Cita-cita adalah hal mutlak yang harus dicapai. Sedangkan, prinsipnya dalam bekerja adalah mengabdi. Namun sebagai gadis miskin tanpa pendidikan penuh ini — pantaskah Meera menjadi sasaran orang-orang yang mengatakan bahwa 'menjadi simpanan adalah keberuntungan'?
Sungguh ... terlahir cantik dengan hidup sebagai kalangan bawah. Haruskah ... cara terbaik untuk lepas dari jeratan kemalangan serta menggapai apa yang diimpi-impikan — dirinya harus rela menjadi simpanan pria kaya raya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sintaprnms_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9 : Perkara Yang Sama.
9 : Perkara Yang Sama.
Abhimana telah memeriksa cctv. Dimana Meera dipanggil dengan lantang, diminta menghadap dan di-cercai pertanyaan tak bermutu.
Sialan. Orang kampung diangkat menjadi pekerja tetap bisa semena-mena, ya? Ferdina — wanita itu tahu apa tentang Meera? Apa masalahnya juga jika ia meminta Meera membersihkan ruangannya saja? Meringankan pekerjaan apa? Apa Ferdina pikir, melayaninya adalah hal yang ringan?
Dan belum lagi. Informasi dari mana yang menjelaskan bahwa … ah, menjijikan. Gundik? Gundik apanya?! Siapa yang berniat memiliki simpanan dan menjadikan anak gadis orang simpanan? Apa wajahnya ini nampak seperti baj*ngan? Apa perilakunya juga nampak seperti pria yang haus belaian? Sampai-sampai membutuhkan gundik?!
Mereka ini — terutama seluruh pekerja Villa. Tahu apa, hah? Yang mereka tahu hanyalah keburukan keluarga Adiwangsa. Otak mereka tidak menyerap hal-hal baik dan mengimbaskan itu pada gadis yang tak tahu apa-apa!
Demi apa pun. Sekali lagi gue denger pembahasan gundik-gundik nggak jelas, disematkan ke Meera. Gue pecat detik itu juga Ferdina! Batin Abhimana.
Sebagai pelayan, Meera tahu betul posisinya. Sungguh tak perlu Miss Ferdina tekan kan pun, Meera tidak akan pernah melewati batasan.
Namun mengapa agaknya … ucapan itu terdengar menyakitkan di telinga? Belum juga, bagaimana bisa Tuan Abhimana datang disaat yang tidak tepat? Melihatnya menangis adalah keburukan. Pikiran Meera berputar-putar, bagaimana jika Tuan Abhimana mengira bahwa aku butuh belas kasihan? Karena mengeluarkan air mata?
Ingin tidak peduli. Tetapi harga dirinya adalah utama. Sekarang apa? Ia harus berdiri di depan pintu kamar demi menyuguhkan kopi yang selalu diseduh Tuan Abhimana setiap pulang.
Tok. Tok. Meera sengaja mengetuk pintu. Hingga sang pemilik kamar membuka pintu tanpa menjawab.
“Kopi Anda, Tuan.” Meera menunduk.
“Taruh di meja.”
Seperti permintaan Tuan. Meera berjalan menuju meja. Setelah selesai, ia hendak memilih pergi. Namun ucapan Tuan Abhimana menahan.
“Vas itu —“
Meera menghentikan langkah.
“Taruh ruang keluarga,” sambung Tuan Abhimana.
Vas? Yang mana? Hanya ada satu vas. Meera merasa mungkin memang yang dimaksud adalah Vas itu — yang pernah ia pecahkan. Dan dikesempatan ini, Meera memilih berkata, “Berapa saya harus membayar untuk vas baru yang Tuan belikan?”
Tidak terdengar jawaban, membuat Meera berani mendongak dan menatap. Namun raut wajah apa itu? Aneh … mengapa tatapan Tuan seperti itu?
“Kamu masih membahas perkara vas bunga?”
Tentu saja. “Saya yang memecahkan vas itu, berarti saya yang bertanggung jawab.”
“Keluar kamu, Meera,” titah Tuan Abhimana.
Tepat pukul 9 malam. Keluarga Adiwangsa yang termasuk Nyonya Cecilia, Tuan Rajendra dan Tuan Abhimata tiba di Villa. Entah dalam rangka apa. Tetapi semua hidangan telah tersaji.
Samar-samar Meera mendengar.
“Vas ini … kelihatan berkilau ya?”
“Dibersihin makanya berkilau, Mam.”
“Nggak. Agak beda aja, kayak baru.”
“Baru gimana? Nggak mungkin lah.”
Ya ampun. Jangan bilang bahwa vas itu adalah kesayangan Nyonya Cecilia. Bisa dipecat aku!
“Gosip itu bener?”
“Gosip apaan sih? Kayak seleb aja digosip-gosipin gue.”
“Ke Jakarta ketemu Nailah nih?”
Pembahasan ini. Sungguh Meera tidak bermaksud mengambil kesempatan, hanya saja telinganya mendengar.
“Apasih! Kagak! Gue pure berteman sama dia.”
Kedua anak kembar itu — Abhimana dan Abhimata saling beradu mulut. Ya, selalu seperti ini.
Dinner berakhir sekitar satu jam. Nyonya Cecilia, Tuan Abhimata dan Tuan Rajendra menginap. Meera sibuk di bawah untuk mencuci, sebagian pelayan membantu Nyonya.
Aku kayaknya — memang harus bener-bener jaga jarak, batin Meera. Sebab sebagai Ibu, Nyonya Cecilia tentu bisa merasakan kejanggalan sang anak. Bagaimana jika Nyonya tahu hal-hal yang terjadi di Villa ini? Mungkin hinaan itu, akan dua kali lipat sakitnya, dibandingkan yang diucapkan oleh Miss Ferdina.
Ketenangannya, akan terusik.
Bekerja disini adalah kemudahan yang ia dapat. Tetapi jika akhirnya menimbulkan keburukan — Meera rasa … sudah saatnya ini memiliki pekerjaan lain. Dan meninggalkan Villa.
“Meera.”
Suara Ailin membuatnya kembali. Gadis itu mendekat dan berbisik, “Aku takut.”
Kening Meera mengerut.
“Takut kenapa?”
“Aku disuruh layani Tuan Rajendra. Dia minta kopi, terus aku disuruh antar —“
Meera meletakkan spons cuci piring. “Biar aku yang antar.” Kamar Tuan Rajendra bersebelahan sama Tuan Abhimana. Kalau ada hal nggak baik terjadi, seenggaknya — aku bisa lolos dengan memanggil nama itu. Sedangkan Ailin …
“Makasih ya, Ra. Aku terusin cuci piringnya,” ujar Ailin.
Tidak terjadi apa-apa. Tuan Rajendra bersikap normal. Sebab saat ia mengantar kopi itu, Tuan sedang duduk bersama Nyonya Cecilia.
Entah … entah gangguan jiwa macam apa yang di-idap oleh Tuan yang satu ini, hingga harus didampingi oleh seseorang setiap saat.
Langkah Meera melambat saat melewati kamar Tuan. Pikirannya melayang mengingat pesan masuk yang dikirim oleh Bude Sugeng Lastrini. Apakah bisa? Apakah boleh? Ya Allah … ingin secepatnya saja ia meminta izin. Namun hari sudah larut dan ia sudah bertekad untuk menjaga jarak.
Besok lah, aku izin. Lagi pula acaranya masih seminggu lagi, batin Meera.
Pukul 10 malam Abhimata — saudara kembarnya itu mengunjungi kamarnya. Dia bilang, gue tidur di sini aja. Sesuka hati memang. Tapi apa boleh buat? Rasanya sebagai saudara, ia sedikit prihatin. Pria ini gila mengejar wanita yang jelas sudah tidak mau. Cassia Cassia itu, dari zaman sekolah hingga kepala dua tetap aja setia mengejar. Astaga, Abhimata bodoh! Muak, rasanya!
“Lo nggak usah kayak orang mau mati gitu deh,” ujar Abhimana.
Abhimata yang sudah merebahkan diri menjawab, “Nggak ngerti gue. Bisa-bisanya dia punya hubungan sama Lingga. Sampe mau dinikahin lagi.”
Mulai ... mulai ...
“Padahal kalau gue inget-inget pun, nggak ada gue lihat mereka deket pas jaman sekolah,” imbuh Abhimata.
Abhimana mencoba mengerti. “Yaudah sih. Mungkin pdkt-nya baru-baru ini. Lo juga ngapain ngejar-ngejar tuh cewek? Kayak nggak ada mangsa lain aja.”
“Mangsa-mangsa! Mulut lo!”
Abhimana acuh. Mari alihkan pembicaraan. Hibur orang gila ini yang seakan tidak bisa hidup tanpa Cassia. “Lo mau ikut nggak?”
“Kemana? Nggak usah ngajak gue aneh-aneh.”
Abhimana menjawab, “November ke Abu Dhabi. Nonton F1.”
“Gila … serius lo?”
“Serius. Gue tanggung semua. Lo tinggal bawa badan biar nggak stress.”
Abhimata mengangguk. “Gas lah. Gue ikut.”
“Tapi masih lama sih.” Abhimana menjeda. “Kalau gitu ke Mandalika dulu deh. Nonton MotoGP. Sekalian refreshing.”
“Ikut dah. Gue ikut aja,” akhir Abhimata yang mulai memejamkan mata.
Sekitar pukul 4 pagi. Abhimana merasa tubuhnya digerakan dengan cukup kasar. Dan astaga! Orang gila! “Ngapain si lo?!”
“Sholat, Bodoh! Lo ga subuhan?”
Abhimana berdecak. Males banget. Namun tubuhnya tetap bergerak untuk berdiri. Sesekali terlihat alim sebagai saudara kembar bukan hal yang buruk. “Lo yang imamin ya?” ujar Abhimana.
“Halah. Mending lo dah. Gue kalau sholat spam Al-Ikhlas.”
Dasar orang gila! Dia yang ngajak-ngajak dia yang suruh gue jadi imam. Emang kembar tuh gak menjamin kecerdasan otak sama, batin Abhimana. Ia mencoba untuk sabar. Turun dari ranjang dan bersiap ke kamar mandi.
“Gue kalau subuhan pakek qunut.” Abhimana melirik sejenak. “Lo kalau nggak hapal balik TK aja sono!”
Sekitar pukul 5 tepat. Abhimana memilih keluar dari kamar. Sedangkan sang kembaran kembali tidur lagi. Abhimana pikir, orang-orang masih tidur — terutama Meera. Tetapi apa yang dilihatnya? Gadis itu duduk berdua bersama dengan Ibu tukang kebun, jika tidak salah namanya adalah Mah Lilin.
Langit belum juga terang. Apa yang mereka lakukan di luar? Mengapa hanya mereka berdua saja? Dan ... ah, sarapan, ya? Di meja ada cangkir dan piring.
“Kalau ndak dicoba gimana Tuan bisa tahu, sama kasih ijin ke kamu?”
Kening Abhimana mengerut. Meera? Gadis itu ingin meminta izin perkara apa?
“Sebenarnya, aku udah niatin itu hari ini waktu Tuan udah pulang ke Villa. Tapi Mah …” Meera menjeda. Tetapi apa? Abhimana sangat ingin tahu. “Gara-gara Miss Ferdina. Aku ngerasa — yaudah lah nggak usah.”
“Kok begitu toh, Nduk. Sudah talah, perkara Miss Ferdina kamu coba legowo aja. Tuduhan itu ndak bener toh? Jadi yaudah kamu ndak boleh patah semangat. Katanya kamu mau tampil di pagelaran teater.”
Jeda lima detik Meera menjawab, “Kalau aku izin. Terus di-izinin Tuan, nanti jadi perkara baru lagi, Mah. Pasti Miss bilang aku manfaatin diri aku demi dapat keringanan kerja.”
Astaga. Bisa gila! Pembahasan ini belum juga selesai ya? Dan penyematan yang diberikan Ferdina pada Meera – membuat gadis itu merasa rendah diri.
“Dicoba dulu, Nduk.”
Tidak ada jawaban. Abhimana mencoba lebih dekat. Dan yang didengarnya adalah … isakan tangis.
“Aku — kadang nggak ngerti. Kenapa sih semuanya mikir … kalau aku — jadi simpanan Tuan. Aku … hiks ...”
Abhimana melangkah mundur. Lalu berbalik untuk menjauh dari jangkauan kedua orang itu. Ya Tuhan, apa-apaan ini? Sudah lama tidak melihat gadis itu menjadi lemah, sungguh membuat sisi hatinya —
Ah, bisa gila! Kolot! Semua orang disini stress! Gila! Pengen gue bacotin satu-satu! Bisa mereka nuduh-nuduh anak orang kayak gitu?! Batin Abhimana dengan mengepalkan tangan.
...[TBC]...
1380 kata, Kak. Jangan lupa tekan like dan taburi bunga ya ~ 😭🤍
F1 : Kelas balap mobil tertinggi di dunia.
Mandalika : Sirkuit Internasional di Lombok.
(kan Abhimana doyan dunia balap makanya aku buat serealistis mungkin. Aku riset beberapa kegiatan olahraga yang berkaitan dengan mobil dan motor.)
• Gais begini, pernikahan Lutfan, Lingga dan Linggar itu agak unda-undi jadi kayak selisih 1/2 tahun/ bisa kayak Linggar dan Lingga hampir sama selisih bulan aja. Nah terus, MENGABDI ini masuk ke sesi tahun dimana Shanum udah wafat dan Linggar udah ke Norwegia. Dan disini Abhimata emang masih gamon poll sama Cassia. (Gitulah intinya semoga paham lah)
btw abhimata kocak banget si😂, cocok nih iya sama lu nai, jodoin bhi mereka, btw lagi udah akrab banget lagi sama dahayu romannya🤭
pesannya, yg nerimah sama faham beda ya bi🤭
btw iya juga ya, gak mungkin juga kan langsung jatuh cinta, untuk yg setara juga gak selalu apalagi ini beda kasta,, selalu menarik cerita KA Sinta😊, ok KA Sinta lanjut, penarikan ini jalan cerita bakal gimana,
ini demam kecapean+liat Meera kembenan🤦🤣
btw bhi baju begitu malah lucu bagus Anggunly, estetik, dan syantik 🥰 KA Shinta banget ini mah🤭
Abhimana semangat makin susah ini romannya buat deketin kalo begini ceritanya 🤭
tapi kita liat KA Shinta suka ada aja jalannya🤭😅