NovelToon NovelToon
Not Love, But Marriage

Not Love, But Marriage

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak / Cinta Seiring Waktu / Keluarga / Persahabatan / Dokter
Popularitas:7.1k
Nilai: 5
Nama Author: Nōirsyn

"Mereka mengira pertemuan itu adalah akhir, padahal baru saja takdir membuka lembar pertamanya.”

‎Ameena Nayara Atmaja—seorang dokter muda, cantik, pintar, dan penuh dedikasi. Tapi di balik wajah tenangnya, ada luka tersendiri dengan keluarganya. Yara memilih hidup mandiri, Ia tinggal sendiri di apartemen pribadinya.

‎Hidupnya berubah ketika ia bertemu Abiyasa Devandra Alaric, seorang CEO muda karismatik. Yasa berusia 33 tahun, bukan seperti CEO pada umumnya yang cuek, datar dan hanya fokus pekerjaannya, hidup Yasa justru sangat santai, terkadang dia bercanda dan bermain dengan kedua temannya, Yasa adalah anak yang tengil dan ramah.

‎Mereka adalah dua orang asing yang bertemu di sebuah desa karena pekerjaan masing-masing . Awalnya mereka mengira itu hanya pertemuan biasa, pertama dan terakhir. Tapi itu hanya awal dari pertemuan mereka. satu insiden besar, mencoreng nama baik, menciptakan gosip dan tekanan sosial membuat mereka terjebak dalam ikatan suci tanpa cinta

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nōirsyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

maafkan ayah

Matahari pagi menelusup lembut melalui celah gorden di apartemen Yara. Suasana masih sunyi, hanya terdengar suara detik jam dan deru samar kendaraan dari kejauhan.

‎Yara masih tertidur lelap di atas ranjang, rambutnya berantakan, napasnya teratur. Tapi tiba-tiba—

‎Tringgg... Tringgg...

‎Ponselnya bergetar di atas nakas. Dengan mata masih terpejam, Yara mengerang pelan dan meraba-raba mencari sumber bunyi itu. Saat ia berhasil meraih ponselnya, Yara langsung terduduk dan matanya terbuka lebar begitu membaca nama yang tertera di layar:

‎"Ayah"

‎Jantungnya berdetak tak karuan. Tangannya sedikit gemetar saat menekan tombol hijau.

‎“Yara...” suara di seberang sana terdengar pelan, lembut.

‎Yara terdiam entah kapan terakhir kali ayahnya memanggilnya dengan nada seperti itu.

‎Yara tidak langsung menjawab. Suaranya tercekat.

‎“Halo, Yara?” panggil Pak Ikhsan lagi, terdengar khawatir.

‎“Iya,” jawab Yara datar, dingin.

‎“Yara? Kamu gak apa-apa kan, Nak? Berita itu... apa benar? Apa benar kamu dilecehkan oleh pengusaha itu?” tanyanya. Suaranya bergetar, seperti tak percaya, seperti menyesal.

‎Yara menggigit bibir bawahnya, menahan luapan emosi.

‎“Itu bukan urusan Anda,” ucapnya pelan namun tegas. “Buat apa Anda peduli?”

‎“Yara... jangan seperti itu, Nak. Ayah tahu, Ayah banyak salah padamu. Tapi...”

‎Kalimat itu menggantung di udara. Tak ada pembelaan diri, dia tahu dia salah.

‎Yara menatap kosong ke dinding, lalu berbisik, “Kalau Anda peduli, kenapa baru sekarang?”

‎Suara Yara mulai bergetar, tapi tatapannya justru semakin tajam.

‎“Di mana Anda saat saya mengalami kejadian yang sama empat tahun lalu? Anda sama sekali tidak peduli terhadap saya, bahkan orang lain yang menyelesaikan masalah saya bukan anda!”

‎Air mata jatuh satu per satu, menetes di pangkuannya.

‎“Maafkan Ayah, Yara...” suara itu terdengar begitu kecil, nyaris tak terdengar.

‎“Saya sedang tidak ingin ke mana-mana,” balas Yara, masih dengan nada dingin.

‎Hening sejenak.

‎“Kalau begitu... bolehkah Ayah saja yang datang ke apartemenmu, Nak?”

‎Yara terdiam. Tangannya mengepal, tapi ia tak menjawab.

‎“Ayah mohon, Yara. Ayah janji, Ayah tidak akan membawa ibu—”

‎“Dia bukan ibu saya.” potong Yara cepat, matanya tajam.

‎“Baiklah,” sahut Pak Ikhsan pelan. “Ayah tidak akan membawa istri Ayah.”

‎“...Terserah.” jawab Yara akhirnya, lalu langsung memutuskan panggilan.

‎Ia meletakkan ponsel di sampingnya, lalu menunduk, menggenggam kedua lututnya. Tubuhnya mulai berguncang.

‎Tangis itu pecah.

‎Ia menangis sekeras yang ia bisa. Tangisan yang selama ini ia tahan. Luka yang selama ini ia sembunyikan.

‎Yara bukan anak berhati lembut yang mudah memaafkan. Ia menyimpan semuanya rapat-rapat. Ia pendendam. Ia ingat semua.

‎Ia ingat bagaimana ayahnya memarahi dan mempermalukannya di depan teman-temannya saat kelas 2 SMA. Ia ingat rasa takut, malam-malam penuh teriakan, ketika ayahnya bersikap kasar pada ibunya.

‎Dan ia juga ingat betapa ia sangat...

‎...merindukan sosok itu. Sosok Ayahnya.

‎----

‎Tok tok tok...

‎Yara melirik jam dinding. Sudah lewat pukul sepuluh. Ia tahu siapa yang berdiri di balik pintu apartemennya, dan sebenarnya ia tidak berniat membukakan.

‎Namun suara ketukan itu kembali terdengar. Kali ini lebih pelan.

‎Dengan napas berat, Yara bangkit dan menyeret kakinya ke pintu. Ia membuka tanpa ekspresi.

‎Di ambang pintu, berdiri seorang pria paruh baya dengan rambut mulai memutih di pelipisnya. Pak Ikhsan berdiri canggung, membawa sekantong plastik berisi makanan.

‎“Halo, Yara...” sapanya pelan.

‎Yara hanya menatapnya. Tidak mempersilakan masuk. Tidak bicara apa pun.

‎Pak Ikhsan menunduk. “Boleh Ayah masuk?”

‎Masih diam. Tapi Yara melangkah ke samping, memberi jalan. Diam-diam, itu bentuk izin yang cukup besar baginya.

‎Pak Ikhsan masuk, meletakkan plastik di meja makan. “Ayah bawa bubur ayam kesukaanmu dulu. Yang pake cakwe, dan sambal dikit.”

‎Yara menutup pintu, lalu duduk di sofa. Jauh dari meja makan. Matanya menatap lurus ke televisi yang bahkan tidak menyala.

‎Pak Ikhsan menarik kursi perlahan dan duduk. Suasana hening. Bahkan jam dinding terdengar seperti bom waktu.

‎“Yara...” suaranya ragu. “Ayah... mau minta maaf. Untuk semua yang udah Ayah lakuin. Untuk semua yang Ayah nggak lakuin.”

‎Yara tetap menatap ke arah kosong. “Saya tidak minta Anda datang untuk minta maaf.”

‎“Ayah tahu... Tapi Ayah tetap mau bilang. Kamu nggak harus maafin sekarang. Atau besok. Tapi Ayah mau kamu tahu, Ayah benar-benar minta maaf.”

‎Keheningan lagi.

‎Lalu Pak Ikhsan berdiri dan membuka plastik, mengeluarkan satu bungkus bubur. “Kamu belum makan kan? Ayah buatin ya. Ayah masih inget kamu sukanya disatuin, jangan dipisah.”

‎Yara meliriknya sejenak. “Jangan pakai sendok yang di dapur. Pakai sendok plastik aja.”

‎Pak Ikhsan tersenyum kecil, lalu mengangguk. “Iya, iya. Sendok plastik.”

‎Dia menyiapkan bubur itu dengan hati-hati, seperti sedang menyentuh sesuatu yang rapuh. Setelah selesai, ia mendorong mangkuk itu pelan ke arah Yara, tapi tidak memaksanya untuk makan.

‎“Dulu kamu kalau makan bubur suka nonton kartun di pagi hari. Ingat nggak?” tanyanya pelan, mencoba mencairkan suasana.

‎Yara hanya bergumam, “Udah lama banget...”

‎Pak Ikhsan tersenyum. “Kamu suka banget sama tokoh si anjing yang bisa nyanyi. Ayah sampai hafal lagunya.”

‎Yara mendesah. “Aku udah lupa semuanya.”

‎Namun matanya sedikit melembut. Hubungan Yara dan ayahnya memang sangat dekat ketika Yara masih kecil. Sifat ayahnya berubah menjadi kasar dan mudah emosi hanya karena dia selalu kalah bermain judi membuatnya selalu melampiaskan kemarahannya dengan istri dan anaknya.

‎Mereka duduk dalam diam cukup lama. Lalu perlahan Yara bangkit, mengambil mangkuk buburnya, dan mulai makan dalam diam.

‎Pak Ikhsan memperhatikannya. Senyumnya tipis. Tapi penuh harap.

‎“Yara...” katanya lagi, suaranya seperti berbisik. “Ayah bangga sama kamu. Karena kamu bisa tetap bertahan sampai sekarang.”

‎Yara mengunyah pelan. Tatapannya kosong dan dia hanya diam saja

‎“Ayah nggak makan?” tanya Yara tanpa menatapnya.

‎Pak Ikhsan tersenyum haru mendengar anaknya memanggilnya Ayah. “Ayah udah makan tadi.”

‎Yara tahu itu bohong. Ia berdiri, membuka aplikasi Gojek di ponselnya.

‎“Mau makan apa?” tanyanya datar.

‎Pak Ikhsan tampak terkejut. “Lho… kamu mesenin?”

‎“Daripada cuma duduk bengong, sekalian makan siang” jawab Yara cuek.

‎Pak Ikhsan tertawa kecil. “Kalau gitu… nasi goreng kampung aja. Yang nggak pedes.”

‎Kurang lebih setengah jam, pesanan tiba. Mereka duduk berhadapan di meja makan, makan dalam diam. Tapi suasana tidak lagi sepanas tadi pagi.

‎“Masih suka nulis diari?” tanya ayahnya di sela-sela makan.

‎“Udah nggak sempat,” jawab Yara, suaranya pelan.

‎Ayahnya hanya mengangguk. Lalu ponsel Yara bergetar di meja. Nama Yasa muncul di layar. Yara melirik sekilas… lalu menekan tombol diam.

‎Pak Ikhsan menatapnya sebentar.

‎“Ayah baca berita kamu akhir-akhir ini...” ucap Pak Ikhsan pelan, memecah keheningan.

‎Yara menghentikan suapannya. “Oh.”

‎“Mereka bilang… laki-laki itu—Abiyasa ya? pengusaha itu melecehkan kamu?”

‎Yara mendongak pelan, menatap ayahnya. “Itu nggak benar,” jawabnya singkat.

‎Pak Ikhsan menatapnya dalam. “Jadi?”

‎“Kami pacaran. Dan... kami akan segera menikah,” ucap Yara, nadanya datar. Tapi tangan kirinya mengepal di bawah meja.

‎Pak Ikhsan terdiam sejenak. “Kamu… yakin? Ayah bukan mau ikut campur terlalu jauh, tapi… kamu tahu ayah cuma pengin kamu bahagia, ya, Nak?”

‎“Aku tahu,” jawab Yara cepat, suaranya sedikit lebih pelan. “Aku bahagia, kok.”

‎Pak Ikhsan menarik napas dalam, lalu mengangguk pelan. Tak ingin memaksa, tapi jelas terlihat ia belum sepenuhnya yakin. Namun kali ini, ia memilih percaya pada kata anaknya. Mungkin itu cara dia menebus kesalahannya di masa lalu.

‎“Yara…” ucap Pak Ikhsan, suaranya rendah dan berat. “Ayah sadar, ayah sudah terlalu jauh darimu, Nak. Ayah nggak tahu apa saja yang sudah kamu alami selama ini… Bahkan, ayah nggak kenal pria yang sekarang menjalin hubungan denganmu, dan yang akan segera menikah denganmu.”

‎Yara menunduk. Suapannya berhenti.

‎“Tapi... ayah cuma bisa berharap,” lanjutnya dengan mata yang mulai berkaca, “semoga dia bisa membahagiakanmu kelak. Bisa membuat putri ayah—yang selama ini hatinya ayah sakiti—tersenyum ceria lagi. Ayah harap, dia bisa jadi suami yang baik untukmu... dan ayah yang baik untuk anak-anakmu nanti.”

‎Yara terdiam. Dadanya sesak. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang mengambang di pelupuk.

*

*

*

To be continued

1
gathem Toro
jika dah pergi baru terasa ya yasa
gathem Toro
binggung sama sikap yass
gathem Toro
tinggalin Alin.......kamu belajar cuek dari sekarang klo perlu pura" Deket Ama cowok lain pasti nanti sirey baru nyesel deh udah nyua"in perasaan tulusmy
샤롷툴 밯디얗
kok jadi curiga dengan felisha y
gathem Toro
semoga ada titik terang ya Yasa.....
샤롷툴 밯디얗
kayaknya andrea
gathem Toro
saling cemburu tapi gak pada sadar sih.....
gathem Toro
sebenarnya Yasa itu dah cinta sama Yara cuma gengsi aja
Takagi Saya
Hats off untuk authornya, karya original dan kreatif!
Kaylin
Gak kepikiran sama sekali kalau cerita ini bakal sekeren ini!
Fujoshita UnUHastaloshuesos
Gak bisa move on! 😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!