah diperitntahkan oleh ibu mereka, setelah melewati pondok jaga timur, mereka segera berbelok ke arah selatan, dan di sanalah mereka akan bertemu dengan Fonda Ono yang sudah menunggunya. Begitulah kira-kira yang ada di dalam benak kedua anak muda itu, pikiran mereka terfokus melaksanakan tugas rahasia itu. Sebuah rahasia yang harus mereka jaga dengan segenap jiwa dan raga, sebab jika rahasia ini terbongkar, maka semua yang sudah direncanakan oleh ibu mereka – Luh Gandaru – akan terbongkar, dan itu artinya semua ambisi keluarga mereka yang sudah lama mereka pendam, akan musnah.